Matinya Kebebasan Berpendapat & Berserikat,Via UU ITE & Buzzer Rupiah

Jakarta, law-justice.co - Kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, khususnya dalam soal kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran, berserikat/berorganisasi dan kebebasan pers.

Sudah banyak jatuh korban akibat penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh negara dan kekuasaan absolut yang sulit menerima kritik dan perbedaan pendapat.

Baca juga : Meneropong Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Geopolitik Global

Mulai dari kasus kriminalisasi penyidik KPK, Novel Baswedan, jurnalis Dhandy Dwi Laksono, pengacara HAM Veronica Koman dan yang teranyar pembubaran organsiasi FPI tanpa melalui proses hukum, tetapi dengan pendekatan kekuasaan berupa selembar surat 4 Menteri.

Yang lebih parahnya dan sangat mengancam kebebasan pers adalah maklumat Kapolri, Jenderal Pol Idham Azis bernomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam ( FPI), di Jakarta, Jumat (1/1/2021).

Baca juga : Ikut Sidang Sengketa Pileg, Arsul Sani Dinilai Tidak Langgar Aturan

Dalam maklumat tersebut, Kapolri menekankan masyarakat agar tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten yang berkaitan dengan FPI. "Masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial," demikian salah satu poin Maklumat Kapolri tersebut.

Dengan maklumat ini, Kapolri melarang media mengutip dan menyebarluaskan informasi dan berita tentang FPI. Tentu saja maklumat ini langsung diprotes oleh komponen media massa. Kapolri dinilai arogan dan maklumatnya melanggar konstitusi UUD 1945 yang memberikan hak dan kebebasan kepada media massa untuk menulis dan menyiarkan serta memuat berita apapun tanpa ada pembatasan.

Baca juga : Aji Santoso : Timnas Indonesia Disebut Bisa Bungkam Uzbekistan

Sikap Kapolri yang tidak bergeming dengan maklumatnya itu, membuat Kapolri Idham Aziz akan tercatat dalam sejarah moderen pers Indonesia, sebagai figur pejabat publik yang justru di era reformasi mau membungkam media massa. Dia akan tercatat sebagai musuh dari perjuangan hak asasi dan kebebasan pers.

Telah begitu banyak pembungkaman yang terjadi saat ini yang menimpa individu baik aktivis dan organisasi pergerakan yang selalu kritis terhadap pemerintah. Semuanya bermula dari adanya UU ITE.

UU ITE dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008, yaitu 10 tahun setelah perjuangan reformasi yang memberikan perlindungan kepada warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Ironisnya, UU ITE justru terus mengancam kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan pada era reformasi 1998. Pemerintahan SBY mengeluarkan UU ITE dengan niat untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional.

Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah dan aparat justru menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam para pihak yang mengkritik negara. Hal ini tentu saja mencederai kebebasan berekspresi warga yang terus merosot.

Organisasi pengawas independen untuk demokrasi dan kebebasan Freedom House menyatakan status Indonesia turun dari bebas menjadi separuh bebas menjelang akhir pemerintahan SBY pada 2014. Peringkat Indonesia dalam indeks kebebasan internet turun dari posisi 41 tahun 2013 menjadi 42 pada tahun berikutnya.

Kondisi bertambah buruk pada pemerintahan Jokowi, figur presiden yang diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan politik.

Di bawah pemerintahan Jokowi, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 dari tahun 2015 menjadi 11 pada 2019.

Angka kebebasan sipil berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020 hanya mencapai 77,20 poin. Indeks kebebasan sipil pada 2019 ini tingkat kebebasannya 77,20. Sedikit menurun dibanding posisi tahun 2018 dan kategorinya masing [demokrasi] sedang.

Pada aspek kebebasan sipil terdapat empat variabel yang dinilai. Rinciannya kebebasan berkumpul dan berserikat mendapat 78,03 poin, turun 4,32 poin dari tahun 2018. Kemudian kebebasan berpendapat mencapai 84,29 poin, turun 1,88 poin.

Selanjutnya kebebasan berkeyakinan mendapat 83,03 poin, naik 0,17 poin dari tahun 2018. Yang terakhir kebebasan dari diskriminasi mendapat 92,35 poin, naik 0,58 poin.

