LPI Akan Dibentuk, DPR : Mendirikan Lembaga Keuangan Jangan Buru-Buru

law-justice.co - Pemerintah sangat ngotot membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang diyakini mampu menyedot investasi asing ke Indonesia.

Namun sebagian kalangan justru meragukan keberadaan LPI, karena kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB) sempat menjadi Megaskandal.

Baca juga : DPR RI Tolak Normalisasi Indonesia-Israel

"Saya belum mengikuti secara seksama, namun mendirikan lembaga-lembaga keuangan itu, patut memperhitungkan soal efektivitas dan manfaatnya," kata Anggota Komisi XI DPR Ahmad Najib Qodratullah kepada wartawan di Jakarta, Selasa (26/01/2021).

Lebih jauh Najib menjelaskan saat ini dunia masih dirundung pandemi Covid-19 dan belum tahun kapan akan berakhir. Tentu saja, pembentukan LPI tidak perlu terburu-buru.

Baca juga : Kasus DBD Meningkat, Seluruh Elemen Terkait Perlu Cari Solusi

"Apalagi sumber dana LPI ini dari APBN, dimana setoran pertama Rp15 triliun, dari total Rp75 triliun. Padahal kita sedang butuh-butuhnya untuk penanganan Covid-19," ujarnya.

Politisi PAN ini mendesak agar pemerintah menghitung kembali secara matang soal LPI tersebut. "Yang jelas, kasus 1MDB harus menjadi pelajaran berharga. Sehingga tidak terulang di Indonesia," paparnya.

Baca juga : Pamer Starbucks Menutupi Kabah, Anak Zulkifli Hasan Dirujak Netizen

Sebagaimana diketahui bahwa 1MDB adalah dana investasi negara yang diluncurkan Najib pada 2009, tak lama setelah menjabat sebagai perdana menteri. Portopolionya meliputi pembangkit listrik dan aset energi lainnya, di Malaysia dan Timur Tengah serta sebuah proyek real estate di Kuala Lumpur. Namun dalam perjalanannya terjadi skandal pencucian uang senilai US$4,5 miliar (Rp 63,8 triliun) yang melibatkan sejumlah elit politik Malaysia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan sejumlah alasan perlunya pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia atau Indonesia Investment Authority (INA).

Salah satunya, memenuhi kebutuhan pembiayaan pembnagunan dan peningkatan penanaman modal asing langsung.

Apalagi, kata Ani-sapaan akrabnya, pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk terus meningkatkan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan. Apabila dikaitkan dengan Visi Indonesia 2045 untuk menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia, setidaknya dibutuhkan investasi infrastruktur hingga Rp 6.645 triliun.

Kebutuhan tersebut ditargetkan dipenuhi melalui APBN, BUMN dan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Tapi, karakteristik pembiayaan, terutama infrastruktur yang padat modal dengan cost of fund tinggi dan tenor panjang, tidak mudah untuk dipenuhi.

Sementara itu, kapasitas pembiayaan BUMN semakin terbatas. Rasio tingkat hutang dibandingkan pendapatan ktorot dan ekuitas atau Debt to Equity Ratio (DER) mencapai 3,26 kali. Sedangkan, rasio wajarnya adalah antara tiga hingga empat kali.

Sementara itu, Sri menyampaikan, beberapa sovereign investor sebenarnya sudah menyatakan ketertarikannya untuk investasi di Indonesia. Hanya saja, mereka membutuhkan mitra strategis yang kuat dan reliable secara hukum maupun kelembagaan.

Oleh karena itu, Sri menambahkan, pemerintah melihat urgensi terobosan dalam pembentuka mitra investasi yang andal dan terpercaya. Salah satunya melalui pembentukan INA yang akan membantu para investor.

"Khususnya untuk investor yang memiliki ketertarikan tinggi untuk masuk ke Indonesia, namun butuh mitra yang dianggap reliable dari sisi familiarity dan risk appetite," katanya.