Ada Perbedaan Antara Kerumunan Jokowi dan HRS, ini Penjelasan Pakar

law-justice.co - Kasus kerumunan terjadi ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Nusa Tenggara Timur. Kasus tersebut mengingatkan publik pada kejadian ketika Habib Rizieq Shihab baru kembali dari Arab Saudi.

Terkait dua peristiwa tersebut, pakar hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Johanes Tuba Helan menilai keduanya tidaklah sama. Menurut Johanes kerumunan warga dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak bisa dibandingkan dengan kasus Rizieq Shihab terkait kerumunan di Petamburan, Jakarta.

Baca juga : Jokowi Resmi Teken UU DKJ, Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara

Johanes, saat dihubungi di Kupang, Sabtu (27/2/2021), menilai kerumunan warga di Maumere, Kabupaten Sikka, saat kunjungan Presiden Jokowi pada Selasa (23/2) merupakan spontanitas warga. Di sisi lain, ia menilai kerumunan di Petamburan terjadi karena warga diundang Rizieq Shihab yang menikahkan anaknya.

"Jadi tidak tepat membandingkan kerumunan di NTT dengan kasusnya Rizieq Shihab, karena kasusnya jelas berbeda," katanya.

Baca juga : Puji Timnas Indonesia U-23, Presiden Jokowi: Sangat Bersejarah!

Ia mengatakan kerumunan warga di Maumere yang dinilai melanggar protokol kesehatan Covid-19 terjadi karena spontanitas warga yang datang ingin bertemu dengan Kepala Negara. Warga berkerumun bukan karena diundang atau dipersiapkan sebelumnya, sehingga berbeda dengan kasus kerumunan di Petamburan, katanya lagi.

Dengan demikian, kata dia, tidak tepat jika Presiden Jokowi dituduh menjadi penyebab kerumunan warga karena ia sendiri juga hadir sebagai tamu.

Baca juga : Diungkap Istana, Ini Wejangan Jokowi ke Prabowo-Gibran Semalam

Lebih lanjut, dosen Fakultas Hukum Undana itu mengatakan dengan kasus yang jelas berbeda ini, tidak tepat dijadikan alasan bagi kalangan atau pihak tertentu untuk menuntut agar polisi membebaskan Rizieq Shihab bila Jokowi tidak dipidana.

Johanes menilai isu seperti ini sengaja dimainkan lawan politik untuk menyerang pemerintah yang seolah dinilai tidak adil dalam menegakkan hukum. "Jadi sengaja dimainkan isu ini untuk muatan politik tertentu saja, sehingga memunculkan saling serang antara lawan politik," katanya.