Jika dirinci lebih dalam, terjadi kemunduran pada indikator yang meliputi ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat; dan ancaman atau penggunaan kekerasan dari kelompok masyarakat terkait ajaran agama.

Kemudian tindakan atau pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam hal gender, etnis, atau kelompok rentan lainnya; ataupun yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah.

Sedangkan perbaikan ditemukan pada indikator yang meliputi ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, berkelompok dan berserikat; maupun yang karena alasan gender, etnis atau kelompok rentan lainnya.

Selanjutnya perbaikan pada aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama; dan ataupun yang diskriminatif dalam hal gender, etnis atau kelompok rentan lainnya.

Pada aspek hak-hak politik terdapat dua variabel yang dinilai. Rinciannya hak memilih dan dipilih mendapat nilai 79,27 poin, naik 3,5 poin. Kemudian partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintah mendapat nilai 56,72, naik 2,44 poin. Namun masih dalam kategori demokrasi buruk.

Pada aspek lembaga demokrasi, terdapat lima variabel yang dinilai. Rinciannya pemilu yang bebas dan adil mendapat nilai 85,75 poin, turun 9,73 poin. Kemudian peran DPRD mendapat nilai 61,74, naik 2,82 poin.

Selanjutnya peran partai politik mendapat 80,62 poin, turun 1,48 poin. Lalu peran birokrasi pemerintah daerah mendapat 62,58 poin, naik 6,84 poin. Dan peran peradilan yang independen mendapat 93,66 poin, naik 2,94 poin.

Netralitas Penyelenggara Pemilu Turun

Secara rinci terdapat kemunduran pada sejumlah indikator yang meliputi menurunnya netralitas penyelenggaraan Pemilu, menurunkan rekomendasi DPRD kepada eksekutif, meningkatnya kecurangan dalam perhitungan suara dan menurunkan kegiatan kaderisasi yang dilakukan partai peserta pemilu.

Sedangkan perbaikan terjadi pada meningkatkan upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah, meningkatnya Peraturan Daerah inisiatif DPRD, dan menurunnya penghentian penyidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi.

Kemudian meningkatnya alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan, menurunnya keputusan hakim yang kontroversial, menurunnya kebijakan pejabat pemerintah daerah yang dinyatakan bersalah oleh putusan PTUN, dan meningkatnya persentase perempuan pengurus partai politik.

 

Model penyalahgunaan UU ITE

Meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan SBY ke Jokowi. Data yang saya olah dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International telah menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat.

Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan. Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan baik. Misalnya istilah “informasi elektronik” dalam UU ITE yang mudah sekali dipelintir. Apakah itu juga termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler? Padahal keduanya masuk dalam ranah privat.

Lalu kemudian UU ITE juga tidak dengan jelas membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik. Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP. Sebelum UU ITE berlaku, pelaku pencemaran nama baik dijerat dengan menggunakan Pasal 310-321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan. Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian.

Ujaran Penghinaan Kepada Presiden

Merosotnya kebebasan tampaknya disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya presiden.

Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019.

Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka-mereka yang dianggap “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi. Jumlahnya 82 dari total 241 kasus atau lebih dari sepertiganya.

Dari total 82 tersebut, mayoritas (65 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi. Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.

Contoh yang cukup menonjol adalah kasus Sri Rahayu, seorang ibu rumah tangga. Dia divonis penjara selama 1 tahun dan denda 20 juta pada Agustus 2017 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan “menghina” Jokowi lewat unggahan di Facebook.

Sebenarnya ada banyak orang lain yang sama dengan Sri karena telah dikriminalisasi dengan tuduhan telah “menghina” Presiden Jokowi. Kasus Sri hanya gambaran puncak gunung es dalam hal kebebasan berekspresi di Indonesia.

Adanya rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan Presiden melalui revisi KUHP akan mendorong tindakan yang semakin represi atas kritik pejabat negara menjadi lebih intens. Hal ini tentu akan semakin mengancam kebebasan berekspresi warga dan juga kebebasan pers.

Dari data Safenet tahun 2018 menunjukkan dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE dari tahun 2008, lebih dari sepertiga pelapor (35,92%) adalah pejabat negara. Sasaran mereka adalah aktivis, jurnalis, hingga pegawai negeri, dan guru.

