Ungkap Kasus Pejabat Gereja soal Perempuan, Sastrawan di NTT Ditangkap

Jakarta, law-justice.co - Petugas Polsek Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT dikabarkan menangkap Sastrawan Felix Nesi pada Jumat 3 Juli 2020 malam.

Aktivis sekaligus sastrawan pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018 itu digelandang ke kantor polisi usai melakukan aksi protes berujung perusakan Pastoran SMK Bitauni.

Baca juga : Hajar Rival Sekota, Arsenal Kian Kokoh Di Puncak Klasemen Liga Inggris

Felix Nesi yang diketahui sedang membongkar kasus seorang pejabat gereja dilaporkan oleh komunitas pastoran SMK Bitauni.

"Malam ini saya akan menginap di kantor polisi sektor Kecamatan Insana. Saya dilaporkan oleh komunitas Pastoran SMK Bitauni," kata Felix Nesi melalui akun Facebook miliknya, Jumat 3 Juli 2020.

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN

Dia menjelaskan secara detail kronologi kejadian hingga berujung mendekam dibalik jeruji tahanan melalui akun Facebook miliknya itu.

Menurut dia, kasus berawal pada awal 2020 seorang romo berinisial A dipindahkan dari paroki Tukuneno ke SMK Bitauni karena bermasalah dengan perempuan.

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Felix yang sehari-hari sering berada di sekolah itu meminta agar romo kepala untuk memindahkan si pastor bermasalah karena khawatir akan kembali berulah.

“Kini, sekolah itu mempunyai lebih dari 100 siswi. Tapi sekitar bulan Januari/Februari, Romo A pindah ke sana. Romo A adalah seorang pastor yang, saat itu, dipindahkan dari paroki Tukuneno karena bermasalah dengan perempuan. Ia berbuat salah kepada perempuan, dan tak perlu kita bahas detailnya,” tulisnya.

Menurut dia, Romo A yang diduga bermasalah dengan perempuan dipindahkan ke sekolah yang dihuni kebanyakan para perempuan. Melihat ini, Felix Nesi langsung menemui Romo Kepala Sekolah agar Romo A dipindahkan saja.

Namun, jelas Felix Nesi, Romo Kepala menyuruhnya untuk berbicara langsung dengan Uskup. Romo A dipindahkan ke SMK Bitauni hanya sementara.

“Romo Kepala bilang: Felix, kamu harus bicara langsung dengan uskup. Kami bicara lama sekali. Seperti bapak dan anak. Di akhir pembicaraan, Romo Kepala bilang, ya, SK Romo A ini hanya sementara, hanya untuk satu atau dua bulan. Sesudah itu, ia akan pindah lagi. Ini istilahnya hanya penyegaran,” tegasnya.

Sebulan kemudian Felix Nesi kembali mendatangi dan bertanya tentang SK sementara Romo A dengan bermodal janji tersebut.

“Saya ke sana tepat saat makan malam. Saya monolog di depan romo-romo, di depan Mgr. Pain Ratu, berbicara tentang kekecewaan saya. Di situ juga ada Romo A, saya bilang: Romo, tolong, pindahlah dari sini, carilah tempat sepi untuk berefleksi, untuk menentukan pilihan-pilihan, sebelum berkarya kembali,” ujarnya.

Kemudian pertemuan ini membuat Felix Nesi kecewa karena Romo Kepala tidak menepati janjinya, bahwa Romo A hanya dipindahkan sementara. Dia menilai, Romo Kepala telah berbohong.

“Romo Kepala spontan bilang: “Saya tidak pernah berbohong, ingat itu!” Saya kira ia juga mulai marah ketika dibilang berbohong. Maka saya kembali memegang kata-katanya. Ia seorang pekerja keras, saya menghormati kerja-kerjanya di sekolah itu — mengubah sekolah yang dulu hanya hutan menjadi lebih baik. Maka saya menunggu. Mungkin, pikir saya, bulan depan sudah akan pindah,” tuturnya.

"Saya kecewa sekali. Di novel saya, Orang-Orang Oetimu, saya menulis tentang pastor yang sukanya melindungi kebusukan pastor lain. Apakah saya baru saja melihatnya di dunia nyata ini? Saat menggarap novel, saya pernah mewawancarai seorang bapak yang mengasingkan anak perempuannya ke kampung sesudah anak tunggalnya itu dihamili seorang pastor — pastor itu tetap di kota, anaknya yang ‘disembunyikan’. Bapak itu menangis sambil bercerita. Antara putus asa dan terluka, tetapi tetap mengasihi anak perempuan (dan cucu)-nya. Hanya ia yang menangis, tetapi kami sama-sama terluka,” sambungnya.

Dia semakin kecewa dengan pihak gereja yang tidak mengindahkan permintaannya.

Pasalnya, ia menilai tidak tepat seorang Romo dipindahkan ke sekolah itu, yang diduga sedang bermasalah di daerah lain.

“Saya kecewa juga pada keuskupan yang hanya memindah-mindahkan saja pastor bermasalah. Dari paroki yang penuh cewek OMK, ke sekolah yang penuh siswi. Tanpa memikirkan pentingnya hari-hari sepi untuk refleksi bagi pastor yang kekosongan hatinya hanya bisa diisi oleh afeksi perempuan — pastor yang tidak cukup dihibur oleh badminton, atau sepakbola, atau anak-anak babi di kandang,” tegasnya.

Akhirnya dia menghancurkan kaca rumah dengan sebuah Helm INK sebagai bentuk luapan kekecewaannya.

“Saya kecewa. Saya emosi. Di tangan saya ada helm. Di depan saya ada kaca jendela. Maka saya hantam kaca-kaca jendela pastoran dengan helm. Helm INK sungguh kuat, kaca-kaca hancur berantakan. Saya pegang kursi-kursi plastik di teras rumah pastoran dan saya banting sampai hancur,” ujarnya lagi.

Akibatnya, Felix Nesi dilaporkan oleh komunitas Pastoral SMK Bitauni ke Polsek Insana, akhirnya ia dijemput pihak kepolisian.

“Terima kasih Romo Kepala. Terima kasih Romo A. Terima kasih semua pastor di keuskupan Atambua dan di manapun juga di dunia ini. Malam ini saya akan menginap di kantor polisi. Kita sama-sama pendosa, tak ada yang paling benar. Tapi jika kalian, institusi Gereja, sangat sangat lambat (atau hampir tidak pernah?) dalam mengurusi pastor bermasalah, tetapi sangat cepat dalam mempolisikan orang-orang yang marah, maka kita akan selalu bertemu,” tutupnya.