Dana BPJS Ketenagakerjaan Diduga Jadi Bancakan

Hambur Uang Pekerja Triliunan Berkedok Investasi

Jakarta, law-justice.co - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek melaporkan, dana investasi yang dikelola perusahaan mencapai Rp 553,5 triliun pada 2021. Jumlah itu naik 13,64% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp 487,06 triliun.

Secara rinci, 81,8% dari dana investasi BPJS Ketenagakerjaan ditempatkan di instrumen pendapatan tetap, seperti surat utang dan deposito. Sebanyak 17,8% dana investasi dimasukkan ke instrumen berbasis ekuitas dan kurang dari 1% melalui investasi langsung.

Baca juga : Bekas Anak Buah: Kementan Keluarkan Rp3 Juta/Hari untuk Makan SYL

Dilihat trennya, nilai dana investasi BPJS ketenagakerjaan selalu bertambah setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan dana investasi BPJS ketenagakerjaan mencapai 16,25% sepanjang 2016 hingga 2021.

Dana investasi BPJS Ketenagakerjaan menjadi sorotan setelah Kementerian Ketenagakerjaan mengubah mekanisme pencairan Jaminan Hari Tua (JHT).

Baca juga : KPK Masukkan Eks Kadis PUPR Papua ke Lapas Sukamiskin

Dalam Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2022, JHT hanya bisa dicairkan jika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun, cacat total, atau meninggal dunia.

Sebelum akhirnya kebijakan tersebut diralat oleh pemerintah karena banyak penolakan dari masyarakat.

Baca juga : Bahlil : Realisasi Investasi Kuartal I-2024 Capai Rp 401,5 Triliun

Usai polemik JHT kemarin, keuangan BPJS Naker kini sedang berada dalam sorotan yakni terkait kurang efisiennya tata kelola keuangan BPJS Naker.

Meski begitu Pengembangan Investasi Jamsostek Edwin Ridwan mengatakan saat ini tata kelola investasi di BPJS Naker berjalan baik. Sehingga ia mengusulkan bisa mengembangkan dana iuran pekerja lebih maksimal dengan opsi investasi ke luar negeri.

“Investasi berjalan baik dan barangkali bisa dibuka opsi untuk investasi ke luar negeri, offshore investment,” kata Edwin kepada Law-Justice.


Anggaran keangotaan golf BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPJSTK)

Edwin menyebut saat ini, aset investasi keseluruhan BPJS Naker mayoritas berada di surat utang mencapai 63%, 19% di deposito, 11% di saham, 6,5% di reksadana, dan 0,5% sisanya investasi langsung.

Untuk memastikan efisiensi biaya pada investasi, Edwin mengatakan setiap hari terus rebalancing portofolio yang dimiliki itu lebih sesuai kondisi market pada saat tersebut.

“Sesuaikan portofolio yang ada. Rebalancing pertimbangkan pandangan mengenai efisiensi biaya yang terjadi,” katanya.

Masih terkait polemik keuangan BPJS Naker, kini mengenai aliran uang Rp3,1 miliar untuk bermain golf yang ramai diperbincangkan masyarakat.

Secara rinci berdasarkan data yang beredar, dituliskan jaminanan keanggotaan golf merupakan membership BPJS Ketenagakerjaan atas fasilitas golf per 31 Desember 2019 dan 2018 dengan nilai masing-masing sebagai berikut:

1. Rancamaya, Bogor Rp1,48 miliar
2. Taman Dayu Golf Club Rp215 juta
3. Cibodas Golf Park Rp180 juta
4. Damai Padang Indonesia Golf Rp473 juta
5. Palm Hill Country Rp202 juta
6. Pan Isi Development Rp177 juta
7. PT Kobaka Diba Rp375 juta

Unggahan anggaran itu kemudian menimbulkan beberapa komentar dari masyarakat dan ini disebutkan jika sumber dokumen tersebut berasal dari laporan tahunan BPJS-Ketenagakerjaan.

Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Dian Agung Senoaji menuturkan jaminan keanggotaan golf merupakan aset lama yang berasal dari peralihan aset PT ASTEK (Persero) dan PT Jamsostek (Persero).


Aset Tidak Produktif BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPJS TK)

Dian menyatakan bila anggaran tersebut diperoleh dari kompensasi kekurangan pelunasan investasi reksadana pada 2004, serta transaksi keuangan selama periode Tahun 1991-1992.

"Jaminan keanggotaan golf tersebut dicatat sebagai aset badan (BPJS) dan bukan merupakan bagian dari aset Dana Jaminan Sosial (Program JKK, JK. JHT, JP, JKP)," tutur Dian kepada Law-Justice.

Sehingga Dian menyatakan bila hal tersebut tidak berdampak pada kemanfaatan peserta atas pengelolaan Dana Jaminan Sosial.

Ia memastikan bila aset dana jaminan sosial yang dikelola BPJS Naker saat ini berada dalam kondisi aman dan bersifat fleksibel.

"Nilai tersebut bersifat transferable atau berpotensi dipindahtangankan untuk memperoleh keuntungan," ujarnya.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena meminta BPJS Naker untuk berhati-hati terkait pengelolaan dana pekerja yang mencapai ratusan triliunan tersebut.

Melki mengatakan dalam pengelolaan dana BPJS diperlukan kewaspadaan karena dana yang dikelola tersebut berjumlah besar.

“Terkait investasi dana prinsipnya sesuai asas kehati-hatian sebagaimana ada dalam UU BPJS dan aturan hukum lain yang berlaku,” kata Melki kepada Law-Justice.

Berdasarkan laporan kesimpulan rapat kerja DPR dengan BPJS Naker, Komisi IX mendesak Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk memastikan keamanan dana dengan hasil investasi.

Hal tersebut supaya investasi bisa lebih memadai dan menghindari penempatan investasi yang berpotensi menimbulkan kerugian.

“Instrumen yang dipilih sesuai mekanisme yang diatur dalam aturan direksi oleh tim komite investasi,” ujarnya.

Selain Melki, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay turut menyoroti pengelolaan keuangan BPJS Naker.

Saleh menduga pemerintah menggunakan dana penjualan Surat Utang Negara (SUN) untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Saleh mengatakan bila SUN tersebut dibeli BPJS Ketenagakerjaan menggunakan dana Jaminan Hari Tua (JHT).


BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPJS Ketenagakerjaan)

"Kalau ceritanya kan Permenaker ini untuk pekerja, betul nggak untuk pekerja? Belum lagi, ada anggapan bahwa uang BPJS Ketenagakerjaan ini dipakai untuk program-program pembangunan yang dikerjakan pemerintah," kata Saleh kepada Law-Justice.

Politisi PAN tersebut menjelaskan bila sebagian besar dana JHT itu diinvestasikan di SUN.

Adapun pemerintah sebagai penjual SUN akan memasukkan dana penjualan tersebut ke APBN, lalu digunakan untuk berbagai keperluan.

"Pemerintah kalau sudah ambil uangnya (dari penjualan SUN), lalu tergantung bendahara negara, uangnya mau digunakan untuk apa saja," ungkapnya.

Menurut Saleh, bendahara negara bisa mengalokasikan dana itu untuk pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Misalnya, proyek pembangunan rumah sakit dan sekolah.

"Infrastruktur presiden juga berjalan terus. (Untuk) IKN juga ya saya kira, karena sudah ditetapkan juga sebagian besar (pembiayaannya) dari APBN," ungkapnya.

Saleh juga menyebut bila pemerintah harus memastikan setiap aturan tidak merugikan para pekerja.

Efektivitas Investasi Uang Pekerja
Berkaca dari JHT, jika penolakan terjadi dikhawatirkan akan menyebabkan tidak efektifnya kebijakan dimaksud.

