Amerika Terbesar Transfer Hasil Kejahatan Cyber ke Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada 140 negara atau yurisdiksi yang melakukan transfer ke para money mules atau perantara dan penampung aliran dana terkait tindak kejahatan cyber di Indonesia.

Kabid Penyelenggaraan Diklat PPATK Yusup Darmaputra mengatakan di antara negara tersebut terdapat lima dengan jumlah asal dana terbesar.

Baca juga : Ucapan Rocky Gerung Diputus PN Jaksel Tak Hina Jokowi

"Teridentifikasi sebanyak 140 negara yang melakukan transfer ke Indonesia dan ada lima yang terbesar," ujarnya ujarnya dalam webinar bertajuk Membedah Tindak Pidana Siber Sebagai Tindak Pidana Asal TPPU, Selasa (1/12/2020)


Pertama, Amerika Serikat sebanyak 3.522 kali dengan total pengiriman transfer Rp272 miliar.

Baca juga : Puluhan Bangunan Mengalami Kerusakan Akibat Gempa Bumi di Garut

Kedua, Korea Selatan dengan 1.262 kali pengiriman dan total transfer sebesar Rp224 miliar.

Ketiga,Taiwan dengan pengiriman 846 kali dan total transfer Rp82,7 miliar.

Baca juga : Pengamat Asing Sebut Prabowo Bakal Teruskan Model Ekonomi Jokowi

Keempat, Hongkong dengan 693 kali pengiriman dan total transfer Rp78,5 miliar.

Kelima, Jerman dengan 670 kali pengiriman dan total dana yang ditransfer sebesar Rp47,9 miliar.

"Ini negara-negara yang terjebak sebagai korban dari tindak pidana siber ini," ungkap Yusup.

Menurut Yusup ada empat jenis tindak pidana cyber yang kerap terjadi saat ini dan uangnya ditransfer ke Indonesia, yakni business email compromise (BEC), romance scam, jual-beli online, dan investment scam.

BEC dilakukan dengan cara meretas email CEO perusahaan kemudian mengirimkan email tersebut ke pegawai perusahaan untuk melakukan transfer pembayaran.

"Dalam hal ini pelaku sudah menyiapkan rekening penampungan yang namanya mirip dengan nama pemasok sebenarnya," kata Yusup.

Sementara romance scam adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara mendekati korban melalui dating apps dan media sosial dengan profil menarik. Misalnya mengaku sebagai tentara, dokter hingga pengusaha.

"Pelaku menjanjikan pengiriman paket ke korban namun mengaku bahwa paket tertahan di bea cukai Indonesia, kemudian pelaku meminta korban mengirimkan uang untuk menebus paket itu," jelas Yusup.

Kemudian, kejahatan jual beli online dilakukan dengan cara membuat website penjualan palsu dan setelah korban melakukan pembayaran barang tidak dikirim seperti yang dijanjikan.

"Terakhir investment scam dilakukan dengan menawarkan investasi dengan keuntungan tinggi yang menggiurkan sehingga korban mentransfer dana ke pelaku," tandasnya.