Analisis Hukum Sengketa Pajak dan Memberantas Mafia Pajak

Jakarta, law-justice.co - Pengajuan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Pajak atas sengketa peradilan pajak dengan PT Freeport Indonesia kembali mentah di pengadilan. Dalam amar putusan yang dibacakan pertengahan Mei 2019 lalu, majelis hakim yang diketuai H. Supandi, menolak permohonan PK dari otoritas pajak terkait keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masa pajak Januari 2014.

"Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon PK Direktur Jenderal Pajak," kata majelis hakim yang dikutip media, Kamis (15/8/2019). Kalahnya negara yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam kasus PT. Freeport dan kasus Bank CIMB Niaga ini, hanya salah satu dari rentetan kekalahan yang dialami oleh negara  ketika harus terlibat sengketa soal pajak dengan wajib pajaknya. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengaku sering kalah dalam tingkat banding dalam penyelesaian sengketa pajak. Perbandingannya sekitar 40% menang dan sisanya kalah.

Baca juga : Kenal Lebih Dekat soal Sengketa Pajak, Penyebab, & Penyelesaiannya

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sengketa pajak ? Bagaimana duduk persoalan sehingga muncul sengketa pajak ? Mengapa negara yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) hampir selalu kalah dalam dalam proses pengadilan pajak ? Bagaimana solusinya ?. Kasus sengketa pajak juga memunculkan mafia pajak yang sangat merugikan negara. Apa faktor penyebab sehingga kasus mafia dan korupsi di bidang perpajakan sulit diberantas ?. Bagaimana formulasi hukum dalam pemberantasan mafia pajak supaya mereka bisa disikat tuntas ?

1.Apa itu Sengketa Pajak ?

Baca juga : Prahara Di Lapangan Banteng

Tugas negara dalam rangka memberikan kesejahteraan terhadap rakyat tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Salah satu sumber pembiayaan yang diandalkan negara saat ini adalah dari sektor mandiri yang berasal dari pungutan wajib masyarakat yang berupa pajak. Dengan demikian, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

Hampir seluruh negara di dunia memungut pajak pada warganya sebagai salah satu sumber penerimaan negara, hal ini salah satunya disebabkan karena tidak bisa suatu negara itu hanya sekedar mengandalkan kekayaan alamnya untuk memajukan negaranya dan memakmurkan warganya. 

Baca juga : Rafael Alun Punya Komplotan di Ditjen Pajak, Beroperasi 10 Tahun Lebih

Bagi negara Indonesia, pemungutan pajak bukan merupakan hal baru, apalagi kalau kita melakukan flash back, bahwa sejak bangsa Indonesia di bawah kekuasaan penjajah, pajak sudah dipungut oleh pemerintah yang berkuasa. Hanya saja tujuan pemungutan pajak pada masa penjajajahan adalah berbeda dengan pemungutan pajak pada masa setelah Indonesia merdeka, namun demikian penerimaan masyarakat atas kebijakan pemungutan pajak memerlukan waktu yang cukup panjang, di mana masyarakat menjadi faham bahwa pembayaran pajak merupakan salah satu yang diperlukan bagi usaha untuk mencapai kemakmuran bangsa. 

Sebab apabila kita hanya sekedar mengandalkan kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan negara dan warganya demi mencapai kemakmuran, lambat laun kekayaan itu akan habis, bahkan dalam jangka waktu yang singkat. Sementara untukpemulihannya, memerlukan waktu yang panjang. Di sisi lain, pemungutan pajak akan langgeng sepanjang warga negaranya masih ada serta memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak.

Tumbuhnya kesadaran membayar pajak oleh warga negara, ternyata tidak serta merta menghilangkan permasalahan, karena sekalipun sudah ada standar penghitungannya, tetap saja sering kali memunculkan ketidakpuasan berkaitan dengan besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak. Hal itu terjadi, merata hampir di semua Negara, yaitu manakala wajib pajak tidak setuju dengan jumlah utang pajak yang harus dilunasinya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sengketa pajak.

