Ebrahim Raisi jadi Presiden Iran, Israel Tegas Tolak Negosiasi Nuklir

law-justice.co - Perdana Menteri Israel Naftali Bennett telah mengeluarkan sikap politik merespon terpilihkan Ebrahim Raisi sebagai presiden Iran yang baru. Bannett menegaskan Israel akan keluar dari kesepakatan ulang perjanjian nuklir Iran yang sudah terjadi sejak tahun 2015.

Bannett secara tegas mengutuk terpilihnya Raisi, hakim pengadilan revolusioner di Iran yang dianggap sebagai dalang atas tragedi pelanggaran HAM tahun 1988. Saat itu, lebih dari 30.000 orang dijatuhi hukuman gantung orang-orang yang bertentangan dengan semangat revolusi Iran. Raisi bahkan sampai sekarang masih berada di bawah sanksi AS.

Baca juga : Amerika Hentikan Pengiriman Senjata ke Israel, Ini Alasannya

"Pemilihan Raisi, menurut saya, adalah kesempatan terakhir bagi kekuatan dunia untuk bangkit sebelum kembali ke perjanjian nuklir dan memahami dengan siapa mereka berurusan," kata Bennett di siaran langsung televisi Israel.

Ebrahim Raisi resmi terpilih sebagai Presiden Iran usia Pemilu kemarin. Pria yang dulu berprofesi sebagai Hakim ini menang telak dengan perolehan suara jauh mengungguli dua pesaingnya, Mohsen Rezaei dari kubu konservatif dan Abdolnaser Hemmati dari kubu teknokrat.

Baca juga : 200 Pengacara Bikin Petisi ke ICC Desak Segera Tangkap Netanyahu Cs

Raisi berhasil meraup 17,8 juta suara dari total 28,6 juta suara yang masuk. Melenggangnya Raisi ke kursi Presiden Iran mendapatkan berbagai tanggapan dari pemimpin-pemimpin dunia.

PBB dan Iran saat ini sedang dalam negosiasi ulang program nuklir. PBB saat ini tidak lagi memiliki keweangan untuk mengawasi program nuklir Iran karena kesepakatan tahun 2015 sudah kadaluarsa. Selama lebih dari 5 tahun, dunia telah mengawasi program nuklir Iran, mencegah negara itu dari pengembangan senjata pemusnah massal. Iran dengan tegas membantah bahwa mereka sedang mengembangkan senjata nuklir.

Baca juga : Menlu Indonesia: OKI Harus Bersatu Membela Keadilan Bagi Palestina