"Para pekerja kelihatannya merasa sering ditinggalkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang seakan diputus secara sepihak. Mulai dari UU Ciptaker (Undang-Undang Cipta Kerja) sampai pada persoalan upah minimum," ujarnya.

Saleh mengatakan dalam rapat-rapat dengan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan, perubahan tentang mekanisme penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) tidak dibicarakan secara khusus. Bahkan dapat dikatakan, belum disampaikan secara komprehensif.

"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah di-sounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya (masyarakat), kita bisa menjelaskan,” katanya.

Sementara, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar memberi rekomendasi terkait pengelolaan investasi BPJS Naker.

Ia meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan meningkatkan alokasi pengelolaan dana pada instrumen saham dan reksadana.

Timboel mengatakan imbal hasil dari dua instrumen itu relatif lebih tinggi dibandingkan surat berharga negara (SBN) dan deposito.


Pengunaan investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPJS Tenaga Kerja)

Ia mengakui pengelolaan investasi BPJS Naker masih terkendala dengan adanya penyidikan kasus di Kejagung.

“Tentunya ini masih terkendala dengan adanya penyidikan oleh Kejaksaan Agung mengenai unrealized loss yang hingga kini belum selesai. Belum selesainya kasus penyidikan di Kejaksaan Agung menyandera direksi baru BPJS Ketenagakerjaan untuk menambah dana investasi di saham dan reksadana,” kata Timboel kepada Law-Justice.

Kendati demikian, dia menegaskan, imbal hasil dari SBN cenderung stabil di kisaran 6,6 hingga 6,7 persen untuk tenor 10 tahun.

Menurut dia, imbal hasil itu lebih rendah dari pengelolaan dana di instrumen saham dan reksadana. Hanya saja, tingkat keamanan SBN relatif lebih tinggi dibandingkan saham yang bersifat fluktuatif.

“Namun demikian saham yang dibeli BPJS Ketenagakerjaan adalah saham-saham unggulan, kategori saham LQ45, yang memang masih berpotensi memberikan imbal hasil di atas 10 persen pada masa pendemi ini,” kata dia.

Timboel menyebut bila sebaiknya direksi memiliki strategi untuk mencapai target hasil investasi di tahun ini. Hal ini penting agar imbal hasil kepada pekerja bisa lebih baik dari tahun lalu.

Berdasarkan catatan OPSI, imbal hasil jaminan hari tua atau JHT di 2016 sebesar 7,19 persen, pada 2017 naik menjadi 7,82 persen, pada 2018 turun menjadi 6,26 persen, pada 2019 kembali turun menjadi 6,06 persen. Pada tahun 2020, imbal hasil JHT itu kembali mengalami penurunan di angka 5,63 persen.

"Saya rasa BPJS Naker perlu untuk terus meningkatkan performance dan ini jadi tantangan juga untuk jajaran direksi baru," urainya.

Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memastikan dana tata kelola BPJS Naker akan tetap aman.


Audit BPK soal invetasi BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPK)

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan dana kelolaan BPJS naker selalu diaudit dan pemerintah menjadi penjamin.

Indah menegaskan setiap tahunnya kinerja keuangan BPJS Ketenagakerjaan dan dana pengelolaan selalu diaudit oleh BPK dan BPKP.

"Uang yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan itu tidak dikelola sendiri karena ada audit tahunan dari BPK dan BPKP. Bila berkaca pada laporan tahun 2021 hasil audit tidak bermasalah dan dalam kondisi sehat," tegas Dita kepada Law-Justice.

Indah juga memastikan bila BPJS Ketenagakerjaan tidak akan mengalami kebangrutan sebab merupakan lembaga pemerintah.

Dalam hal lain, dana yang dikelola oleh BPJS Naker telah dijamin pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

"Karena ini lembaga pemerintah, penjaminnya adalah dana dari pemerintah yakni APBN, jadi BPJS naker ini tidak akan ambruk," klaimnya.