Istilah sengketa pajak ini barangkali masih  sedikit asing di telinga orang  awam. Tapi bagi para pengusaha, sengketa pajak tidak asing lagi, bahkan bisa jadi setiap tahunnya memiliki agenda atau sengketa pajak di pengadilan pajak. 

Menurut pasal 1 angka 5 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan pajak, yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding, atau gugatan kepada Pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang- undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang Undang Penagihan pajak dengan Surat Paksa.

Jika disimpulkan mengapa maka sengketa pajak bisa terjadi karena disebabkan  oleh beberapa hal seperti:

  1. Adanya kebijakan perpajakan yang dikeluarkan Ditjen Pajak berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang. Namun, wajib pajak merasa tidak puas dengan kebijakan tersebut sehingga mengajukan upaya hukum yang memang diperbolehkan oleh UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  2. Adanya perbedaan interpretasi antara WP dan Ditjen Pajak mengenai aturan perundang-undangan
  3. Perbedaan metode perhitungan jumlah pajak mengenai jumlah yang harus disetor pada negara.
  4. Keberatan atas penetapan sanksi denda pajak.
  1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pajak

Penyelesaian sengketa pajak memiliki spesifikasi penyelesaian sengketa sendiri dibanding penyelesaian sengketa yang lain. Hal demikian berkaitan dengan karaktiristik pajak sebagai sumber penerimaan negara. Penyelesaian sengketa pajak mengenal ada dua mekanisme yaitu penyelesaian sengketa melalui upaya administratif yaitu melalui lembaga keberatan dan melalui lembaga yudikasi yaitu Pengadilan Pajak.

2.1.Lembaga Keberatan

Upaya administratif sering disebut sebagai peradilan administrasi tidak murni. Peradilan administrasi tak murni, adalah semua peradilan yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat-syarat peradilan administrasi murni, misalnya karena tidak nyata terdapat suatu perselisihan, atau karena yang mengadakan peradilan termasuk dalam atau merupakan bagian dari salah satu pihak. Salah satu upaya administratif yang dipakai dalam penyelesaian sengketa adalah upaya keberatan.

Apabila wajib pajak mempunyai sengketa atas Surat Ketetapan Pajak yang dapat berupa, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), atau sengketa atas pemotongan dan pemungutan pihak ketiga maka wajib pajak dapat menyelesaikan sengketa pajaknya melalui upaya keberatan.

Dalam pengajuan keberatan wajib pajak harus mengajukan surat keberatan. Surat keberatan adalah surat yang diajukan oleh wajib pajak, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Surat keberatan tersebut dapat berupa surat keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Surat Keberatan tersebut diajukan kepada pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

Berbicara mengenai dasar atau alasan pengajuan keberatan, undang-undang memberi penjelasan sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 25 ayat ( 1) Undang-undang Nomor 28 tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut :“ Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak”.

Keberatan dapat diajukan terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak.

Agar wajib pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan yang kuat, wajib pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan.

Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam jangka waktu 3 ( tiga ) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memotong atau memungut pajak. 

Pemberian batas waktu tiga bulan ini dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukup bagi wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Batas waktu tiga bulan ini masih bisa dipertimbangkan untuk diperpanjang apabila wajib pajak mampu membuktikan bahwa keterlambatan pengajuan surat keberatan tersebut disebabkan karena keadaan diluar kekuasaan wajib pajak ( force majeure ).

Setelah surat keberatan diajukan kepada pejabat yang berwenang, wajib pajak berhak untuk menerima tanda bukti penerimaan surat keberatan.Tanda penerimaan surat yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, secara langsung atau lewat kantor pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan.

Tanda bukti / resi penerimaan surat keberatan tersebut, dapat juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi wajib pajak untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir, hal ini mengingat bahwa dalam waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, 

Direktur Jendral Pajak ( untuk Pajak Pusat ) atau Kepala Daerah ( untuk Pajak Daerah ), harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Dalam rangka memberi kepastian kepada wajib pajak, apabila dalam jangka waktu dua belas ini telah lewat, pejabat yang berwenang tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan oleh wajib pajak dianggap diterima.

