Hari HAM, Catatan KontraS: Kebebasan Berekspresi di RI Diberangus!

Jakarta, law-justice.co - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan sepanjang 2020 pemerintah kerap menggunakan instrumen hukum maupun kelembagaan untuk memberangus kebebasan berekspresi orang-orang yang kritis.

Merujuk Laporan Catatan Hari HAM KontraS, sepanjang Desember 2019-November 2020, telah terjadi 300 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi.

Baca juga : Meneropong Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Geopolitik Global

Dari seluruh peristiwa tersebut, Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS, Danu Pratama menyatakan bahwa dua isu utama yang paling sensitif dan banyak menimbulkan korban kriminalisasi adalah legislasi UU Cipta Kerja dan penanganan Covid-19.

"Dari sebaran isu yang paling rentan mendapatkan pemberangusan atau serangan adalah soal UU Cipta Kerja, kedua soal penanganan Covid-19 dan ketiga adalah Papua," kata Danu dalam kegiatan Laporan Catatan Hari HAM 2020 KontraS yang disiarkan secara virtual, Kamis (10/12).

Baca juga : Ikut Sidang Sengketa Pileg, Arsul Sani Dinilai Tidak Langgar Aturan

Dalam isu legislasi UU Cipta Kerja, KontraS menemukan bahwa serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi turut dilegitimasi oleh negara.

"Misal kita tahu Polri mengeluarkan beberapa telegram yang isinya di luar tupoksi Polri, soal kontra narasi dan pemetaan di media sosial terhadap isu omnibus law," ucap dia.

Baca juga : Aji Santoso : Timnas Indonesia Disebut Bisa Bungkam Uzbekistan

"Yang mana hal ini tidak mendapatkan koreksi dari atasan Polri, yaitu presiden. Jadi bisa dibilang, pemberangusan itu mendapatkan legitimasi dari negara," imbuh dia.

Selain soal kebebasan berekspresi, sepanjang 2020 KontraS juga melakukan pemantauan terkait kebebasan beragama dan berekspresi.

Dari pemantauan itu, ditemukan setidaknya terjadi 48 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan beribadah di 17 Provinsi di Indonesia.

Tiga provinsi dengan angka tertinggi adalah Jawa Barat dengan 10 peristiwa, Jawa Timur 6 peristiwa, dan Jawa Tengah 5 peristiwa.

"Yang kita amati di lapangan terjadi serangan, pembatasan, diskriminasi dilakukan satu kelompok masyarakat terhadap suatu aktivitas agama dan ibadah yang dilakukan kelompok lainnya," kata Danu.

Menurut Danu, peristiwa pembatasan, diskriminasi hingga serangan yang dilakukan satu kelompok terhadap kelompok lain itu menunjukkan peran negara yang gagal dalam melindungi hak warganya untuk beragama dan beribadah.

"Lalu di mana letak negara. Meskipun tidak melakukan secara langsung, namun dia (negara) memiliki tanggung jawab untuk melindungi kebebasan beragama, beribadah dari setiap orang dan kelompok agama," kata dia.