Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan

Menko Luhut, Mengeluarkan Indikator Kematian Itu Melanggar Hukum

law-justice.co - Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang juga merangkap sebagai Koordinator PPKM Darurat di Jawa dan Bali, mengeluarkan statmen kontroversial tentang indikator penentuan perpanjangan PPKM Level 4 di Jawa dan Bali hingga 16 Agustus 2021. Pemerintah disebut mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 karena adanya masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.

Pernyataan itu diprotes oleh banyak pihak, terutama relawan yang tergabung dalam platform Lapor Covid-19. Menurut mereka, keputusan itu sangat tidak tepat mengingat tingginya angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia.

Baca juga : Tak Sudi RI Terus Ekspor via Singapura, Luhut: Buka Jalur Baru ke Cina

Dengan dihilangkannya indikator kematian tersebut, terdapat 26 kabupaten/kota yang turun statusnya menjadi PPKM level 3. Luhut mengklaim pelaksanaan PPKM level 4 sukses menurunkan angka kasus Covid-19 sebesar 59,6 persen dari puncak kasus di 15 Juli 2021.

Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan menilai, keputusan tersebut menunjukan betapa serampangannya pemerintah dalam mengelola data Covid-19.

Baca juga : Soal Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Luhut Minta China Serius Bantu RI

"Itu adalah memanipulasi pengetahuan publik mengenai penanganan Covid-19 ketika hal tersebut dijadikan dasar menurunkan status penanganan di 26 kota/kabupaten. Langkah pemerintah ini tentu tidak berdasar," demikian bunyi pernyataan sikap bersama Koalisi Masyarakat untuk Hak Atas Kesehatan yang diterima redaksi Law-Justice.

Keputusan menghapuskan angka kematian sebagai indikator penanganan covid-19 diambil ketika terjadi peningkatan angka kematian yang signifikan. Data Satgas Covid-19 menunjukan selama PPKM level 4, angka kematian masih berkisar di 1.300-1.500 kasus. Pada 10 Agustus 2021 bahkan penambahan kasus kematian mencapai 2.048 kasus, menyerupai jumlah tertinggi pada puncak penyebaran di bulan Juli 2021 dan tertinggi di dunia.

Baca juga : Lapor LHKPN, Dalam Setahun Harta Luhut Naik Ratusan Miliar Rupiah

"Data tersebut bahkan masih diragukan mengingat menurut catatan LaporCovid-19 per akhir Juli lalu, setidaknya terdapat 19.000 kematian pasien Covid-19 yang tidak tercatat dalam data Satgas," tulis Koalisi.

Koalisi menganggap angka kematian sebagai informasi yang sangat penting untuk menunjukan fatalitas dari virus Covid-19 yang menyebar pada wilayah dan waktu tertentu, apalagi saat ini Indonesia berhadapan dengan berbagai varian mutasi Covid-19 dengan dampak yang beragam.

Informasi ini penting untuk dikelola dengan baik, bersifat obyektif, dapat dipercaya dan paling penting adalah bersifat terbuka. Prinsip ini sejalan dengan panduan penanganan Covid-19 WHO dan bahkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah melalui Menteri Kesehatan.

"Lebih mendasar dari itu, dihilangkannya angka kematian dalam data penanggulangan Covid-19 merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular."

Koalisi menilai, keputusan pemerintah mengeluarkan data kematian tidak dapat dipisahkan dari rencana pemerintah melonggarkan kembali berbagai sektor usaha untuk beroperasi. Misalnya dengan izin industri esensial berbasis ekspor untuk beroperasi 100 persen, atau kebijakan beroperasi pusat perbelanjaan dengan syarat kartu vaksin hasil kerja sama dengan Asosiasi Mal Indonesia.

"Kami memandang keputusan tersebut tidak berdasarkan pada prioritas aspek kesehatan masyarakat, melainkan aspek ekonomi semata. Dengan buruknya pengelolaan informasi mengenai Covid-19 dan buruknya pelaksanaan 3T pemerintah selama PPKM terakhir, upaya-upaya pelonggaran tersebut lagi-lagi akan membawa kegagalan penanganan Covid-19 dan kembali mengorbankan keselamatan masyarakat," demikian tulis Koalisi.

Data Satgas menunjukan jumlah testing nasional pada 10 Agustus 2021 dilakukan terhadap 146.150 orang, dimana rata-rata jumlah sebelumnya berkisar di angka 100.000 orang secara nasional. Jumlah tersebut sangat jauh dari jumlah target testing yang ditetapkan pemerintah untuk wilayah Jawa-Bali saja ditargetkan 324.283 orang per hari.