Imbas Mengerikan Krisis Energi RI, Pengamat: Listrik Padam Bergilir

Jakarta, law-justice.co - Mamit Setiawan, Pengamat Energi, menyebut pemadaman listrik bergilir akan menjadi skenario terburuk krisis pasokan batu bara yang saat ini dialami pembangkit PT PLN (Persero). Skenario terburuk itu terjadi jika PLN mengalami kekurangan pasokan dalam waktu cukup panjang.


"Kemungkinan terjadi pemadaman bergilir, kalau kekurangan pasokan berlangsung cukup lama," ujarnya dikutip dari CNNIndonesia, Jumat (7/1/2022).

Baca juga : Cek Syaratnya, Perum Damri Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan SMA/SMK

Namun, sebelum risiko terburuk itu terjadi, ia meyakini pemerintah akan berupaya keras mencari sumber energi penggantinya. Misalnya, gas alam cair (LNG) atau solar.

Toh, saat ini, PLN mulai mendapatkan pasokan tambahan dari perusahaan tambang batu bara usai pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor.

Baca juga : Deretan Fakta Terbaru Kasus Dugaan Bunuh Diri Brigadir RA di Mampang

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa punya pendapat berbeda. Menurut dia, selain pemadaman listrik bergilir, skenario terburuk dari krisis pasokan batu bara adalah pemerintah memberlakukan kebijakan lain, seperti meminta pelanggan listrik besar atawa industri menurunkan konsumsi guna mengurangi beban.

Atau, sambung dia, PLN terpaksa menanggung harga batu bara lebih tinggi jika tidak juga berhasil mendapatkan pasokan dari domestic market obligation (DMO). DMO adalah kewajiban perusahaan memenuhi kebutuhan batu bara di dalam negeri dengan harga jual US$70 per ton.

Baca juga : Usai Ramai Keluhan Netizen, Ini 3 Instruksi Sri Mulyani ke Bea Cukai

Persoalannya, dalam keadaan terdesak seperti saat ini, Fabby menyarankan agar pemerintah melakukan negosiasi ulang terkait besaran kewajiban DMO batu bara. Misalnya, di kisaran 35 persen-45 persen.

Sebagai gantinya, lanjut dia, pemerintah dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha, seperti perpanjangan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKB2B).

"Kalau terjadi kekurangan pasokan batu bara, pertama, PLN akan mematikan pembangkit karena enggak ada batu baranya," imbuh dia.

Masalah Lawas

Mamit menuturkan sebetulnya, masalah kekurangan pasokan batu bara bukan hal baru. Bahkan, ia menyebut masalah ini masalah lawas.

Krisis yang terjadi saat ini, ia menduga karena denda yang dikenakan pemerintah ke perusahaan tambang batu bara yang tidak menyetorkan kewajiban DMO-nya tidak lah terlalu besar. Sehingga, pengusaha lebih memilih untuk mengekspor ke luar.

Namun, ia mengingatkan dalam hal ini bukan cuma pengusaha yang harus berbenah, tetapi juga PLN. Perusahaan setrum negara itu dinilai perlu memperbaiki tata niaga dengan tidak terlambat membayarkan kewajibannya kepada pengusaha.

Diketahui, sebelumnya Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan pasokan listrik untuk wilayah Jawa, Bali dan Madura terancam.

Hal tersebut terjadi akibat rendahnya realisasi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/ DMO) dari pengusaha batu bara.

Akibatnya, pembangkit PLN mengalami defisit pasokan batu bara pada akhir tahun lalu. Pasokan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi.

"Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen," ujarnya seperti dikutip dari website Kementerian ESDM, Sabtu (1/1) lalu.

Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah memutuskan melarang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melakukan ekspor batu bara. Larangan diberlakukan mulai 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022.