Meski begitu ia menekankan, pengelolaan dana BPJS Naker tidak sembarangan dilakukan sebab memiliki penjamin dan diawasi.

BPJS Ketenagakerjaan juga memiliki Dewan Pengawas, Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Kemnaker yang akan terus mengawasi.

Indah menyebut kekhawatiran yang hadir ditengah masyarakat soal pengelolaan dana BPJS Naker tidak perlu dikhawatirkan karena semua pihak terkait melakukan pengawasan.

"Jadi yang mengawasi ini kita semua yakni rakyat namun ada perwakilannya sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yakni auditor keuangan BPJS seperti Dewas, Kemnaker hingga DPR terus mengawasi," pungkasnya.

Kejagung Bongkar Dugaan Korupsi Anggaran BPJS Tenaga Kerja
Kasus dugaan korupsi di tubuh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan bergulir pada pertangahan Januari 2022 lalu.

Berbekal hasil audit Badan pemeriksa keuangan (BPK RI) yang menyatakan adanya investasi yang menyimpang pada BPJS Ketenagakerjaan, Kejaksaan Agung menggeledah kantor pusat perusahaan pelat merah tersebut di DKI Jakarta, pada Senin 18 Januari 2022.

Kapuspenkum Kejagung saat itu, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, penyidik menduga adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dalam tubuh PT Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berkaitan dengan pengelolaan dana investasi. Alhasil, BPJS Ketenagakerjaan disebut berpotensi mengalami kerugian hingga Rp20 triliun.

Kini, selang dua bulan sejak kasus ini ditangani, Kejaksaan Agung belum menetapkan satupun tersangka. Hingga kini penyidikan kasus tersebut masih bergulir.

Namun, kesimpulan terbaru dari Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus), Supardi menyatakan, kerugian dalam kasus itu bersifat unrealized atau belum terealisasi. Ini artinya Kejagung belum menemukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.

"Belum ada (indikasi kerugian negara), tergantung keadaan. Potensial kerugian ada potensial untung juga ada," ujar Supardi kepada law-justice.co.

Kejagung terus mendalami kasus ini dengan meminta audit keuangan terakhir BPJS Ketenagakerjaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Menurut Supardi, dari audit tersebut akan terlihat apakah ada potensi kerugian lainnya yang riil, dalam kontek yuridis.

Supardi menambahkan, jika sudah diketahui pasti bentuk kerugiannya, maka Kejagung akan menelusurinya lebih lanjut, apakah ada unsur korupsi di dalamnya. Ia menyebut, salah satu indikasi korupsi adalah adanya perbuatan melawan hukum untuk kepentingan sendiri.

"Kalau sampai dimakan untuk kepentingan pribadi, itu korupsi," tegas Supardi.

Buruh Pertanyakan Transparansi Pengelolaan Investasi
Belum adanya kejelasan kemana kasus ini akan berakhir, mengusik kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, pernyataan Kejagung yang menyatakan kerugian dalam investasi BPJS Ketenagakerjaan adalah unrealized loss adalah bentuk ketidakseriusan lembaga tersebut dalam menangani kasus ini.

Menurut Said, Kejaksaan Agung harus transparan dalam menangani kasus ini, sebab jika dinyatakan unrealized loss, maka otomatis uang iuran pekerja yang diinvestasikan akan hilang. Ini artinya pekerja yang rutin menyetorkan iuran tiap bulan tidak akan bisa menikmati manfaatnya kelak.

"Dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan bukan dana BUMN, itu adalah dana titipan milik pekerja. Dana itu harusnya kembali lagi ke peserta," ujar Said.

Terkait hal itu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus), Supardi menyatakan, masih ada celah untuk menuntaskan kasus ini di ranah hukum. Supardi membandingkan kasus BPJS Ketenagakerjaan ini dengan kasus Asuransi Jiwasraya yang juga ditangani Kejaksaan Agung.

