Tegas Menolak, Majelis Rakyat Papua Desak Jokowi Cabut Perpres Miras!

law-justice.co - Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menegaskan pihaknya menolak langkah Presiden Joko Widodo membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) dari skala besar hingga kecil di Papua.

Ia menegaskan pihaknya tak pernah diajak untuk berpartisipasi dalam menyusun aturan tersebut oleh pemerintah pusat selama ini.

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

"Tidak pernah dilibatkan [bahas Perpres Miras]. MRP dengan tegas menolak Perpres tentang miras dan meminta kepada presiden segera cabut Perpres nomor 10 tahun 2021. Segera cabut!" kata Timotius seperti melansir cnnindonesia.com.

Timotius sangat menyesalkan langkah yang diambil Jokowi usai mengeluarkan aturan tersebut.

Baca juga : Bobby Nasution Resmi Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

Ia menilai para pemangku adat dan para tokoh-tokoh agama di Papua selama ini sudah bersama-sama melawan penyebaran minuman keras di tengah masyarakat.

Bahkan, kata dia, pemerintah Papua melalui Gubernur Papua Lukas Enembe telah meneken Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman keras di Bumi Cenderawasih.

Baca juga : Anies Baswedan Nyatakan Bakal Rehat Politik Sejenak

"Kami MRP yang mewakili rakyat Papua, lebih khusus rakyat Orang Asli Papua sangat menyesal dengan surat presiden terkait dengan penanaman modal miras di Papua tersebut.

Lebih lanjut, Timotius menegaskan peredaran miras di Papua selama ini sudah mengganggu ketertiban dan keamanan umum. Bahkan, kata dia, penyalahgunaan miras juga mengganggu ketentraman umat beragama di Papua selama ini.

"Sehingga kami menolak adanya industri Miras di tanah Papua," kata dia.

Papua menjadi salah satu dari tiga provinsi lain yang diberikan izin pembuatan industri miras di Indonesia, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.