Prof. Dr. Nasaruddin Umar

Ulama Kharismatik, Ahli Tafsir yang Moderat

law-justice.co - Nasaruddin Umar sudah malang melintang di dunia akademisi dan organisasi keagamaan. Dia adalah salah satu pemikir Muslim yang menafsirkan ajaran-ajaran Islam agar lebih ramah dengan konsep kemanusiaan dan kekinian. Berani mengemukakan pendapat berbeda, mengedepankan substansi ketimbang simbolisasi.  

Misalnya dalam konsep politik, Nasaruddin tanpa ragu menyebut bahwa Islam tidak pernah mengatur sistem berpolitik yang harus jadi acuan seluruh umat manusia. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang eksplisit menyebut bagaimana sistem politik umat muslim harus dijalankan. Bahkan sampai Nabi Muhammad SAW wafat, tidak pernah ada wasiat bagaimana caranya menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikan beliau.

Baca juga : Presiden Jokowi dan Ma`ruf Amin Salat Ied di Masjid Istiqlal Jakarta

“Islam tidak pernah mengatur sistem politik. Yang diatur adalah etika berpolitik. Jangan serakah,  jangan merampas, jangan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman,” kata dia.

Pria kelahiran Ujung-Bone, 23 Juni 1959 itu menegaskan, sistem politik Islam bersifat lokal, tergantung kesepakatan yang dicapai dalam satu kelompok masyarakat. Karena hanya dengan begitu Islam bisa tumbuh di berbagai negara.

Baca juga : Masuk Radar PDIP Jadi Cawapres Ganjar, Beegini Respons Nasaruddin Umar

“Sistem politik adalah bagian dari hak-hak lokal masyarakat setempat. Apa jadinya kalau al-Quran mengatur sistem politik? Pasti akan sangat kaku.”

Begitu pula dalam konsep bernegara. Nasaruddin adalah ulama yang menentang klaim negara Islam hanya berdasarkan simbolisasi semata. Menurut dia, konsep negara Islam masih terlalu kontroversial untuk ditetapkan secara kaku.

Baca juga : Nasaruddin Umar: Jangan Jadikan Emosi Agama untuk Kepentingan Sesaat

“Apakah Saudi Arabia dengan sistem kerajaan bisa disebut sebagai negara Islam? Apakah Indonesia dengan sistem demokrasi tidak pantas disebut negara Islam?” tanya Nasaruddin.

Dia bahkan mengkritik beberapa negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara Islam tapi substansi keislamannya tidak tercapai. Timbul perpecahan, perang antar saudara, ekonomi yang merosot, ilmu pengetahuan yang terbelakang, masyarakat tidak bisa menjalani hidup dengan tenang. Pada akhrinya, negara-negara tersebut tidak mampu memberikan rasa aman dan tentram bagi umat Muslim untuk beribadah.

“Jadi apa yang dimaksud negara Islam? Definisi Islam itu sangat dipertaruhkan. Jangan sampai kita lebih mengedepankan merek, tapi substansinya tidak ada. Saya kira bukan saatnya lagi kita mempersoalkan simbol dan atribut demi klaim negara Islam,” pungkas Nasaruddin.  

Tafsir-tafsir ajaran Islam yang dikemukakan oleh Nasaruddin Umar tidak bisa lepas dari latar belakang pendidikannya, mulai dari sejak dia menimba ilmu di Pesantren As’adiyah, Sengkang, Sulawesi Selatan, sampai dengan meraih gelar doktor di IAIN Syarih Hidayatullah Jakarta.  

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren As’adiyah, Nasaruddin melanjutkan studinya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ujung Pandang pada tahun 1980-an, dan lulus mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa teladan di Fakultas Syariah IAIN Alauddin.

Bahkan ayah 3 anak itu pernah menempuh serangkaian pendidikan di Eropa. Nasaruddin sempat menjadi salah satu mahasiswa Program Ph.D di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994), dan mahasiswa Program Ph.D di Universitas Leiden, Belanda (1994-1995). Setelah mendapatkan gelar doktoral, dia pernah menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), sarjana tamu di Saos University of London (2001-2002), dan sarjana tamu di Georgetown University, Washington DC (2003-2004).

Pengalaman-pengalaman tersebut mengantarkan dia pada beberapa karya fenomenal di bidang fiqih dan kesetaraan gender. Bahkan disertasi doktoralnya pada tahun 1998 mengangkat tema Pespektif Gender dalam al-Quran. Buku-bukunya yang terkenal antara lain: Bias Jender dalam penafsiran Kitab Suci (2001), Fikih Wanita Untuk Semua (2010), Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin (2014), dan Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadist (2014).