Menurut dia, dalam kasus Jiwasraya, perusahaan asuransi tersebut tidak mengelola uang negara, melainkan uang nasabah. Pada posisi ini, ada kemiripan dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan, dimana perusahaan tersebut juga tidak mengelola uang negara.


Ketua Umum Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal. (Foto: LasserNews today).

Dan jika BPJS Ketenagakerjaan terbukti lalai dalam mengelola dana tersebut, maka tetap ada yang harus bertanggungjawab. Namun, Supardi mengakui, belum ada kesimpulan ke arah sana. Hingga kini, dugaan sementara dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan adalah unrealized loss, akibat investasi.

"Kondisinya masih unrealized loss. Tapi nanti kita akan lihat lagi perkembangannya, minggu depan diekspose. Sekarang masih fifty-fifty, saya belum bisa memastikan," ujar Supardi.

Investasi Berisiko Tinggi
Meski hingga kini Kejaksaan Agung belum menyebut pasti sumber dana yang diinvestasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal sangat yakin, kalau dana tersebut bersumber dari Jaminan hari Tua (JHT). Nilainya pun fantastis, yakni mencapai Rp372 triliun.

Said menyebut, sekitar 60 persen dari dana JHT tersebut diinvestasikan di obligasi, yang merupakan investasi jangka panjang. Sementara sisanya diinvestasikan di instrumen lainnya, seperti saham dan reksadana.

Said pun menyayangkan mengapa dana JHT tersebut diinvestasikan dalam instrumen investasi jangka panjang. Menurut dia, hal ini akan menyulitkan kalangan pekerja yang ingin mendapatkan manfaat JHT karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena dana JHT diinvestasikan secara jangka panjang, maka manfaatnya tidak bisa didapat dengan cepat.

Terlebih, kata Said, dalam masa pandemi ini, potensi terjadi PHK besar-besaran sangat mungkin.

"Karena JHT itu adalah tuntutan buruh dalam PP no. 60 tahun 2015, bahwa JHT itu bisa diambil kalau terjadi PHK. Karena itu tidak boleh investasi jangka panjang, karena harus cair segera," ujar Said.

Hal ini yang kemudian menguatkan adanya dugaan masalah dalam pengelolaan dana JHT milik pekerja, yang berujung pada keluarnya Permenaker no 2 tahun 2022, mengenai pencairan dana JHT dengan batas usia 56 tahun. Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar mengatakan, keluarnya peraturan tersebut membuat kalangan pekerja bertanya-tanya mengenai keberadaan dana iuran JHT yang tiap bulan mereka setorkan.

Dan kini pertanyaan tersebut seakan terjawab, yakni Permenaker no. 2 tahun 2022 adalah upaya pemerintah menghambat pencairan dana JHT, karena dana tersebut sedang diinvestasikan secara jangka panjang oleh pemerintah.

"JHT itu kan uang pekerja, maka keluarnya Permenaker tersebut untuk menghadang pekerja untuk mengambil uangnya sendiri," jelas Indra.

Terkait pilihan instrumen investasi, anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan periode 2016-2021, Poempida Hidayatulloh menyatakan, BPJS Ketenegakerjaan memang paling banyak berinvestasi di obligasi.

Menurut data yang diberikan Poempida kepada law-justice.co, terlihat nilai investasi BPJS Ketenagakerjaan pada obligasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam data itu tertulis, pada 2015, BPJS Ketenagakerjaan berinvestasi di obligasi sebesar 46,6 persen, tahun berikutnya 61,7 persen, dan terakhir pada 2020 sebesar 64,5 persen.


Kesehatan dana JHT di tubuh BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPJS TK)

Sementara instrumen investasi BPJS Ketenagakerjaan lainnya seperti, deposito, saham, reksadana, properti dan penyertaan, angkanya lebih kecil dari obligasi.

