Wajib Tahu! Begini Alur Penyelesaian Perkara Pidana

Jakarta, law-justice.co - Masih banyak orang, khususnya yang tak pernah belajar hukum masih awam dengan proses atau alur penyelesaian perkara pidana. Bahkan ada yang tak bisa membedakan arti penyelidikan dengan penyidikan.

Namun, sebelum masuk lebih jauh ke sana, terlebih dahulu yang harus kita pahami adalah bahwa ranah hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni materiil dan formil. Secara sederhana, perbedaan antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil terletak pada dasar hukum yang mengaturnya.

Baca juga : Analisis Hukum Pengaturan Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana

Hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana formil diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sejalan dengan namanya, KUHAP mengatur secara detail tata cara penanganan kasus pidana yang terbagi dalam empat tahap.

Baca juga : Aspek Hukum dan HAM tentang Penahanan

Tahap pertama, penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak dilakukan penyidikan.

Tahap kedua, penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana, termasuk untuk menemukan tersangka. Tahap pertama dan kedua merupakan ranah kewenangan institusi Kepolisian, kecuali untuk beberapa jenis tindak pidana khusus seperti korupsi yang merupakan ranah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca juga : Dua Tersangka Kasus Suap PBJ di BTP Bandung Segera Disidang

Dalam hal, penyidik menilai tidak diperoleh bukti yang cukup, perbuatan yang disangkakan bukan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka akan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disingkat SP3.

Jika penyidik adalah Kepolisian, maka SP3 disampaikan kepada penuntut umum dan tersangka atau keluarganya. Jika penyidik adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), maka SP3 disampaikan kepada penyidik Kepolisian dan penuntut umum.

Tahap ketiga, penuntutan yaitu tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pada tahap ini ranah kewenangan pun beralih, dari institusi Kepolisian ke institusi Kejaksaan.

KUHAP memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk memastikan apakah penyidikan telah dilakukan secara benar. Jika terdapat kekurangan, Kejaksaan dapat mengembalikan berkas ke Kepolisian untuk diperbaiki atau dilengkapi. Tetapi jika sebaliknya, Kejaksaan harus segera melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang.

Tahap keempat, pemeriksaan di pengadilan atau mengadili yaitu serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Proses pemeriksaan di pengadilan dapat dilakukan dengan acara cepat, singkat atau biasa tergantung dari karakteristik kasusnya. Tahap ini merupakan tahap paling menentukan dari keseluruhan proses hukum pidana.

Pada tahap ini jaksa penuntut umum yang didasarkan pada hasil penyelidikan dan penyidikan Kepolisian berupaya membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Sebaliknya, terdakwa memiliki kesempatan untuk membela diri sekaligus membantah dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum.

Muara dari proses pemeriksaan di pengadilan adalah putusan hakim atau vonis yang pada intinya memiliki dua kemungkinan, yakni bersalah atau tidak bersalah. Jika divonis bersalah, terdakwa memiliki kesempatan untuk mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi, kasasi atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Jika divonis tidak bersalah, upaya hukum yang dapat ditempuh terdakwa tergantung pada jenis vonisnya, apakah bebas atau lepas.

Vonis bebas adalah vonis yang menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. Sedangkan, vonis lepas adalah vonis yang menyatakan perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Terhadap vonis bebas atau lepas, sebenarnya tidak ada upaya hukum biasa yang diperkenankan oleh KUHAP, kecuali kasasi demi kepentingan hukum yang merupakan kewenangan ‘eksklusif’ yang dimiliki oleh Jaksa Agung.

Namun, pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan pengujian Pasal 244 KUHAP membuka peluang jaksa untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas. Sebelum Putusan MK ini, jaksa sebenarnya telah beberapa kali mengajukan kasasi terhadap vonis bebas.