Ketika Aksi Protes di China Meluas ke Kampus dan Kota di Luar Negeri

Jakarta, law-justice.co - Aksi Protes terhadap kebijakan nol Covid yang ketat di China dan pembatasan kegiatan masyarakat telah menyebar ke setidaknya selusin kota di seluruh dunia.

Mereka menunjukkan solidaritas terhadap pembangkangan yang jarang terjadi di China

Baca juga : Satelit China ini Ungkap Kehancuran Gaza Lampaui Nagasaki

Seperti dilansir Reuters pada Senin, 28 November 2022, pembangkang ekspatriat dan mahasiswa melakukan aksi dan protes skala kecil di kota-kota di seluruh dunia termasuk London, Paris, Tokyo, dan Sydney.

Dalam kebanyakan aksi, puluhan orang menghadiri protes, meskipun beberapa aksi menarik lebih dari 100 orang.

Baca juga : Wacana Sawah Padi China Satu Juta Hektare di Kalimantan Tak Masuk Akal

Protes tersebut adalah contoh langka orang China bersatu dalam kemarahan di dalam dan luar negeri.

Unjuk rasa di daratan China dipicu oleh kebakaran di wilayah Xinjiang—kampung halaman muslim Uighur—pada pekan lalu yang menewaskan 10 orang yang terjebak di apartemen mereka. Para pengunjuk rasa menyalahkan tindakan penguncian (lockdown), meskipun para pejabat membantahnya.

Baca juga : Apriyani/Fadia Mundur di Babak 16 Besar China Masters

Pada Senin malam, puluhan pengunjuk rasa berkumpul di kawasan pusat bisnis Hong Kong, tempat demonstrasi antipemerintah yang diwarnai kekerasan pada 2019.

"Saya pikir ini adalah hak normal orang untuk mengungkapkan pendapatnya. Saya pikir mereka seharusnya tidak menekan hak semacam ini," kata Lam, warga Hong Kong berusia 50 tahun.

Rekaman video yang beredar secara daring menunjukkan lusinan mahasiswa berkumpul di kampus Chinese University of Hong Kong untuk meratapi korban tewas dalam kebakaran Xinjiang.

Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Amerika Serikat percaya akan sulit bagi China untuk mengendalikan virus ini melalui strategi nol Covid mereka.

"Setiap orang memiliki hak untuk memprotes secara damai, di sini di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Ini termasuk di RRC.”

Juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB Jeremy Laurence, dalam sebuah surat elektronik pada hari Senin, mendesak pihak berwenang menanggapi protes sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional.

Laurence menambahkan bahwa mengizinkan debat luas di seluruh masyarakat dapat membantu membentuk kebijakan publik, memastikannya dipahami dengan lebih baik, dan pada akhirnya lebih efektif.

Dukungan dari Luar Negeri

Beberapa pengunjuk rasa di luar negeri mengatakan giliran mereka untuk menanggung beban yang ditanggung teman dan keluarga mereka.

"Itu yang harus saya lakukan. Ketika saya melihat begitu banyak warga dan mahasiswa China turun ke jalan, perasaan saya adalah mereka memikul jauh lebih banyak daripada yang kami miliki," kata mahasiswa pascasarjana Chiang Seeta, salah satu penyelenggara demonstrasi di Paris pada hari Ahad yang menarik sekitar 200 orang.

"Kami sekarang menunjukkan dukungan untuk mereka dari luar negeri," kata Chiang.

Di luar Pompidou Center di Paris, beberapa pengunjuk rasa membawa bunga dan menyalakan lilin untuk mereka yang tewas dalam kebakaran Xinjiang.

Beberapa menyalahkan Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis China. Pengunjuk rasa menuntut Xi dan para pejabat partai dipecat.

Aksi menentang Xi menjadi semakin umum setelah seorang pembangkang menggantungkan spanduk di jembatan Beijing bulan lalu menjelang Kongres Partai Komunis, mengkritik Xi karena berpegang teguh pada kekuasaan dan kebijakan nol Covid.

Sekitar 90 orang berkumpul di Shinjuku, salah satu stasiun kereta tersibuk di Tokyo, pada hari Ahad, di antaranya seorang mahasiswa dari Beijing yang mengatakan setiap protes di China terhadap aturan Covid-19 pasti akan menyalahkan Partai Komunis.

"Intinya adalah sistem China," kata mahasiswa tersebut, yang meminta untuk disebut sebagai Emmanuel.

Namun beberapa pengunjuk rasa merasa tidak nyaman dengan slogan-slogan yang lebih agresif.

Seorang penyelenggara protes yang direncanakan pada Senin malam di Universitas Columbia di New York, yang meminta dipanggil Shawn, mengatakan akan menghindari isu-isu sensitif seperti status Taiwan dan pengasingan massal etnis Uighur di Xinjiang oleh China.

"Kami tahu itu mungkin mengasingkan banyak orang," kata Shawn dari kota Fuzhou di China.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan kepada pengarahan rutin pada hari Senin bahwa China tidak mengetahui adanya protes di luar negeri yang menyerukan diakhirinya kebijakan nol Covid.

Ditanya tentang protes di dalam negeri, juru bicara mengatakan pertanyaan itu tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi dan mengatakan China yakin perang melawan Covid-19 akan berhasil dengan kepemimpinan partai dan kerja sama rakyat.