Menurut Poempida, praktik investasi di BPJS Ketenagakerjaan tersebut mengandung sejumlah risiko. Dalam analisis Big Data yang disusun oleh Poempida, ia menyatakan ada 9 risiko yang bisa dialami BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satunya adalah ketergantungan pasar yang sangat tinggi terhadap kekakuan saham (stock rigidity), menyebabkan hasil dari investasi saham sangat tergantung pada situasi pasar.

"Hal ini membuat saham yang akan diperoleh dan dijual menjadi tidak flexible secara transaksional sehingga secara langsung mempengaruhi harga saham," tulis Poempida dalam analisisnya itu.

Selain itu, risiko lainnya adalah tidak transparan informasi mengenai hasil investasi. Menurut Poempida, bagian ini erat kaitannya dengan kerugian yang belum terealisasi atau unrealized loss, yang disebut oleh Kejaksaan Agung sebelumnya.

Bagi Poempida, unrealized loss sudah merupakan sebuah kerugian pada kegiatan investasi. Hal ini tidak terlihat, sebab dalam pembukuan perusahaan, nilai investasi yang turun tidak akan tercatat. Yang tercatat hanya nilai awal ketika instrumen investasi itu pertama kali dibeli.

Dan dalam data yang diberikan Poempida kepada law-justice.co, terlihat unrealized loss pada total aset BPJS Ketenagakerjaan sejak 2015 hingga 2020, angkanya meningkat tajam. Pada 2015, unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp8 miliar dan pada 2020 meningkat menjadi Rp32 miliar.

"Secara fisik sudah rugi, tapi karena belum direalisasikan, belum dijual, dianggap tidak terjadi (kerugian), kan aneh," urai Poempida.

Ini yang membuat Poempida menyatakan performa hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan tidak pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun hal tersebut tak terekspose ke publik, karena selalu ditutup oleh performa hasil pengumpulan iuran yang semakin bertambah.

Pandangan berbeda mengenai unrealized loss datang dari praktisi pasar modal dari Trimegah Securities, Fakhrul Fulvian. Menurut dia, investasi di pasar modal, erat kaitannya dengan fluktuasi harga. Ini yang membuat kadang kita bisa untung dan juga merugi. Dan menurut Fakhrul, hal ini adalah suatu kondisi yang wajar.

Karena itu pula lah, ia menganggap unrealized loss bukanlah rugi dalam arti yang sebenarnya. Menurut Fakhrul, karena pasar modal sangat dinamis, unrealized loss bisa berputar menjadi sebuah keuntungan, jika pergerakan pasar berubah positif.

Kuncinya, menurut dia adalah, jangan melakukan penjualan ketika sentimen pasar modal sedang negatif atau menurun.


Audit keuangan BPJS Ketenagakerjaan (Dok.BPJS TK)

"Unrealized loss bukan berarti rugi. Itu hanya mark to market yang akan berubah lagi menjadi positif ketika pasar recover seperti sekarang," kata Fakhrul kepada law-justice.co.

Dan secara garis besar, ia memandang investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan hingga kini masih berada di koridor yang wajar. Artinya memang seperti itulah sebuah kegiatan investasi dijalankan.

Terlebih BPJS Ketenagakerjaan memberikan porsi yang besar bagi investasi di obligasi. Menurut Fakhrul, dengan adanya peraturan obligasi negara, maka risiko investasinya suda minim sekali.

Lalu bagaimana dengan risiko investasi selain obligasi? Menurut dia risikonya sama saja, baik itu saham, reksadana, deposito atau instrumen investasi lainnya. Risiko kerugian tetap ada jika kita melakukan penjualan disaat sedang loss.

"Jika sedang turun, selama tidak dijual maka akan tercatat sebagai unrealized loss dan tapi pada dasarnya tidak ada kerugian," kata Fakhrul.

Ia kemudian menyatakan, kondisi pasar dalam negeri masih bagus hingga 3 bulan mendatang. instrumen investasi yang berbasiskan saham berpeluang untuk mendapatkan profit. Sementara obligasi, menurut Fakhrul, ada kenaikan tren setingkat suku bunga.

BPJS Ketenagakerjaan merugi, lalu siapa yang untung?

Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan periode 2016-2021, Poempida Hidayatulloh menyatakan, ada kultur ketertutupan di dalam perusahaan BPJS Ketenagakerjaan. Ia mengaku tidak tahu pasti sejak kapan kultur tersebut terbangun.

Namun salah satu dampak yang ia rasakan dengan adanya kultur tersebut adalah sulitnya Dewan Pengawas meminta data untuk menilai performa perusahaan, termasuk soal investasi. Poempida menjelaskan, pada 2016, ketika ia menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, tidak ada mekanisme kerja yang baku untuk mengatur hubungan kerja antara jajaran Direksi dengan Dewan Pengawas.

Menurut Poempida, hal ini kemudian menciptakan tidak adanya transparansi kerja di dalam tubuh BPJS Ketenagakerjaan itu sendiri. Termasuk dalam menentukan kebijakan investasi yang akan dijalankan.

Poempida mengaku, Dewan Pengawas seringkali tidak dilibatkan dalam hal penentuan kebijakan investasi BPJS Ketenagakerjaan, bahkan yang nilainya bisa mencapai milyaran atau bahkan triliunan.

"Kami seringkali tidak mendapatkan penjelasan mengapa memilih inviestasi itu, yang kami tahu sudah langsung jadi portofolio. Hal seperti itu tidak pernah bisa dijawab (oleh direksi)," ungkap Poempida.

Tidak adanya transparansi tersebut, menurut Poempida, pada akhirnya membuat kegiatan investasi menjadi tida terawasi. Ini secara otomatis membuat peran Dewan Pengawas menjadi minim.

"Proses penempatan investasi tidak tercatat/terekam dengan baik sejak dari penawaran sampai dengan keputusan penempatan. Keadaan tersebut menyebabkan proses penempatan tidak terawasi," tambah Poempida.

Menurut pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, kondisi yang sebagaimana diceritakan oleh Poempida adalah tidak wajar. Ia mengatakan, dalam sebuah perusahaan milik pemerintah, atau BUMN, ada mekanisme yang harus dilalui terkait pengambilan keputusan investasi.

Setiap keputusan yang akan diambil harus mendapatkan persetujuan dari komite investasi. Jika tidak, maka rencana investasi tersebut tidak akan bisa dijalankan. Menurut Toto, hal ini mutlak harus terpenuhi, terlebih nilai investasinya besar.

"Kalo terjadi penyimpangan, maka dewas bisa mengajukan pertanyaan dan sekaligus konfirmasi kenapa terjadi masalah tersebut Kalo dianggap terjadi tindakan fraud maka komite audit bisa langsung diminta untuk melakukan investigasi," papar Toto.

Terlepas dari hal itu, siapa yang diuntungkan dari carut marutnya kebijakan investasi di internal BPJS Ketenagakerjaan? Poempida Hidayatulloh tidak menjawab dengan tegas. Namun secara tidak langsung ia menduga memang ada yang pihak-pihak mencoba mencari keuntungan dari kebijakan investasi yang dibuat oleh BPJS Ketenagakerjaan.

"Saya tidak mau jadi seperti menuduh-nuduh orang tanpa alasan, karena kita juga butuh bukti untuk menunjuk orang melakukan kejahatan, tapi sebagai dewas saya harus mengawasi dengan ketat," kata Poempida.

Lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas potensi kerugian yang diderita BPJS Ketenagakerjaan? Poempida menyatakan, bahwa pihak direksi lah yang harus bertanggungjawab. Jawaban senada juga dilontarkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal.

Bahkan menurut dia, Presiden RI pun bisa dimintai pertanggungjawaban atas carut marut di internal BPJS Ketenagakerjaan, sebab puerusahaan tersebut berada langsung di bawah presiden.

"Pertanggungjawaban ada di direksi. Tapi setelah itu DPR juga harus bertanya pada presiden," tegas Said.

