PKS Desak PLN Laporkan ke Publik Hasil Renegosiasi TOP

Jakarta, law-justice.co - Anggota Komisi Energi (Komisi VII) DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, mendesak PLN menyampaikan perkembangan hasil renegosiasi klausul take or pay (TOP) dengan pihak produsen listrik swasta (IPP) kepada publik.

Hal ini menurutnya penting agar publik mengetahui karakter kesetiakawanan nasional pengusaha IPP di tengah surplus listrik dan beban keuangan yang dialami BUMN listrik Negara. Selain itu, sosialisasi ini perlu dilakukan sebagai upaya menumbuhkan fungsi kontrol publik terhadap kualitas layanan yang ditawarkan.

Baca juga : Dibanding Ngemis Gabung Pemerintah, PKS Lebih Baik Oposisi Bareng PDIP

"Harapan kita IPP mau berbagi beban (sharing the pain) atas kondisi ketenagalistrikan nasional yang tertekan, karena keliru perencanaan, ditambah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/2/2021).

Mulyanto sebelumnya juga mendesak pemerintah turun tangan membantu PLN melaksanakan renegosiasi terkait besaran persentase TOP atas pembelian listrik swasta IPP tersebut.

Baca juga : Respons Gerindra soal PKS Mau Dikunjungi Prabowo Seperti PKB & NasDem

Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Panja Listrik Komisi VII DPR RI Dengan Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM dan Dirut PLN semi virtual di Gedung Nusantara I, sebagai tanggapan atas jawaban Dirut PLN, yang menyatakan tengah melaksanakan renegosiasi terkait klausul TOP dalam perjanjian pembelian listrik (PPA).

Mulyanto mendesak PLN dan pemerintah melaksanakan renegosiasi terkait klausul TOP dengan pihak IPP di tengah pandemi dan surplus listrik seperti sekarang ini.

Baca juga : Diungkap Mahfudz Siddiq, Gelora Tegas Tolak PKS Gabung Koalisi Prabowo

Seperti diketahui, Menteri Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, menyatakan bahwa besarnya surplus listrik itu sudah mencapai 30 persen. Jauh melebihi batas maksimal cadangan listrik.

Sementara itu, TOP adalah klausul dalam kontrak perjanjian jual-beli listrik (PPA/ power purchase agreement) antara PLN dengan IPP, yang mewajibkan PLN menyerap listrik sebesar prosentase minimal sesuai availability factor (AF) dari kapasitas terpasang, nilainya dapat mencapai 80 persen dari kapasitas terpasang pembangkit listrik.

Klausul ini pada prinsipnya adalah insentif untuk mendorong pihak swasta (IPP), agar mereka tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, khususnya bidang pembangkitan. Sekaligus merupakan jaminan agar listrik yang dihasilkan mereka akan dibeli oleh PLN. Kebijakan ini cukup tepat di saat kita kekurangan pasokan listrik dan kemampuan modal pemerintah untuk investasi di bidang pembangkitan masih lemah.

Namun dalam kondisi sekarang, di mana surplus listrik sudah sedemikian tinggi dan keuangan PLN yang tertekan utang mencapai Rp500 triliun, klausul TOP ini menjadi sangat memberatkan. Sebab, PLN terpaksa harus membeli dan membayar listrik yang tidak dibutuhkannya. Akhirnya, klausul ini membengkakkan besaran subsidi listrik serta suntikan dana kompensasi dari pemerintah.

Oleh karena itu, Mulyanto mengatakan, sudah selayaknya pemerintah turun tangan membantu PLN melakukan renegosiasi atau meninjau ulang terkait besaran prosentase TOP dengan pihak IPP.

"Misalnya penurunan TOP sebesar 20 persen hingga 30 persen dari kontrak PPA, selama masa pandemi, kemudian dikembalikan saat kondisi sudah normal dan pertumbuhan permintaan listrik meningkat sesuai perencanaan," katanya.