Pengetahuan yang luas mengantarkan Nasaruddin pada jabatan-jabatan publik. Nasaruddin banyak mengemban tugas-tugas berat sebagai Anggota Komnas Perempuan (1999), Sekretaris Umum Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (1992), Dewan Pendiri dan pengurus Masyarakat Dialog Antar Umat Beragama (1983), Wakil Ketua wakaf yayasan Paramadina (1999), Ketua Yayasan Panca Dian Kasih (2001), Ketua Departemen Pemberdayaan Sosial dan Perempuan ICMI Pusat (2000), sampai menjadi Wakil Menteri Agama Republik Indonesia (2011-2014).

Sejak tahun 2016, suami Dra. Helmi Halimatul Udhma itu dipercaya untuk menjadi imam besar Masjid Istiqlal. Nasaruddin mendapat cobaan mengelola masjid terbesar di Asia Tenggara itu di tengah pandemi COVID-19. Memasuki tahun kedua bulan Ramadhan di tengah pandemi, dia memutuskan bahwa Masjid Istiqlal hanya dibuka untuk shalat wajib 5 waktu dan shalat tarawih dengan kapasitas maksimal 2.000 jamaah. Beberapa agenda rutin di bulan Ramadhan, seperti sahur dan buka puasa bersama, ditiadakan.

Bagi Nasaruddin, bulan Ramadhan selalu membawa berkah walaupun harus dijalankan di tengah pandemi COVID-19 yang melanda umat manusia di seluruh dunia. Dalam satu kesempatan, dia menegaskan bahwa virus Corona bukanlah azab dari Tuhan kepada umat manusia, melainkan musibah yang harus disikapi dengan sabar dan ikhtiar. Umat muslim yang baik, kata Nasaruddin, harus mampu bersahabat dengan musibah. Musibah adalah suatu keniscayaan yang pasti datang pada setiap diri manusia.

“Jangan pernah memusuhi musibah, karena kita pasti akan menjerit lebih keras. Kita harus bersahabat dengan musibah,” kata mantan wakil Menteri Agama itu.

Nasaruddin meyakini, Tuhan punya rencana dalam setiap musibah yang diberikan pada manusia, salah satunya agar orang-orang semakin sadar bahwa kehidupan didunia ini tidak abadi. Dia menyebut bahwa musibah adalah surat cintah Tuhan kepada manusia.

“Sekian lama kita diundang Allah dalam bentuk kemuliaan dan kenyamaan hidup, tapi kita enggak pernah menggubrisnya. Akhirnya Allah mengubah undangan merah dalam bentuk musibah. Mana yang paling cepat menyegarakan kita mengingat Allah, dengan kemewahan atau musibah? Kalau saya, saat diuji musibah tidak ada nama lain yang kita panggil selain Allah,” tutur Nasaruddin.  

Konsep musibah seperti itu bukan hanya berlaku bagi umat muslim, kata Nasaruddin. Setiap orang yang meyakini keberadaan Tuhan, apapun agamanya, pasti mampu menginterpretasikan musibah dengan cara yang lebih baik.

“Orang yang beragama, punya Tuhan, tidak akan pernah merasakan penyakit itu 100 persen. Maksimal 80 persen. Tapi orang yang tidak punya keyakinan pada Tuhan, bisa merasakan penyakitnya 200 persen,” ujar dia.

Tahun kedua bulan Ramadhan di masa pandemi, di tengah keterbatasan untuk menjalankan ibadah berjamaah, Imam Besar Masjid Istiqlal itu melihat ada peningkatan nilai-nilai spiritual masyarakat Indonesia. Musibah COVID-19 telah menimbulkan banyak kesedihan karena kehilangan sanak saudara yang menjadi korban, kehilangan pekerjaan, dan pembatasan interaksi sosial. Tapi di satu sisi, muncul kesadaran kolektif bahwa manusia perlu mendekatkan diri dengan yang maha kuasa.

“Itulah berkahnya bulan Ramadhan di tengah pandemi. Bukan hanya umat muslim, semua orang rata-rata jadi taat beragama. Virus Corona tidak pilih merek, tidak pandang tua muda. Semua orang merasa bahwa harus siap-siap kapanpun dan dimanapun kita bisa dijemput oleh Allah,” imbuh Nasaruddin.

Yang terpenting, musibah jangan dimaknai sebagai takdir dalam pengertian keliru. Takdir, salah satu rukun Iman dalam Islam, bukan sesuatu yang harus diterima dengan pasrah tanpa adanya usaha-usaha rasional. Takdir dan musibah, lanjut Nasaruddin, harus dibarengi dengan segenap usaha untuk meminimalisiri dampak negatif yang ditimbulkan.

“Kalau enggak pakai helm pelindung, jangan salahkan Tuhan saat kita kena kecelakaan yang lebih fatal. Jangan salahkan Tuhan kalau kita terinfeksi virus Corona, karena tidak jaga jarak dan tidak mau divaksin. Ada mekanisme yang harus kita lewati, itu yang disebut dengan kerja-kerja profesional,” pungkas Nasaruddin. [NUO/Detik/Asadiyahpusat]