RKUHP soal Hina Pemerintah, Refly: Tujuan Negara Jadi Penjarakan Warga

Jakarta, law-justice.co - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun berpendapat tujuan negara dibelokkan dengan pasal-pasal yang terdapat di RUU KHUP terbaru, khususnya mengenai tindak pidana bagi penghina pemerintah.

"Tujuan negara akhirnya dibelokkan yaitu untuk memenjarakan rakyat, terutama rakyat kritis atau yang berbeda pendapat," kata Refly Harun, melalui kanal YouTube-nya, Selasa (8/6/2021).

Baca juga : Pakar UGM Beberkan Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

Menurutnya, RUU KUHP yang mengatur bahwa siapapun yang menghina presiden akan terancam hukuman penjara 4,5 tahun, seolah menghidupkan kembali pasal-pasal karet yang ada di zaman orde baru.

"Kita mau kembali ke jaman orde baru dan penjajahan, ketika pasal-pasal karet KUHP hendak dihidupkan kembali. Itulah pasal-pasal yang banyak menjerat aktivis-aktivis politik dan pejuang RI di masa orde baru," ujarnya.

Baca juga : Refly Harun Sebut Putusan PHPU Butuh Moral Hakim Konstitusi

Dia menambahkan, harusnya prinsip seperti itu tidak harus dipertahankan karena menurutnya presiden dan wakil presiden itu adalah benda mati.

"Ini prinsip yang menurut saya yang tidak perlu dipertahankan kalau kita kaitkan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul," sambungnya.

Baca juga : Refly Harun : Haram MK Tidak Kabulkan Permohonan Amin

Refly Harun juga tak menyetujui akan pasal penghinaan di RUU KUHP terbaru karena menurutnya itu berbahaya bagi demokrasi.

"Saya termasuk orang yang tidak setuju ada pasal-pasal khusus perlindungan terhadap presiden dan wakil presiden. Apalagi setiap orang disini bisa melaporkan hal tersebut," katanya.

"Jadi disini saya bisa membayangkan, kritis sedikit terhadap pemerintah sudah dianggap menyerang presiden. Kritis sedikit terhadap masa pemerintahan yang berikutnya dianggap menghina dan menjatuhkan martabat presiden. Ini berbahaya bagi demokrasi kalau kita ingin menegakkan demokrasi kita," sambungnya.

Seperti yang diketahui sebelumnya, RUU KUHP terbaru membuka kemungkinan menjerat orang yang menghina presiden dan wakil presiden melalui media sosial dengan pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

Hal tersebut tertuang di Pasal 219 Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 219 tersebut berbunyi:

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi pasal tersebut.

Kemudian, pada Pasal 218 ayat 2, menghina presiden serta wakil presiden yang tidak melalui media sosial bisa dijerat dengan pidana penjara maksimal 3,5 tahun atau denda Rp200 juta.

Pasal 218 berbunyi:

Ayat 1: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat 2: Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dijelaskan pula pada pasal 220, bahwa pasal 219 dan 218 hanya bisa berlaku jika adanya aduan tertulis yang dibuat oleh presiden dan wakil presiden.

Pasal 220:

Ayat 1: Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
Ayat 2: Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.