Pembuktian dalam surat keberatan hanya diatur dalam Pasal 26 ayat ( 4 ) Undang- undang  No.  28  tahun  2007,  yang  menyatakan  bahwa   ;  “  Dalam hal  wajib  pajak mengajukan surat keberatan atas ketetapan pajak yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat ( 1 ) huruf b dan d, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidak benaran ketetapan tersebut”.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas SKP yang ditetapkan secara jabatan, maka wajib pajaklah yang harus membuktikan ketidak benaran ketetapan pajak yang dikenakan. SKP yang diterbitkan secara jabatan adalah SKP yang diterbitkan Direktur Jendral Pajak terhadap kasus-kasus tertentu yaitu terhadap wajib pajak yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan / atau kewajiban materiil.

Wajib pajak dalam rangka membuktikan kebenaran Surat Pemberitahuannya (SPT) dapat mengajukan beberapa alat bukti. Undang-undang tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti apa yang harus ditunjukkan wajib pajak. Dalam praktek alat bukti yang sering ditunjukkan wajib pajak adalah alat bukti tulisan antara lain pembukuan yang dibuat oleh wajib pajak.

Penyelesaian sengketa pajak di muka lembaga keberatan, sangatlah berbeda dengan penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Surat keberatan diputuskan oleh hakim doleansi ( pejabat pajak yang diberi tugas untuk memutus surat keberatan), tanpa mengadakan sidang seperti yang dilakukan di pengadilan 

Pemberian keputusan atas surat keberatan didasarkan atas data yang diajukan oleh wajib pajak dan data yang ada pada fiskus. Pemutusan sengketa dilakukan secara sepihak oleh “hakim” tunggal ( pejabat pajak ) yang notabene merupakan salah satu pihak yang berperkara.Keputusan atas surat keberatan dapat berupa menerimaseluruhnya atau sebagian, menolak, menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

Apabila surat keberatan diterima seluruhnya maka keputusan tersebut tidak perlu diberi alasan, cukup dinyatakan bahwa keberatan wajib pajak diterima. Tetapi apabila keputusan atas surat keberatan berisi menerima sebagian, menolak atau bahkan menambah besarnya jumlah pajak yang terutang maka keputusan tersebut biasanya disertai dengan alasan-alasan yang mendasarinya.

Dalam hal wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian,wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% ( lima puluh persen ) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

2.2.Lembaga Pengadilan

Penyelesaian sengketa pajak selain dapat diselesaikan melalui lembaga tidak murni yaitu lewat lembaga keberatan, juga dapat di selesaikan oleh lembaga pengadilan pajak murni ( yudikatif ). Yang dimaksud peradilan administrasi murni adalah peradilan administrasi yang memenuhi syarat-syarat yang menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pengadilan.

Ciri khas suatu peradilan administrasi murni adalah adanya hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang mengadili. Badan atau pejabat yang mengadili merupakan badan atau pejabat tertentu dan terpisah. “ Tertentu “ artinya badan atau pejabat tersebut ditentukan oleh Undang-undang atau oleh peraturan lain yang setingkat.”Terpisah”, artinya badan atau pejabat yang melakukan pengadilan tidak merupakan salah satu pihak atau termasuk salah satu pihak maupun di bawah pengaruh salah satu pihak, sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara itu berada di atas para pihak.

Ada tiga upaya hukum dalam penyelesaian sengketa pajak yang dapat ditempuh melalui Pengadilan Pajak yaitu banding, gugatan dan Peninjauan Kembali (PK).

2.2.1. Banding

Banding, merujuk pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku

Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 31 ayat (2) UU 14/2002 kekuasaan Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, banding menjadi cara yang dapat dipilih wajib pajak yang merasa tidak puas atau tidak setuju dengan surat keputusan keberatan yang diterbitkan Direktur Jederal (Dirjen) Pajak atas keberatan yang diajukan.

Hal ini berarti banding merupakan upaya hukum yang ditempuh setelah wajib pajak mengajukan keberatan. Sebagai ilustrasi apabila wajib pajak telah selesai menjalani pemeriksaan perpajakan untuk tahun atau masa pajak tertentu maka sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut akan diterbitkan SKP.

