Dampak RI Tinggalkan Energi Fosil: Tarif Listrik Makin Mahal

Jakarta, law-justice.co - Mulai 2030 tidak ada lagi izin pembangunan pembangkit listrik tenaga fosil. Targetnya seluruh pembangkit listrik akan bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) mulai 2060.


Tentu saja itu menjadi kabar baik karena dengan transisi menuju energi terbarukan maka Indonesia dapat menekan emisi karbon, dalam hal ini mewujudkan non emisi karbon (net zero emission/NZE) di 2060.

Baca juga : Pengadaan di Transisi Energi Rentan Korupsi, KPK Minta PLN Transparan

Namun rencana peralihan dari energi fosil perlu benar-benar dicermati pemerintah. Sebab, saat ini produksi listrik dari EBT masih mahal dibandingkan listrik yang dihasilkan dari batu bara.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut selisih harga listrik per kWh yang dihasilkan batu bara dan EBT sangat jauh. Listrik dari batu bara dia sebut dikisaran Rp 600-Rp 800 per kWh.

Baca juga : Ndasmu, Angin Itu Enggak Ada KTP-nya!

"Kalau sekarang kan rata-rata take or pay ya, jadi kalau kita bicara take or pay itu (untuk energi terbarukan) di atas Rp 1.440 per kWh, jadi memang ada selisih yang cukup besar per kWh-nya. Kurang lebih selisihnya antara Rp 600 sampai Rp 800, selisih harganya. Itu dengan asumsi bahwa harga batu bara ini sesuai dengan DMO US$ 70 dolar per metrik ton saat ini," katanya dilansir dari Detik, Minggu (24/10/2021).

Artinya, ada potensi kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang dibayar oleh masyarakat. Kecuali, pemerintah sanggup mensubsidi kenaikan tarif listrik imbas transisi menuju energi terbarukan.

Baca juga : Sri Mulyani : Indonesia Butuh Rp 1,5 Kuadriliun untuk Transisi Energi

"Terkait dengan tarif, saya melihatnya bahwa memang EBT sampai sejauh ini masih cukup tinggi harganya dibandingkan energi fosil, potensi kenaikan harga tarif dasar listrik sebenarnya pasti ada," sambung Mamit.

Oleh karena itu, dia menilai pemerintah harus berhati-hati dalam melaksanakan transisi energi. Pemerintah harus memperhatikan kondisi keuangan negara jika harus mensubsidi tarif listrik, dan juga harus memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat jika kenaikan TDL turut dibebankan ke mereka.

Lanjut dia, jangan sampai kebijakan transisi energi fosil ke EBT justru menjadi beban atau salah langkah. Jadi, pemerintah harus benar-benar memperhitungkannya secara matang.

"Sebenarnya kalau transisi energi ini pasti terjadi, tidak mungkin tidak lah ya karena di negara-negara lain pun sudah mengarah ke sana, tinggal bagaimana sebenarnya rencana ini berjalan dengan baik," tambah Mamit.