Larangan Penjualan Rokok Batangan Dinilai Tak Efektif Kurangi Perokok

Jakarta, law-justice.co - Polemik pelarangan penjualan rokok batangan yang diwacanakan pemerintah belum lama ini mendapat perhatian dari sejumlah akademisi, dengan potensi kebijakan yang tidak efektif jadi sorotan utama. Sebagai solusinya, edukasi sosial dinilai berperan penting.

Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga Bagong Suyanto mengatakan, wacana pelarangan tersebut tak sepenuhnya dapat menjadi solusi yang tepat jika tujuan kebijakannya adalah untuk mengurangi konsumsi rokok. Bagong menekankan perlunya kembali menggali kesadaran akan bahaya merokok.

Baca juga : Waspada, Perokok Elektrik Rentan Dua Kali Lipat Terkena Impoten


"Mengerem kebiasaan merokok masyarakat tidak cukup hanya melalui pelarangan, tapi perlu mengubah kesadaran. Ini adalah soal pemahaman mengenai bahaya rokok itu sendiri yang perlu digali dan dipulihkan kembali. Perokok yang telah kecanduan akan tetap membeli rokok meskipun tidak dapat lagi membeli secara batangan," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (30/12/2022)

Oleh karenanya, Bagong mendorong adanya edukasi sosial untuk mempromosikan bagaimana menciptakan nilai baru soal bahaya rokok, kejahatan rokok. Tokoh-tokoh lokal, dan juga perempuan, disebut Bagong punya peran vital dalam ikhtiar edukasi sosial ini.

Baca juga : Pakar: Hasil Pemeriksaan Medis Baik Tidak Jamin Perokok Itu Sehat

"Biasanya, suami-suami itu nurut kalau istri yang meminta. The power of emak-emak, bahasa kerennya, diperlukan juga untuk mengembangkan gerakan perempuan dan anak antirokok," sambungnya.

Edukasi sosial ini menjadi penting, sebab menurut Bagong, dalam tatanan masyarakat yang memang menutup mata atas bahaya merokok, adanya iklan yang mengajak untuk berhenti merokok pun bakal tidak efektif.

Baca juga : Ketua DPR Sambangi ‘Gadis Kretek’, Singgung Kenaikan Cukai

Sementara pengamat sosial Universitas Katolik Parahyangan Garlika Martanegara pesimistis dalam memproyeksikan implementasi wacana kebijakan ini. Bukan hanya tidak efektif, karena jika dijalankan, wacana kebijakan tersebut justru bakal memicu masalah-masalah baru.

"Misal saya beli rokok kemasan, kemudian saya datang ke pangkalan ojek, dan menjualnya secara ketengan, bisa saja pelanggarannya seperti itu. Apa iya setiap ada orang berkumpul kemudian para penegak hukum akan mendatangi dan tanya rokoknya dari mana?" Garlika mengkritisi.


Aspek pengawasan menjadi tantangan terberat dalam menerapkan wacana kebijakan ini. Oleh karenanya, menurut Garlika pemberlakuan wacana kebijakan ini pasti tidak akan berjalan mulus dan justru menumbuhkan pelanggaran-pelanggaran baru.

Tak hanya itu, melarang penjualan rokok ketengan juga dinilai Garlika bakal mematikan para usaha kecil seperti pedagang asongan. Pasalnya, konsumen utama pedagang asongan adalah warga sekitar di mana pedagang asongan tersebut berjualan.

"Menurut saya, lebih arif dan bijak kalau wacana kebijakan ini ditinjau kembali. Penjualan ketengan jangan dilarang karena itu akan mematikan usaha kecil. Sehingga pada akhirnya, kebijakan yang tujuannya ingin menyehatkan tapi berujung mematikan usaha kecil. Saya yakin ini tidak akan berhasil," imbuhnya.

Secara terpisah, pengamat pendidikan Universitas Lampung (Unila) M. Thoha B Sampurna Jaya mengatakan, pelarangan tersebut tidak efektif jika diukur dari persentase remaja yang merokok. "Pastilah tidak efektif karena jumlah remaja semakin banyak, baik secara absolut maupun relatif," katanya.

Maka dari itu, menurut Thoha, akan lebih efektif menekan remaja untuk tidak merokok bila adanya sinergitas antara pihak orang tua dengan guru dalam membina siswanya. "Pelarangan ini juga bukan hanya berdampak pada pelajar, juga berdampak pada perokok dewasa yang tingkat pendapatannya yang pas-pasan," ujarnya.