SKP ini dapat berupa SKP Kurang Bayar (SKPKB), SKP Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), SKP Nihil (SKPN) atau SKP Lebih Bayar (SKPLB). Apabila wajib pajak merasa tidak setuju atas SKP hasil pemeriksaan pajak tersebut maka berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU KUP wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU KUP, Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan

Apabila atas Surat Keputusan Keberatan tersebut wajib pajak masih belum dapat menerima maka berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP wajib pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Selanjutnya, Pengadilan Pajak akan memberikan Putusan Banding. Anda juga dapat menyimak cara pengajuan banding pada artikel berikut.

Namun, apabila wajib pajak masih belum bisa menerima hasil putusan banding maka berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU 14/2002 wajib pajak dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2.2.2. Gugatan

Adapun Gugatan, merujuk  pada Pasal 1 angka 7 UU 14/2002, gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku,

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU KUP wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan atas empat hal :

Pertama, pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang. Kedua, keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak. Ketiga, keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP dan  Keempat, penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Berdasarkan penjabaran uraian sebagaimana dikemukakan diatas maka bisa diketahui  perbedaan utama antara gugatan dengan pengajuan banding. Perbedaaanya terletak pada objek yang disengketakan. Banding hanya mengakomodasi permasalahan dari surat keputusan keberatan yang umumnya merujuk pada perbedaan penafsiran atau hal lain yang pada akhirnya dapat memicu perbedaan dalam perhitungan pajak yang terutang

Sementara itu, objek yang disengketakan dalam gugatan adalah prosedur dan ketentuan formal/tata cara dalam melaksanakan keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan perpajakan. Hal ini berarti lingkup masalah yang dapat diajukan dalam gugatan lebih luas bila dibandingkan dengan banding.

2.2.3. Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali, merujuk pada pasal 77 ayat 3 UU No. 14 /2002  yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 ( satu ) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Permohonan dapat diajukan dengan alasan:

  1. Putusan pengadilan didasarkan pada suatu kebohongan pihak lawan berdasarkan bukti-bukti yang kemudian dinyatakan palsu oleh hakim pidana
  2. Bukti tertulis baru yang dapat menghasilkan putusan berbeda
  3.  Bagian dari tuntutan yang belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya
  4. Putusan yang senyatanya tidak sesuai peraturan perundangan

Khusus mengenai permohonan Peninjauan kembali dalam Sengketa Pajak adanya kekhususan mengenai terbatasnya waktu untuk memeriksa peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu 6 ( enam ) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemerikssaan acara biasa. 

Dalam jangka waktu 1 ( satu ) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksdaan acara cepat. Untuk itu perlu Mahkamah Agung memprioritaskan perkara sengketa pajak, dengan membubuhkan kata “Prioritas” dalam berkas perkara, sebagaimana perkara-perkara yang ditangani dengan cepat seperti perkara-perkara korupsi, atau perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat.

Oleh karena sampai sekarang ini di Mahkamah Agung belum ditentukan berapa lama perkara itu diselesaikan. Lain halnya dengan perkara-perkara di tingkat pertama yang harus diselesaikan dalam waktu 6 bulan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung

Adanya batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 93 ayat 1 UU No. 14/2002 untuk menyelesaikan Peninjauan Kembali sengketa Pajak adalah langkah yang tepat selain perlu cepat adanya kepastian hukum bagi para pihak juga dapat lebih memastikan dengan cepat adanya pemasukan uang negara dari sektor pajak ini.

3.Masalah Pengadilan Pajak, dan Pemerintah Yang Selalu Kalah

Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 23A, telah ditegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepeluan negara diatur dengan undang-undang. Artinya pungutan pajak harus diatur dan sesuai dengan undang-undang, maka untuk menjaga agar pungutan pajak tersebut tetap berjalan sesuai dengan undang-undang, maka diperlukan institusi peradilan, yaitu Pengadilan Pajak.