Lantas apa yang bisa dilakukan Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan periode saat ini, untuk membenahi perusahaan tersebut ke depannya? Terkait hal itu, kami sudah beupaya meminta konfirmasi kepada jajaran Dewan Pengawas BPJS Naker, namun hingga laporan ini dibuat, tidak ada satupun anggota Dewas BPJS Naker yang bersedia meluangkan waktunya untuk kami wawancarai.

Catatan BPK

Pada semester II 2020, BPK telah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan atas pengelolaan investasi dan operasional tahun 2018-15 November 2020 pada BPJS TK serta instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Kepulauan Riau.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan investasi dan operasional pada BPJS TK telah sesuai kriteria dengan pengecualian.

Permasalahan signifikan yang ditemukan dalam pemeriksaan ini, di antaranya:
● Tata kelola investasi BPJS TK belum sepenuhnya memadai. Hal tersebut mengakibatkan BPJS TK kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil pengembangan dana secara optimal dari ketidakjelasan keputusan cut loss atau take profit, menanggung risiko tinggi apabila reksadana yang dimiliki 100% mengalami penurunan kinerja atau rugi tanpa adanya sharing risiko dengan pihak lain, potential loss yang tinggi dari investasi saham dan reksadana, dan berpotensi tidak dapat memenuhi
dana amanat dari para peserta program jaminan sosial terutama program JHT dan JP. BPK merekomendasikan kepada Direktur Utama BPJS TK agar:


Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (Foto: Okezone)

- Membuat mekanisme cut loss secara jelas dan tegas sehingga dapat dijadikan pedoman pengambilan keputusan cut loss.
- Mempertimbangkan untuk melakukan take profit atau cut loss saham-saham yang tidak ditransaksikan antara lain saham SIMP, KRAS, GIAA, AALI, LSIP, dan ITMG.
- Melakukan rekomposisi kepemilikan reksadana untuk mengantisipasi terjadinya ketidakstabilan pasar dengan mempertimbangkan risiko dan hasil investasi yang lebih optimal.
- Menyusun dan menerapkan langkah-langkah pemulihan unrealized loss secara rinci dengan tidak hanya menggantungkan pada faktor uncontrollable seperti IHSG serta memulihkan likuiditas dan solvabilitas Program JHT minimal pada angka 100%.

● Strategic Asset Allocation (SAA) dan Tactical Asset Allocation (TAA) BPJS TK belum optimal untuk mencapai tingkat pengembalian portofolio investasi DJS dan aset BPJS TK, mengakibatkan SAA dan TAA belum sepenuhnya efektif sebagai pedoman strategi investasi serta hasil investasi DJS dan aset BPJS Ketenagakerjaan belum sesuai dengan target yang telah ditetapkan. BPK merekomendasikan kepada Direktur Utama BPJS TK untuk menyusun pedoman dan menerapkan evaluasi berkala atas SAA dan TAA sesuai dengan perubahan kondisi makro dan kinerja portofolio investasi.

● Realisasi beban representasi manajemen pada BPJS TK tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan benar, mengakibatkan beban representasi sebesar Rp22,14 miliar belum dapat diyakini kebenarannya, meliputi beban representasi direksi sebesar Rp13,49 miliar dan beban representasi dewan pengawas termasuk gabungan dewas senilai Rp8,65 miliar, serta beban representasi diberikan secara tunai kepada direksi sebesar Rp9,39 miliar tidak akuntabel.

BPK merekomendasikan kepada Direktur Utama BPJS TK untuk menetapkan Pedoman Penyusunan Anggaran, Tata Cara Pencairan dan Verifikasi Beban Representasi, dan meminta Direksi dan Dewas BPJS TK mempertanggungjawabkan penggunaan dana sebagai beban representasi dengan melengkapi bukti pendukung secara at cost.


Kontribusi Laporan : Rio Rizalino, Ghivary Apriman, Yudi Rachman