Otsus di Papua Mati, Dewan Gereja Papua Tagih Isi Dua Surat Pastoral

Jayapura, Papua, law-justice.co - Pasangan Pimpinan Gereja yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua (WPCC) kembali bersuara soal kondisi di Papua yang menjadi salah satu daerah yang diberi status otonomi khusus (Otsus). Kali ini WPCC mengeluarkan Refleksi Tahunan yang berjudul `Tuhan Otsus & Pembangunan Indonsia di Papua sudah Mati.

"Dan kami mengamati sepak terjang Jakarta belakangan ini, secara sepihak merancang Otsus Papua Jilid II dengan menghindar dari tekanan publik terkait rasisme di Asrama Mahasiswa Surabaya dan gemanya di Papua yang telah mulai menimbulkan dinamika di akar rumput, kita perlu ingat bahwa arah dan kerangka pembangunan Negara Indonesia di Papua memang sejak awal dijiwai superioritas etnis," bunyi rilis dari WPCC tersebut, Senin (6/7/2020).

Baca juga : Pemerintah Berencana Menaikan Tarif Kereta Commuteline Jabodetabek

Menurut mereka, Negara Indonesia sejak tahun 1963 di Papua disemangati dengan perbandingan rasial. Sehingga pada tahun 1998, saat jatuhnya rezim otoriter Suharto menjadi peluang yang baik dan angin segar bagi seluah rakyat Papua untuk keluar dari Negara Republik Indonesia. Namun, tuntutan itu menghadapi kekerasan militer dan polisi yang menyebabkan korban jiwa dipihak rakyat Papua.

"Tuntutan seluruh Penduduk Orang Asli Papua untuk merdeka karena ada latar belakang sejarah ketidakadilan, rasisme dan kejahatan negara dalam pelaksanaan Pepera 1969," jelas mereka.

Baca juga : Nisa Ratu Narkoba Aceh Dituntut Vonis Mati, Ini Detilnya

WPCC telah mempelajari dengan teliti dan cermat dokumen hasil pelaksanaan Pepera 1969 Annex 1 yang dilaporkan perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz dari Bolivia dan Annex II laporan dalam versi pemerintah Indonesia sangat bertolak belakang dengan laporan Annex 1.

Menurut WPCC, Pemerintah Indonesia mempromosikan kata kesejahteraan kepada Orang Asli Papua (OAP), yang sebenarnya bukan kata baru, sebab hanya pengulangan dari apa yang telah disampaikan Menteri Dalam Negeri RI Amir Machmud pada pelaksanaan Pepera 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan peserta Anggota Musyawarah Pepera.

Baca juga : Kapolresta Manado Diperiksa Propam soal Bunuh Diri Brigadir RA

"..pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat, oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Indonesia," katanya.

Namun, dalam realitasnya selama 51 tahun, kata sejahtera itu berubah menjadi tragedi kemanusiaan dan malapetaka, penderitaan, tetesan air mata, cucuran darah berkepanjangan dan tulang belulang yang berserakkan yang dialami rakyat Papua di atas Tanah mereka sendiri.

Kata WPCC, untuk menghentikan kekerasan, Negara selalu menggunakan kekuatan militer dan polisi, sehingga jalan penyelesaian damai dan bermartabat yang disepakati kedua belah pihak adalah membentuk Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001. Otsus ini pun awalnya sangagt memberikan harapan bagi orang Papua.

Sebab isinya sangat menjanjikan, yakni perlindungan (protection), pengakuan hak-hak dasar Orang Asli Papua (recognition), pemberdayaan (empowering), dan keberpihakan (affirmative). Namun, itu semua dinilai WPCC telah gagal.

"Itu sungguh-sungguh melahirkan kekecewaan dan kegelisahan yang mendalam bagi Penduduk Orang Asli Papua. Dalam Otonomi Khusus banyak OAP yang terbunuh di tangan aparat keamanan TNI-Polri dan pelakunya belum pernah diproses hukum untuk keadilan bagi keluarga korban . Partai lokal tidak dibentuk. Bendera Bintang Kejora dilarang berkibar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) gagal dilaksanakan," kata mereka.

WPPC melihat rasisme dan ketidakadilan bertumbuh dan berurat akar dalam era Otonomi Khusus. Hal itu terbukti dari munculnya peristiwa rasisme yang terjadi pada 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang dan Jogyakarta yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI (FKPP).

Namun, sebenarnya kata WPCC, akar masalah Papua sebagai dasar tuntutan rakyat Papua telah ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan selanjutkan diberikan kepada Negara Indonesia untuk diselesaikannya. (1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; (2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; (3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; (4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

"empat akar masalah yang dirumuskan tadi, Dewan Gereja Papua melihat bahwa semuanya itu bersumber dari rasisme dan ketidakadilan," kata WPCC.

Menurut WPCC rasisme dan ketidakadilan terbukti dengan GAM di Aceh dijadikan mitra dialog dengan Negara Indonesia yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral di Helsinki Firlandia pada 15 Agustus 2005. Partai lokal Aceh didirikan dan Bendera GAM dikibarkan.

Melihat dari kompleksitas persoalan kemanusiaan ini, Dewan Gereja Papua meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 5 akar persoalan. Mereka pun kembali menegaskan Surat Pastoral yang telah dibuat tangga 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019.

"Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral," desak WPCC.

"Mendesak Pemerintah Indonesia segera meluncurkan diri berunding dengan ULMWPinta Pemerintah Indonesia telah membuat GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menhianan sekan telah dibacakan dan dikirimkan langsung ke Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura, "tambah WPCC.