Kudeta Guinea Disebut Terjadi Pasca Amendemen soal Presiden 3 Periode

Jakarta, law-justice.co - Kudeta militer yang terjadi di Guinea terjadi setahun setelah amendemen konstitusi soal masa jabatan presiden.

Amendemen itu memungkinkan seorang presiden yang untuk menjabat selama tiga periode. Amendemen itu dilakukan tahun lalu sehingga Presiden Alpha Conde bisa maju lagi untuk periode ketiga pada Pemilihan Presiden 2020.

Baca juga : Eks Sekjen PBB Desak Myanmar Akhiri Kekerasan Usai Kudeta Militer

Seperti melansir cnnindonesia.com, langkah itu pun sempat mengundang protes dan boikot pihak oposisi karena amendemen dan Pemilu 2020 tetap dilakukan meski masa pandemi.

Massa pendukung oposisi bahkan sempat turun ke tempat-tempat pemungutan di sejumlah distrik suara agar Pemilihan Presiden diundur. Namun, militer meredam aksi protes itu.

Baca juga : Aung San Suu Kyi Bakal Banding Atas Tudingan Junta Militer Myanmar

Conde tak secara tegas mendeklarasikan maju lagi pada 2020. Namun sejumlah kritikus mengatakan rancangan amendemen konstitusi saat itu memperpanjang masa jabatan presiden menjadi enam tahun dan menghapus masa jabatan presiden dua periode saja.

Meski saat itu Conde tak tegas-tegas menyatakan ingin masa jabatan presiden diperpanjang, ia sempat mendukung sedikit penundaan karena tanggung jawab nasional dan regional.

Baca juga : ASEAN yang Tak Berdaya Hadapi Kebrutalan Junta Myanmar

Dalam pidato kenegaraan di televisi Guinea, ia mengatakan rakyat punya pilihan untuk memungkinkan amendemen dan perubahan komposisi parlemen.

Menurut pakar Afrika Barat, Paul Melly, kepada DW, ini adalah cara halus untuk menyatakan secara tersirat bahwa Conde telah mendapat tekanan berat dari partai politik dan masyarakat sipil.

Perubahan konstitusi itu pun terjadi saat banyak negara di kawasan itu mencoba mempromosikan gagasan bahwa masa jabatan presiden tak boleh lebih dari dua periode.

"Pertanyaannya adalah, apakah masuk akal bagi Conde yang sudah 80-an tahun maju lagi (sebagai presiden)? Dan, apakah mungkin mengadakan pemilihan lagi secara bebas dan adil ketika daftar pemilih tampaknya sulit dipercaya?" ujar Melly.

Militer Guinea dilaporkan telah melakukan kudeta terhadap pemerintah negara Afrika Barat itu dan menahan Presiden Alpha Conde pada Minggu (5/9).

Dalam sebuah rekaman video, salah satu perwira militer Guinea, Mamadi Doumbouya, menuturkan militer telah menangkap Conde, membekukan konstitusi, pemerintah, dan seluruh institusi negara.

Presiden berusia 83 tahun itu bungkam seribu bahasa, menolak menjawab semua pertanyaan yang diutarakan salah satu personel.Melalui video yang didapat AFP, Presiden Conde terlihat tengah duduk di sebuah sofa dikelilingi oleh personel militer.

Conde telah menjabat sebagai Presiden Guinea Ke-4 sejak 21 Desember 2010 lalu setelah berjuang mencalonkan diri sebagai pemimpin negara itu dua kali pada 1993 dan 1998 namun gagal.

Conde akhirnya memenangkan putaran kedua pemilihan presiden pada 2010 mengalahkan pesaingnya, Cellou Dalein Diallo.

Ia pun menjadi Presiden Guinea pertama yang terpilih dalam pemilu bebas.

Pada 2015 dan 2020, Conde kembali terpilih menjadi presiden negara itu untuk periode kedua dan ketiganya.

Pulugan warga dikabarkan tewas dan ratusan orang lainnya ditahan aparat saat berdemonstrasi memprotes periode ketiga Conde.

Di awal periodenya sebagai presiden, Conde bertekad ingin membasmi korupsi dan menegakkan demokrasi di Guinea. Namun, pada 2016, Conde dan putranya terkait skandal korupsi.

Conde memproklamirkan dirinya pemenang pemilu meski Diallo dan tokoh oposisi mencela pemungutan suara 2020 telah dicurangi.

Media di eropa merilis rekaman suara yang memaparkan bahwa perusahaan tambang Rio Tinto membayar pejabat pemerintah Guinea untuk mendapat sejumlah kemudahan bisnis.