MK Telah Menjadi Mahkamah Keluarga Oligarki, Bagaimana Menyikapinya?

[INTRO]

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan yang diajukan Partai Gelora pada Kamis (7/7/22) di sidang MK di Jakarta. Penolakan MK tersebut seputar keinginan partai Gelora memisahkan antara Pemilu Legistlatif dan Pemilu Presiden yang dilakukan serentak di tahun yang sama namun diilakukan beda hari atau bulan.
 
Ternyata MK mementahkah segala argumentasi hukum dan memilih tetap pada pendiriannya bahwa kata "serentak" itu dilakukan pada waktu, hari, bulan dan tahun yang sama.
 
"Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya isu pokok yang berkaitan dengan frasa serentak sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat 1 UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional," ujar hakim konstitusi Saldi Isra.
 
Argumentasi Partai Gelora adalah pemilu serentak kemarin 2019 telah menelan korban jiwa hampir 1000 orang baik panitia KPPS di level TPS maupun para saksi dan pemantau pemilu. Pemilihan serentak terlalu menghabiskan banyak energi, menimbulkan kelelahan akut bagi penyelenggara KPPS di level TPS.
 
Bila Pemilu 2024 tidak mengambil pelajaran maka kejadian kelelahan akut akan dialami petugas KPPS sebagaimana pemilu 2019. Korban jiwa pun tidak dapat dihindari dan Mahkamah Konstitusi harus bertanggungjawab nanti.
 
Partai Gelora juga melalui Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Anis Matta mengatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan Partai Gelora mengenai keserentakan Pemilu, meskipun putusan tersebut dinilai membingungkan.
 
Partai Gelora tengah mempelajari kemungkinan untuk mengajukan kembali gugatan pemisahan pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) ke MK dalam waktu dekat.  
 
Menurut Anis Matta, penolakan MK atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan. "Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara," katanya. 
 
Gugatan yang diajukan Partai Gelora, lanjut Anis Matta, pada prinsipnya ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kedaluwarsa.  "Gugatan ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0%". Ujar Anis Matta.
 
Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketidaksetujuan terhadap ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dua hakim itu adalah Saldi Isra dan Suhartoyo. Mereka kembali menyatakan sikap atas gugatan Yusril Ihza Mahendra pada putusan nomor 52/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Kamis (7/7).

"Menimbang bahwa tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra tetap pada pendiriannya sebagaimana pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan-putusan sebelumnya," bunyi poin 3.17 pertimbangan putusan tersebut.

Baca juga : Ini Daftar Formasi Tiga Panel Hakim MK Penyidang Sengketa Hasil Pileg

Keduanya pernah menyatakan ketidaksetujuan terhadap presidential threshold pada sidang putusan 11 Januari 2018. Suhartoyo menyatakan presidential threshold bertentangan dengan pasal 22E, 27, dan 28 UUD 1945.

"Setiap parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan capres-cawapres," ucap hakim Suhartoyo pada persidangan 11 Januari 2018.

Baca juga : Politisi Demokrat Ajak Seluruh Pihak Bersatu Membangun Bangsa

Aturan Presidential Threshold adalah sebuah tragedi Demokrasi. Hal ini jelas tidak adil karena partai-partai baru tidak bisa mencalonkan presiden dan hal itu berdampak kepada pembatasan pilihan rakyat.

Selain Gelora, DPD RI DAN Partai PBB juga diputuskan gugatannya tidak diterima MK. Gugatan DPD dan PBB terkait pasal 222 UU Pemilu dimana Presidential Threshold 20 persen membuat demokrasi terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan.
 
Yusril ketua Umum Partai PBB menyebut MK adalah bukan lagi `the guardian of constitution`, melainkan telah berubah menjadi `the guardian of oligarchy`. La Nyalla, Ketua DPD RI mengatakan saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki.
 
Sikap yang dinyatakan Anis Matta, Yusril dan La Nyalla ini menarik. MK telah menjadi alat kekuasaan perpanjangan oligarki untuk menghalang-halangi warga negara mendapatkan hak konstitusinya untuk dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
 
MK telah berada diluar jalur konstitusi dengan menjadi kepanjangan tangan oligarki baik politik maupun ekonomi. Cara untuk meluruskannya adalah dengan mengingatkan kembali kepada 9 hakim Mahkamah Konstitusi untuk tetap mengikuti konstitusi dan menjauhi oligarki.
 
Publik harus bangkit untuk menolak tunduk kepada para hakim MK tersebut yang ditengarai telah menjadi kepanjangan tangan para oligarki untuk terus memberlakukan Presidential Threshold dan Pemilu Pileg/Pilpres serentak. (Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik)