Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Akal-akalan Para Cukong Dalam Menguasai Kancah Politik Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata cukong berarti orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain dan  pemilik modal. 

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, cukong adalah menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Hokkian yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia. Cukong (Hanzi: 主公, hanyu pinyin: zhugong) dalam bahasa Hokkian atau bahasa Mandarin berarti pemimpin; ketua; pemilik; bos. Cukong juga sering disebut dengan taipan (dalam bahasa Jepang) yang artinya tuan besar.

Sampai pada tahun 1950-an, cukong masih digunakan sebagai kata untuk merujuk bos atau majikan, namun setelah 1960-an, cukong kemudian mulai mendapat konotasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha dari suku tertentu terutama suku Tionghoa-Indonesia.

Konotasi negatif  tersebut  kemudian menjadi-jadi setelah pemerintah Orde Baru menciptakan opini publik bahwa pengusaha Tionghoa mayoritas terlibat dalam praktik kolusi, korupsi dan nepotisme dalam perbisnisan mereka. Dan memang masyarakat pribumi sendiri sering berperasangka buruk atau merasa didiskriminasi karena kurangnya kemampuan atau keahlian dalam mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang dimiliki para cukong ini sehingga membuat opini jelek dengan kata cukong/ masyarakat keturunan

Para cukong yang identik dengan orang kaya berduwit tersebut saat ini memang dianggap sebagai aktor yang menentukan dalam percaturan politik di Indonesia karena kekuatan uang yang dimilikinya. Sehingga muncul aggapan bahwa pada dasarnya kondisi perpolitikan di Indonesia sesungguhnya telah dikuasai oleh para cukong yang menjadi pengendalinya.

Benarkah hakekatnya para cukong telah menguasai Indonesia ?, Bagaimana cara cukong cukong politik itu mengendalikan Indonesia ?, Bagaimana upaya partai politik untuk meminimalkan peran cukong mengobok obok Indonesia ?

Hakekatnya Negara Telah Dikuasai Cukong

Majalah Forbes pernah merilis data bahwa satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen kekayaan negara. Sementara itu menurut Bank Dunia, 10 persen orang kaya kuasai 77 persen kekayaan negara Indonesia. 23 persen sisanya diperebutkan oleh 90 persen penduduk negeri yang kebanyakan adalah rakyat jelata.

Majalah Tempo terbitan 13 Pebruari 2015 pernah memberitakan bahwa  sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektare (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektare.

“Kelompok perusahaan itu dikendalikan 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia dan luar negeri,” kata Direktur Program Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, Jumat, 13 Februari 2015. Lembaga TuK dan Profundo merilis hasil riset dengan judul “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”.

Penelitian yang dilakukan sejak tahun lalu itu mendapatkan data bahwa kekayaan total mereka pada 2013 sebesar US$ 71,5 miliar atau Rp 922,3 triliun. Angka konservatif ini diperoleh dari kajian yang dibuat Forbes danJakarta Globe. Sebagian besar kekayaan tersebut didapat dari bisnis perkebunan sawit, dan beberapa bisnis lainnya.

Siapa para taipan–yang menguasai kelompok perusahaan sawit itu? Mereka adalah Grup Wilmar (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Batu Kawan (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim (Anthoni Salim), Jardine Matheson (Henry Kaswick, Skotlandia), Genting (Lim Kok Thay, Malaysia), Sampoerna (Putera Sampoerna), Surya Dumai (Martias dan Ciliandra Fangiono), dan Provident Agro (Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno).

Lalu Grup Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo (George Tahija), Bakrie (Aburizal Bakrie), BW Plantation-Rajawali (Peter Sondakh), Darmex Agro (Surya Darmadi), DSN (TP Rachmat dan Benny Subianto), Gozco (Tjandra Gozali), Harita (Lim Hariyanto Sarwono), IOI (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana Agri (Henry Maknawi), Musim Mas (Bachtiar Karim), Sungai Budi (Widarto dan Santosa Winata), Tanjung Lingga (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi, Stefanus Joko, dan Budhi Istanto), dan Triputra (TP Rachmat dan Benny Subianto).

Pemerintah sendiri tampaknya sangat menganakemaskan sektor yang satu ini. Terbukti dengan besarnya jumlah subsidi yang dikucurkan kepada mereka. Lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari---September 2017.

Lima perusahaan sawit itu terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp4,16 triliun. Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp1,32 triliun.

Nilai subsidi untuk perusahaan sawit lainnya adalah Darmex Agro Group (Rp915 miliar) dengan setoran Rp27,58 miliar; Musim Mas (Rp1,54 triliun) dengan setoran Rp1,11 triliun; First Resources (Rp479 miliar) dengan setoran Rp86,95 miliar; dan LDC (Rp410 miliar) sebesar Rp100,30 miliar.

Dengan demikian terdapat selisih relatif besar untuk para konglomerat sawit tersebut. Ini terdiri dari Rp2,84 triliun (Wilmar Group); Darmex (Rp887,64 miliar); Musim Mas (Rp421,56 miliar); First Resources (Rp392,61 miliar) dan LDC (Rp309,83 miliar).

Jika pemerintah Jokowi mewacanakan pembagian lahan bagi rakyat, sudah sepatutnya pula ijin HGU dari jutaan hektar tanah yang dikelola perusahaan taipan itu tidak diperpanjang. Mengingat besarnya kontribusi komoditas sawit, serta perlakuan istimewa pemerintah pada industri sawit berskala besar, apakah pemerintah  Jokowi bernyali?

Para taipan sawit yang menguasai jutaan lahan di beberapa wilayah Indonesia tersebut merupakan bagian dari orang orang kaya yang saat ini menguasai Indonesia.  Adapun orang  kaya yang saat ini berpengaruh di Indonesia adalah :

1) R Budi dan Michael Hartono, pemilik rokok Djarum, Rp526. 11 triliun

2) Widjaya Family, pemilik PT Sinar Mas Grup, Rp135. 4 triliun

3) Prajogo Pangestu, penguasa hutan, Rp107.2 triliun

4) Susilo Wonowidjojo, pemilik rokok Gudang Garam, Rp93. 1 triliun

5) Sri Prakash Lohia, pengusaha Petrokimia, Rp78. 9 triliun

6) Anthoni Salim, pengusaha Perbankan, Rp77. 5

7) Tahir, pemilik Mayapada Grup, Rp67. 7 triliun

8) Boenjamin Setiawan, pengusaha Farmasi, Rp61.3 triliun

9) Chairul Tanjung, pengusaha Media, Rp50. 7 triliun

10) Jogi Hendra Atmaja, pemilik Mayora, Rp42. 3triliun

Dari 10 orang terkaya itu hanya Sri Prakash Lohia dan Chairul Tanjung yang bukan Taipan dari etnis China. Sebagian besar atau 2/3 kekayaan orang-orang kaya itu didapat melalui koneksitas dengan penguasa. Tanpa koneksi dengan penguasa, bagaimana mungkin jutaan tanah negara mereka bisa kuasai dan berganti kepemilikannya. Tanpa koneksi dengan penguasa, rasanya semua itu tak akan pernah terjadi dengan sendirinya.

Makanya jangan kaget kalau ada hutan karet milik negara berubah menjadi mall dan apartemen atau tempat tempat usaha lainnya. Lalu terbit sertifikat hak milik untuk setiap kios dan kamarnya. Akses kekekuasaan berhasil menyulap kepemilikan melalui proses administrasi birokrasi yang sangat rapi dan legal dilindungi ketentuan yang ada. Tampak asli, tapi sarat manipulasi dalam pengerjaannya. Sebuah kolaborasi yang apik antara cukong  dan birokrat yang mengurusinya.

Dengan menelaah kondisi penguasaan lahan para cukong serta deretan siapa orang orang terkaya Indonesia, tidak berkelebihan kiranya kalau disebut bahwa sesungguhnya negara kita telah di kuasai oleh mereka. Karena mereka adalah orang orang kaya yang banyak uangnya sementara kita maklumi bersama bahwa keuangan adalah yang maha kuasa. Dengan kekuatan uangnya mereka bisa mengedalikan dunia politik dan ekonomi Indonesia.

Modus Cukong Politik Menguasai Negeri

Cukong dalam bahasa politik, didefinisikan sebagai pluto crat, yakni kelas menengah yang secara ekonomi sangat berkecukupan. Para cukong ini, dengan kelebihan ekonominya mampu menebar pengaruh di  berbagai lini kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perpolitikan Indonesia. Berbagai cara dilakukan cukong cukong itu untuk menguasai dunia politik di negara kita diantaranya :

Pertama, Menguasai Partai Politik. Dalam suatu  kesempatan, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pernah menyatakan bahwa untuk menguasai partai politik di Indonesia  seseorang pemodal atau cukong  cukup merogoh kantong tak lebih dari 1 triliun rupiah jumlahnya. Sehingga jika jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9 partai, maka untuk mengusai partai pemodal cukup merogoh dana 9 triliun rupiah saja. Artinya dengan bermodal uang 9 triliun  mereka sudah "bisa menguasai" dunia politik Indonesia.

Dengan menguasai parpol, parlemen, maka pemodal bisa menentukan siapa yang bisa menjadi presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan berbagai jabatan publik lainnya, seperti DPR, MPR dan DPD. Kalau memang mau menguasai juga pejabat pejabat daerah melalui pilkada memang ada ongkos tambahan sesuai dengan kondisi daera daerah yang di incarnya.

Senada dengan Bambang soesatyo, pakar hukum tata negara Refly Harun sebagaimana dikutip IDtoday News 28/08/2020 juga menyatakan bahwa cukong membeli parpol untuk menguasai Presiden dan wakilnya. Bagaimana caranya ? salah satunya dengan mempertahankan presidential Threshold (PT) dalam pilpres untuk menentukan calon yang dikehendakinya.

Karena itu menurutnya PT merupakan sesuatu yang buruk untuk politik dan demokrasi Indonesia.Menurutnya, PT bisa membuat politik dan demokrasi Indonesia dibajak oleh pemilik modal atau mereka yang banyak uangnya. Ini lantaran mereka bisa “membeli” parpol yang ada di DPR dengan kemampuan finansialnya.

“Agar tidak ada pasangan calon lagi yang dimajukan kecuali satu pasangan saja, yang barang kali bisa disetting para cukong,” terangnya dalam sebuah video yang diunggah di YouTube.“Jadi bayangkan betapa bahayanya kalau PT dipertahankan,” ujarnya.

Apa yang diungkap Bamsoet  maupun Refly Harun sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan tidak hanya parpol, banyak calon pimpinan ormas juga sering mendapat suplai dana. Hanya saja, lebih kecil angkanya alias tidak sampai triliunan jumlahnya. Akibatnya, ormas berada dalam kendali mereka. Ormas tua, maupun ormas anak muda, sama saja sewaktu-waktu bisa dipakai untuk memberi fatwa, mencari dalil yang sesuai dengan kepentingan penyuplai dana, membuat statement, atau menyiapkan massa untuk melindungi kepentingan cukong yang mendanainya.

Kenapa  seorang cukong mau keluar dana besar  untuk sejumlah parpol? Karena parpol itu  punya anggota komisi dan fraksi di DPR.  Melalui lembaga legislatif itu mereka bisa membuat undang-undang  yang menguntungkan kepentingannya.  Melalui lembaga legislatif, para cukong bisa menitipkan agenda untuk mengamankan bisnisnya bahkan merampok uang negara.

Melalui lembaga legislatif yang anggotanya telah dijinakkan, cukong bisa mengeruk keuntungan segila-gilanya. Rancangan RUU Omnibus law cipta kerja yang saat ini sedang di bahas di DPR  disinyalir sarat memuat kepentingan pemilik modal / para cukong untuk melancarkan bisnisnya.  Setelah mampu “menanam” orang orangnya di dilembaga legislatif,para cukong tinggal duduk manis di kafe dengan secangkir kopi, sambil menonton anggota DPR bertengkar dan  cakar-cakaran dengan ormas atau LSM yang menentangnya.

Mungkin dengan bahasa yang lebih halus dan sederhana Bamsoet maupun Refly Harun ingin mengabarkan kepada rakyat bahwa parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar proxy atau boneka dari para cukong para pemilik modal yang banyak uangnya. Bagaimanapun ini adalah  ekses negatif dari proses pemilihan langsung yang nyaris mengandalkan kekuatan uang untuk menentukan hasil akhirnya.

Harus diakui tidak semua cukong bermain dengan kekuasaan politik, tapi tidak juga bisa dinafikan bahwa yang bermain adalah kelompok mereka, karena mereka mempunyai modal, mereka punya kepentingan bisnis di Republik Indonesia tercinta. Oleh karena itu apabila ada negara asing yang masif menguasai perekonomian Indonesia dengan pemberian pinjaman pinjamannya patut diduga mereka memang sedang menanam sahamnya untuk menguasai politik dan perekonomian Indonesia. 

Akhir akhir ini  negara asing yang begitu getol menggelontorkan dananya untuk proyek proyek infrastruktur di Indonesia adalah China. Pemerintah dan para cukong China menggelontorkan dana untuk pembangunan dengan skema pinjaman yang menjerat Indonesia tentu saja sangat berbahaya bagi masa depan anak cucu kita.

Sepertinya akan sia saia  saja rakyat teriak-teriak usir atau stop TKA China masuk ke Indonesia, karena negara TKA dan etnis mereka yang berada didalam Republik Kita telah menguasai semua lini birokrasi, dan nyaris tidak ada satu pun pejabat penting yang luput dari cengkraman para cukong dengen kekuatan uangnya.Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi, kemudian diprovokatif didunia medsos oleh buzzer yang mereka ciptakan dan mereka bayar untuk mengamankan kepentingannya.

Kedua, Beternak Penguasa. Selain melalui penguasaan partai politik, para cukong juga berusaha menguasai dunia politik Indonesia melalui usahanya beternak penguasa. Sebenarnya secara informal para cukong itu  sudah beternak penguasa sejak jaman Orde baru (Orba). Mereka mengatur kekuasaan dari belakang layar terutama sejak Orba dan makin menjadi lebih kuat sejak era Reformasi. Di era Orba mereka hanya mempengaruhi Soeharto dalam bidang ekonomi saja. Namun di era Reformasi mereka telah mengatur dari belakang layar dan akhir ini cenderung untuk  tampil langsung mengatur kekuasaan negara.

Dibeberapa daerah mereka sudah berhasil menancapkan kekuasaannya. Dengan kekuatan ekonominya mereka secara telak telah mampu menentukan kebijakan lewat boneka bonekanya. Dalam beberapa tahun ke depan siapa menjamin mereka tidak akan melakukan penjahahan di Indonesia lewat kaki tangannya ?.

Adapun modus para cukong beternak penguasa adalah dengan cara memelihara para calon pejabat sejak ia belum menduduki kursi kekuasaannya. Para calon pejabat itu ada yang di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.  Di ranah yudikatit sebagai penegak hukum misalnya, mereka sudah dipelihara sejak sekolah, hingga biaya naik pangkat/golongan dan menduduki sebuah jabatan.

Kalau sudah menduduki posisi yang strategis, hasil ternak peliharaannya bisa di kendalikan untuk melaksanakan agenda demi kelancaran bisnisnya. Akhirnya sering kita dengar hukum tumpul ke atas tajam kebawah salah satunya karena aparat telah “terbeli” oleh cukong sehingga membela kepentingan mereka.

Kasus Djoko Tjandra yang ramai akhir akhir ini salah satu indikasi kuat bahwa banyak aparat negara yang telah lama dipeliharanya sehingga dengan leluasa Djoko Tjandra melancarkan aksinya tanpa halangan suatu apa.  Mereka bisa kabur atau menghilangkan jejaknya dengan bantuan aparat yang telah dipeliharanya. 

Kisah cukong yang beternak penguasa itu sebenarnya sudah berlangsung lama bahkan sudah terjadi sejak jaman Kolonial Belanda. Dizaman Belanda demi menciptakan sistem ketergantungan kalangan pangreh praja (Birokrasi/Pemerintah) terhadap pemilik dana, maka diciptakan sistem uang semir dalam pengangkatan Lurah hingga Bupati di era penjajahan Belanda di Indonesia.

Buku karya Prof. Dr. D.H Burge dan  Prof. Dr. Mr. Prajudi dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid II yang merupakan terbitan P.N Pradnja Paramita (1970) menuturkan bahwa seorang calon Lurah  harus memiliki uang 700-1000 gulden . Uang tersebut sejumlah 200 gulden ‘dipersembahkan’ kepada Bupati, untuk Wedana 100 gulden, dan untuk jurutulis Controleur 25 gulden. Sisanya untuk ‘menyejahterakan’ eselon lainnya yang terkait dalam struktur ke-pangrehpradja-an. Hanya untuk menjadi  Lurah, dana ilegalnya bisa sebanyak itu. Berapa besar untuk menjadi Wedana atau Bupati?

Muncul pertanyaan darimana dana tersebut diperoleh? Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada pengusaha China yang kala itu disebut Taokeh atau Tauke. Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang diperlukan oleh seseorang untuk menjadi Camat, Asisten Wedana, Wedana, Patih sampai Bupati. Seorang Taokeh pada masa itu  dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Demikian pula seorang Taokeh dapat menyeponsori dana ilegal untuk Bupati.  

Setelah ‘pilkada’ di masa kolonial, Taokeh selalu menuntut balas jasa kepada mereka yang telah berhasil menjadi penguasa tersebut. Tentu dalam bentuk “proyek” dan lainnya. Jadi hubungan simbiosis mutualistik antara pemilik modal dengan penguasa, antara “aseng” dengan “asong” (sebutan bagi penguasa yang mental pedagang, menjual harga diri, aset bangsa dan negaranya demi keuntungan diri pribadi dan kelompoknya) sudah berakar ratusan tahun di Indonesia. Perilaku tersebut kian “dipercanggih” dengan adanya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dimasa Orde Lama, Orde Baru bahkan di Era Reformasi dan setelahnya.

Dampak Kuasa Modal/ Cukong 

Didalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, ditegaskan bahwa partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Tetapi tujuan pendirian partai politik tersebut  akhir akhir ini nampak  sudah melenceng dari platform perjuangan yang di canangkannya. Karena dilihat dari gerak gerik yang dilakukan oleh banyak parpol terlihat begitu pragmatis demi kepentingan jangka pendeknya.

Dampak dari parpol yang dikuasai para cukong menyebabkan  parpol sulit memposisikan diri secara netral dan akan  selalu bertendensi melanggengkan kepentingan cukong  beserta agenda agenda ekonomi dan politiknya. Pada akhirnya kepentingan masyarakat umum akan ditempatkan pada urutan terakhir setelah para cukong kenyang dengan kakayaan yang diperolehnya. Kiranya fenomena ini akan terus berlangsung manakala masyarakat kehilangan rasionalitasnya dalam mendukung suatu Parpol yang dipilihnya. 

Idealnya suatu  parpol seharusnya berjarak dengan cukong  yang cendrung eksploitatif mementingkan bisnis dan politiknya. Karena sejatinya kehadiran Parpol salah satunya merupakan instrument politik untuk menghasilkan pemimpin pemimpin yang amanah dalam rangka mensejahterakan rakyat secara adil dan merata.

Akan tetapi tujuan mulia itu terkendala  oleh keterbatasan Parpol untuk mengongkosi dirinya sehingga tawaran dari para cukong untuk membantu gerak roda organisasinya menjadi pintu masuk untuk mengintervensi peran dan fungsi yang sesungguhnya.

Pada akhirnya suatu Parpol karena ketergantunganya pada cukong bisa berfungsi hanya sebagai robot yang berdiri di lahan kekuasaan resmi negara. Yang diperjuangkan parpol akhirnya adalah kesejahteraan cukong beserta kroni kroninya. 

Kondisi parpol yang dikuasai oleh para cukong bisa berimbas pada tumbuhnya figur figur pengurus  parpol  yang tidak berbobot atau berkualitas rendah karena system rekrutmen mengandalkan hubungan berdasarkan kesetiaan pada kepentingan seniornya yang telah dikendalikan oleh para cukong cukongnya.

Sistem kaderisasi dan rekrutmen calon pejabat publik melalui parpol seperti ini pada akhirnya juga dipengaruhi oleh kepentingan untuk melaksanakan agenda agenda cukong yang telah membesarkan partainya. Pola rekrutmen yang lemah jelas akan melahirkan calon pejabat publik yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat melainkan mengusung target target tertentu yang telah dicanangkan oleh cukongnya meskipun seringkali dibungkus dengan sangat apik demi untuk rakyat dan dan demi masyarakat yang disasarnya.

Para cukong-cukong politik secara informal akan mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah, yang diorientasikan untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan. Jikalau pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, mengenai proyek pembangunan atau proyek lainnya, maka patut diduga bahwa kebijakan itu terjadi dilandasi dengan orientasi untuk kepentingan pemodal dan penguasa. Ketidakwajaran itu dapat diidentifikasi secara jelas dan terbuka oleh seluruh elemen masyarakat, dari kalangan grassrott hingga para elite politik di daerah.

Pada titik ini jelas bahwa partai politik belum bisa diandalkan sebagai ranah untuk mendewasakan demokrasi yang menjadi kerinduan besar masyarakat Indonesia pasca lepas dari cengkraman Orde Baru (Orba). Sehingga demokrasi yang awalnya digadang gadang bisa menjadi instrument untuk menuju kesejahteraan rakyat pada akirnya hanya akan menjadi utopia belaka. Demokrasi berjalan hanya pada tataran prosedural tetapi secara substansial tidak mencapai tujuannya.

Dengan kondisi  politik yang serba transaksional seperti di Indonesia saat ini mereka yang mengambil keuntungan bukan mereka yang punya politik ideologi, bukan pula mereka yang punya politik aliran yang kuat, dan tidak pula umat Islam yang mayoritas di negara kita. Tetapi, yang menguasai bangsa Indonesia adalah mereka yang sanggup membiayai seseorang calon untuk memenangkan satu kompetisi, baik Pemilihan legislatif maupun eksekutif Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres). Dan mereka itu adalah para  “cukong” dan kroni kroninya.

Dampak kondisi partai politik yang dikuasai oleh para cukong sama buruknya dengan kondisi politik yang dihasilkan dari proses terpilinya seorang pejabat publik yang diternak oleh para cukong sejak ia masih belum “dewasa”.  Ternak penguasa dilingkungan yudikatif dan aparatur negara sejak mereka masih berpangkat rendah atau belum mempunyai kewenangan sampai mereka punya kuasa.

Dimana konsekuensi dari itu semua adalah dikuasainya seluruh sektor-sektor penting bagi rakyat dan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak pada umumnya. Sektor sektor penting ini  tidak lagi  dikontrol oleh rakyat, tetapi oleh penguasa penguasa boneka yang menjadi kepanjangan tangan para cukong sebagai bentuk imbal jasa. Pada akhirnya sektor sektor strategis itu  justru diswastakan, diprivatisasi, bahkan diperbolehkan dikuasai oleh investor mancanegara. Dari energi-sumberdaya mineral, minyak-gas bumi, perkebunan, pertanian, gula, perdagangan, listrik, kesehatan, pendidikan, bank, asuransi dan lain sebagainya. 

Apabila problematika itu selalu terjadi dan dimana kondisi politik  terus menerus disetir oleh para cukong , maka tercapainya tujuan kita berbangsa dan bernegara  akan selalu  menjadi mimpi belaka. Kondisi ini tentu saja akan membuat para pendiri bangsa mengelus dada karena  parpol  yang semestinya menjadi salah satu pilar demokrasi yang berkonstribusi bagi terwujudnya cita-cita bersama malah bikin nestapa.

Kembali ke Khittah

Kondisi yang dikemukakan diatas tentu saja tidak boleh dibiarkan berlangsung lama  karena akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan kita berbangsa dan bernegara. Sehingga diperlukan langkah langkah serius untuk membenahi dunia perpolitikan agar sesuai dengan cita cita kita bersama.

Dari sisi partai politik agar supaya tidak lagi menjadi mainan para cukong diperlukan penguatan manajemen keuangannya. Sudah saatnya parpol untuk  bisa mandiri secara keuangan supaya tidak tergantung pada sumber sumber pemasukan dari luar yang bisa menyanderanya. Hal ini dapat digarap melalui konsensus internal partai dengan menentukan iuran maksimal dari anggota. Harus diakui cara ini memang cukup sulit dengan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini yang memandang partai hanya semata mata sebagai alat untuk berkuasa. Partai bukan alat perjuangan untuk mewujudkan tujuan bersama mensejahterakan bangsa. 

Tetapi dengan upaya untuk terus menerus meningkatkan kesadaran elemen masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, tidak mustahil akan memunculkan gerakan bersama untuk menjadikan partai sebagai alat perjuangan sehingga banyak komponen masyarakat yang akhirnya terpanggil untuk ikut mengongkosi partai yang menjadi kendaraan perjuangannya. 

Untuk mewujudkan kemandirian partai agar tidak dikendalikan oleh para cukong,  sumber sumber lain bisa digali melalui sumbangan sumbangan dari pihak lain yang benar benar tidak mengikat atau menyandera.  Dalam hal ini intervensi dari cukong  bisa saja dimungkinkan sepanjang hal itu bertujuan demi terciptanya kebaikan rakyat secara umum dan tidak mengusung kepentingannya. 

Sementara sumber sumber dari iuran masyarakat dan bantuan pihak lain yang tidak mengikat belum bisa dioptimalkan, bagaimanapun negara perlu turun tangan lebih serius untuk membenahi kondisi partai politik di Indonesia. Negara (bukan pemerintah atau rejim) perlu mengalokasikan pendanaan yang memadai untuk operasional partai agar bisa mandiri demi mendukung upaya menjalankan fungsi dan peran partai dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.

Dengan penguatan manajemen keuangan itu diharapkan parpol bisa membiayai kegiatan operasional serentak dan  sanggup mengatur dana kampanye untuk anggota yang maju dalam pemilu, rekrutmen kader dan sebagainya. Dana yang disuplai  cukong  harus sekadar sumbangan tanpa pamrih dan  jauh dari maksuk agenda tersembunyi mereka.

Selain itu yang jauh lebih penting adalah menguatkan ideology partai sebagai haluan langkah dan gerak berputarnya roda organisasi partai agar tetap konsisten dengan perjuangan awalnya. Karena hakekatnya apa yang diperjuangkan ole partai termuat dalam idiologi perjuangannya yang semuanya demi rakyat bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kehadiran ideologi yang matang itu juga menjadi acuan dalam proses rekrutmen anggotanya. Pola rekrutmen harus dijalankan secara ketat, sebab baik buruknya kualitas partai sangat tergantung pada sejauh mana partai sanggup dan berhasil mengrekrut orang orang terbaiknya. Orang-orang terbaik dimaksudkan di sini antara lain adalah  anggota parpol yang tidak mengantungkan diri sepenuhnya pada finansial cukong yang akan menyetirnya.

Akhir akhir ini banyak partai yang sepertinya sudah kehilangan idiologinya sehingga suka berpikir pragmatis jangka pendek hanya berorientasi kekuasaan belaka.  Seolah olah idiologi partai yang begitu indah di lukiskan dalam dokumen partai hanya menjadi syarat untuk pendirian partai saja tapi ditinggalkan dalam menjalankan roda organisasinya. Ketika idiologi partai ini ditinggalkan maka sudah pasti partai itu  akan sesat jalannya. Mungkin sama halnya dengan umat beragama yang akan sesat jika meninggalkan kitab sucinya sebagai acuan perilaku hidupnya.