MAKI: Jaksa di Indonesia Selama Ini Berpraktek Laksana Dewa

Jakarta, law-justice.co - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengibaratkan jaksa di Indonesia selama ini berpraktek laksana dewa dalam penegakan hukum.

Hal ini terjadi lantaran proses penanganan perkara yang dipegang Kejaksaan hanya menerima limpahan berkas dari Kepolisian tanpa tahu proses penyelidikan dan penyidikannya.

Baca juga : Nonaktifkan 2 Rutan, KPK Pindahkan Tahanan ke Gedung Merah Putih

Di negara maju seperti Amerika Serikat, kata Boyamin, peran jaksa dalam penanganan perkara pidana melekat dalam serangkaian penyelidikan yang dilakukan Kepolisian.

Keikutsertaan jaksa dalam proses olah TKP, misalnya, dapat memperkuat pencarian dan pengumpulan alat bukti sehingga menghasilkan berkas penuntutan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Baca juga : Respons Anies Baswedan soal PKB dan NasDem Merapat ke Koalisi Prabowo

"Jaksa kita selama ini berpraktek seperti dewa. Karena hanya menerima berkas perkara, tidak tahu prosesnya yang detail kemudian bisa menyatakan P-21 atau P-19. Kalau berkas perkaranya cuma dua tiga lembar enggak apa-apa, tapi berkas perkara kan bisa berjilid-jilid itu," kata Boyamin kepada Law-Justice, Kamis (18/11/2021).

Kewenangan jaksa yang dinilai minim dalam tugas pra-penuntutan ini diusulkan untuk dilengkapi dalam Revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang kini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Boyamin mengatakan dia telah mengusulkan dua penambahan kewenangan jaksa dalam revisi UU Nomor 16 Tahun 2004 itu.

Baca juga : Kata AHY soal NasDem dan PKB Gabung ke Koalisi Prabowo-Gibran

Pertama, jaksa berwenang melakukan koordinasi dan supervisi dalam rangka penyelesaian penyidikan. Menurut Boyamin, ketentuan ini perlu ditambahkan berkaca dari pengalaman yang dia amati pada proses penyidikan oleh Kejaksaan Negeri Sukoharjo dan Polres Sukoharjo dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sepeda motor.

Dalam kasus itu, Boyamin mengungkapkan seorang pejabat pemerintah daerah mengubah pelat nomor sepeda motor dari semula berwarna merah menjadi warna hitam untuk digunakan secara pribadi.

Dalam proses hukumnya, penyidik Polres Sukoharjo bolak balik hingga puluhan kali melengkapi berkas perkara berdasarkan petunjuk Kejaksaan.

"Perkaranya mungkin sederhana, harusnya pelat merah jadi empat hitam. Dan perkaranya itu oleh penyidik Kepolisian sampai bolak balik berkas itu 22 kali (ke Kejaksaan)," tutur Boyamin.

Proses melengkapi berkas perkara itu mengakibatkan alotnya jalan penegakan hukum. Hal ini karena jaksa tidak ikut berkoordinasi secara langsung dengan penyidik Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah soal subyektivitas jaksa dalam memberikan petunjuk pembuktian pidana. Dalam kasus tersebut, kata Boyamin, dia sempat mengajukan gugatan pra-peradilan dengan format penghentian penyidikan materiil.

"Jadi meskipun tidak ada SP3 (dari Kepolisian), saya gugat. Dan gugatan keempat tahun 2004 saya dimenangkan, bahwa telah terjadi penghentian penyidikan materiil karena petunjuk jaksanya yang subyektif, dan diperintahkan untuk dilanjutkan," papar Boyamin.

Usulan yang kedua dalam revisi UU Kejaksaan, Boyamin meminta agar dalam hasil penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) belum lengkap, Jaksa Penuntut Umum berwenang dan atau wajib menyelesaikan penyidikan.

Masih seperti usulan yang pertama, ketentuan yang kedua ini ditujukan untuk meminimalisir bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hanya saja, aparat penegak hukum yang bertugas menangani penyidikan perkara di sini adalah PPNS, bukan penyidik kepolisian.

Kasus-kasus yang ditangani biasanya berdasarkan lingkup kewenangan penyidik dari kalangan PNS. Di samping itu, Boyamin meminta agar JPU juga berperan menyelesaikan penyidikan pada kasus-kasus yang menyangkut keuangan negara, seperti pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan, dan tindak pidana cukai.

Berdasarkan pengalaman, Boyamin menuturkan, dia pernah menerima informasi tentang proses penyidikan oleh PPNS dalam kasus kepabeanan yang diduga ada upaya melemahkan alat bukti, sebelum dilimpahkan ke JPU. Permainan oknum PPNS itu disinyalir agar berkas perkara yang sudah diterima JPU, dikembalikan lagi sehingga penyidikannya dihentikan.

"Padahal kalau diproses pidana, itu kerugiannya diduga sampai Rp 300 miliar," ungkapnya.

Mengenai dua usulan tentang pasal kewenangan jaksa tersebut, Boyamin memberikan usulan alternatif lain yang lebih spesifik. Pada usulan pertama, ada dua alternatif lain, yakni "jaksa berwenang melakukan koordinasi guna meningkatkan sinergi dalam rangka percepatan dan atau penyelesaian Penyidikan" dan "jaksa berwenang melakukan koordinasi dalam rangka supervisi untuk percepatan dan atau penyelesaian Penyidikan."

Ketiga alternatif dalam usualan pertama menurut Boyamin bisa ditujukan dalam proses penyidikan tindak pidana khusus atau korupsi. Adapun dua usulan mengenai kewenangan jaksa dalam revisi UU Kejaksaan ini telah dia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR RI, kemarin, (17/11/2021).