Laporan UHRP Ungkap Tokoh Agama Uighur Kerap Jadi Sasaran Persekusi

Beijing, Tiongkok, law-justice.co - Uighur Human Rights Project (UHRP) menyatakan bahwa tokoh agama suku Uighur di Xinjiang menjadi sasaran persekusi pemerintah China.
Hal tersebut diungkapkan dalam laporan teranyar UHRP yang menyertakan sejumlah bukti-bukti baru.

Dengan menggunakan sumber primer dan sekunder sejak 2014, UHRP telah mengumpulkan data yang terdiri dari 1.046 kasus penahanan imam dan tokoh agama.

Baca juga : Untung Rugi Ketika `Aseng` Memperkuat Islam


"Namun, total kasus dalam rangkaian data tersebut tidak bisa ditafsirkan sebagai perkiraan jumlah total imam yang ditahan atau dipenjarakan," demikian pernyataan UHRP dalam laman resminya, seperti dikutip Sabtu (15/5/2021).

"Total kasus yang telah kami tinjau tersebut kemungkinan baru permukaan, hanya mewakili puncak gunung es, mengingat pembatasan ketat atas akses informasi," lanjut UHRP.

Baca juga : Ini Alasan Tiongkok Tangkap Massal Seribu Warga Tibet dan Biksu

UHRP melaporkan, dari kasus-kasus dalam kumpulan data ini, sekitar 428 (41 persen) individu dikirim ke penjara resmi, 202 (19 persen) ditahan di kamp konsentrasi atau pusat re-edukasi, dan 18 lainnya meninggal saat berada dalam masa penahanan.

Lembaga tersebut mengaku ada lebih banyak kasus dugaan penahanan, namun rincian pentingnya masih sangat minim.

Baca juga : Dahlan Iskan: IKN Pelit

Data menunjukkan, pemerintah China umumnya menargetkan tokoh agama laki-laki Uighur yang lahir antara 1960-1980. Namun, sejumlah besar pemuka agama Islam Kazakh dari kelompok demografis yang kurang lebih sama juga telah ditahan.

"Serta beberapa tokoh agama Kirgistan, Uzbek, dan Tatar, menunjukkan meluasnya tindak persekusi ini. Ada 57 kasus dalam data tersebut (5 persen) yang dialami individu berusia di atas 60 tahun," ungkap laporan tersebut.


Dalam laporannya, UHRP menyebutkan bahwa tingkat hukuman penjara yang tinggi menunjukkan target dan motivasi kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap para tokoh agama.

Masih dalam laporannya, UHRP menyatakan alasan pemerintah China memenjarakan para tokoh agama ini mencakup ajaran agama `ilegal`, salat di luar masjid yang telah disetujui negara, kepemilikan materi agama `ilegal`, komunikasi atau perjalanan ke luar negeri, separatisme atau ekstremisme, dan memimpin atau berkhotbah di pesta pernikahan dan pemakaman, serta tuduhan lainnya.

Data tersebut mencakup kasus-kasus hukuman penjara 15 tahun atau lebih karena mengajarkan orang lain berdoa, belajar selama enam bulan di Mesir, dan menolak menyerahkan kitab Al-Quran untuk dibakar, serta hukuman seumur hidup untuk menyebarkan keyakinan dan mengorganisir warga.

UHRP juga menemukan bahwa pemerintah dengan sengaja memperlakukan para imam dan tokoh agama dalam beberapa tahun terakhir, termasuk dengan memaksa mereka menari di depan umum, atau memaksa para tokoh agama menyanyikan lagu-lagu yang memuji Partai Komunis Tiongkok (PKT).

"Seorang imam yang diwawancarai UHRP untuk laporan ini menguatkan hal ini dalam kesaksiannya, dan berkisah dia dan beberapa ratus imam lainnya dipaksa mengenakan pakaian atletis dan menari di lapangan umum pada 2014," tulis laporan tersebut.

UHRP turut melaporkan bahwa Pemerintah China telah menyasar tokoh agama Uighur dan bangsa Turk lainnya yang berpengaruh dan berpengetahuan luas sebagai upaya menghentikan transmisi pengetahuan agama antar-generasi di Turkistan Timur (dikenal sebagai daerah otonomi Uighur Xinjiang di China).

"Pemerintah Tiongkok sedang menghentikan praktik keagamaan secara bebas dalam satu generasi. Secara keseluruhan, kebijakan ini akan menyulitkan, kalau bukan mustahil, bagi warga Uighur untuk mempertahankan ekspresi keagamaan apa pun di tahun-tahun mendatang," tulis laporan itu.