Umumnya kasus pembungkaman kritik banyak terjadi di tingkat lokal karena cakupan media lokal yang terbatas dan loyal terhadap penguasa setempat. Kondisi media yang seperti itu menjadikan kasus pembungkaman tidak terekspos dan akhirnya dibiarkan begitu saja.

Kondisi tersebut menyebabkan represi negara terhadap kebebasan untuk mengkritisi pemimpin negara menjadi “terdesentralisasi” – ia bukan lagi upaya yang terkolaborasi, namun dalam kendali kepentingan-kepentingan individual dari penguasa lokal.

Hal ini terlihat di Sulawesi Selatan. Ada kasus pidana guru sekolah SMP Budiman di Pangkep pada 2013, lalu kasus aktivis anti korupsi M.Arsyad di Makassar tahun 2014. Kasus mereka terkait kritik yang mereka tujukan pada penguasa di media sosial mereka. Pada ketiga kasus ini, kriminalisasi ini diiringi dengan intimidasi fisik oleh para pendukung pejabat pemerintah yang menjadi subjek kritik online.

Buzzer Rupiah

Salah satu yang ikut berkontribusi membuat suasana kebebasan berpendapat semakin gaduh dan tidak sehat adalah banyaknya komentar dan pendapat dari buzzer bayaran yang bermain di medsos. Jika buzzer itu mendukung kebijakan pemerintah, walaupun melanggar UU ITE tetap dibiarkan oleh aparat.

Namun jika ada pendapat berbeda yang mengkritisi para buzzer dan buzzer itu melaporkan balik si pengkritik kepada aparat penegak hukum, polisi langsung merespon dan menjerat pengkritisi itu dengan pasal UU ITE.

Survei yang digelar oleh berbagai lembaga sipil dan LSM, juga mencatat temuan yang senada. Pada kategori pertanyaan apakah ada persoalan di bidang politik dan keamanan yang mendesak untuk diselesaikan pemerintah, sebanyak 73,5 persen responden menjawab soal kebebasan berpendapat. Kemudian, sebanyak 80,6 persen menjawab bahwa polemik pengenaan UU ITE harus segera diselesaikan pemerintah.

Sebanyak 80,5 persen responden menjawab perilaku para buzzer ini sudah sangat mengancam kebebasan berpendapat secara sehat. Lalu, sebanyak 70,2 persen responden menyatakan konflik antar kelompok akibat ulah para buzzer seharusnya segera dituntaskan pemerintah. Namun pertanyaannya adalah bagaimana pemerintah bisa menyelesaikannya dengan adil, sebab pemerintah sendiri yang memelihara para buzzer bayaran ini.

Faktanya UU ITE ini telah tujuh kali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang terkait kebebasan berekspresi selalu ditolak. Hanya sekali saja gugatan terhadap pasal penyadapan dikabulkan pada tahun 2010.

MK selalu menolak gugatan yang dilayangkan terkait UU ITE karena mereka masih percaya pentingnya UU ini. Mereka berpikir “kalau tidak ada pasal ini orang bebas menghina orang lain”.

Selain itu, ada kepentingan politik dari penguasa untuk mempertahankan UU ini karena mereka dapat mengkriminalisasi suara-suara kritis yang dianggap “menghina” atau “membenci” presiden dan otoritas yang berkuasa dengan menggunakan UU ini.

Saatnya memsosialisasikan program penghapusan pasal-pasal UU ITE yang rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan juga kebebasan berserikat dan berorganisasi yang tidak boleh diberangus tanpa melalui proses pengadilan.

Setidaknya, langkah yang perlu diambil lebih jauh oleh pemerintah adalah bertindak adil dengan mendorong jalur-jalur non-pidana, seperti perdata, sehingga pelaku tidak harus diganjar hukuman penjara tapi harus membayar denda dan atau kerja paksa/kerja sosial.

Pemerintah yang saat ini berkuasa, harus mengingat bahwa kekuasaannya ada akhirnya karena tidak ada pesta yang tidak berakhir. Sejarah akan mencatat para penguasa lalim, yang legacynya adalah adanya nohta hitam dalam hal kebebasan rakyat untuk berpendapat dan berserikat terus dibungkam.