Putusan Pengadilan Pajak dapat digunakan untuk memastikan berapa jumlah pajak yang menjadi hak negara dan wajib dibayar oleh wajib pajak. Disinilah korelasi dan urgensi Pengadilan Pajak dalam upaya meningkatkan atau setidaknya mengamankan penerimaan pajak.

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengelola pendapatan pajak bagi negara. Salah satu tugas DJP adalah menyelesaikan sengketa pajak di tingkat administrasi.Penyelesaian sengketa pajak sangat penting untuk memastikan bahwa wajib pajak memperoleh hak mereka sehubungan dengan penyelesaian sengketa pajak.

Data pengadilan pajak menunjukkan bahwa dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 jumlah sengketa pajak yang dibawa ke pengadilan pajak cenderung meningkat. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa sengketa pajak tidak dapat diselesaikan di tahap awal yaitu tingkat administrasi. 

Upaya yang selama ini dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangi jumlah kasus di pengadilan pajak terutama dengan peningkatan keterampilan litigasi pegawai serta meningkatkan jumlah sumber daya yang dialokasikan untuk menyelesaikan sengketa, mempercepat proses keberatan, dan meningkatkan koordinasi dengan pengadilan pajak. 

Namun, upaya tersebut kurang berhasil mengingat jumlah sengketa di pengadilan pajak tetap tinggi. Kelemahan-kelemahan dari upaya tersebut adalah pendekatan yang kurang tepat dalam menyelesaikan sengketa dan kegagalan untuk mengidentifikasi jenis sengketa (misalnya sengketa fakta atau interpretasi hukum).

Masalah-masalah mendasar yang menimbulkan kelamahan kelemahan tersebut adalah banyaknya pemeriksaan berdasar kelebihan bayar dan banyaknya kasus berulang dibawa ke pengadilan pajak. Kelemahan dan masalah mendasar tersebut yang menyebabkan menumpuknya sengketa di pengadilan pajak. Akibatnya, DJP harus mengeluarkan biaya administrasi yang lebih tinggi demikian juga biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh wajib pajak dan untuk menyelesaikan sengketa.

Adalah menjadi fakta pula bahwa dalam prakteknya, Direktorat Jendral Pajak (DJP) sering mengalami kekalahan dalam  setiap putusan hakim di pengadilan. Sebagai contoh kekalahan yang terjadi tahun 2019 yang lalu  berbuntut restitusi pajak atau pengembalian pajak sebesar Rp 133 triliun. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2019 total pengembalian pajak atau restitusi pajak tumbuh 12,4% secara year on year (yoy) atau setara dengan Rp 133 triliun.Adapun rincian restitusi pajak berasal dari pemeriksaan sebesar Rp 81 triliun, upaya hukum lewat keputusan pengadilan Rp 22,5 triliun, dan restitusi yang dipercepat sebesar Rp 29 triliun.“Dibulatkan menjadi Rp 133 triliun,” ujar Dirjend Pajak Suryo Wibowo.sebagaimana dikutip hisconsulting.co.id 21/11/2019.

Berdasarkan data statistik amar putusan dari Pengadilan Pajak  memang  terlihat bahwa mayoritas dari putusan Pengadilan Pajak adalah mengabulkan permohonan Wajib Pajak. Itu artinya, dalam proses penyelesaian sengketa pajak ditingkat banding, DJP lebih banyak kalah di putusan Pengadilan Pajak.

Ada beberapa faktor yang mendasari penyebab kekalahan DJP ketika menyelesaikan sengketa banding/gugatan di Pengadilan Pajak. Faktor-faktor tersebut menurut Muhammad Baidarus (news.ddtc.co.id/22/01/18 ) antara lain :

Pertama, masalah transparansi putusan di Pengadilan Pajak. Sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi, setiap badan publik mempunyai kewajiban untuk menyediakan informasi dengan cepat, tepat waktu, biaya yang ringan, dan dengan cara yang sederhana sehingga kebutuhan publik dalam memperoleh informasi terpenuhi secara transparan.

Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa segala informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi.

Namun, faktanya hal itu tidak terjadi di Pengadilan Pajak sebagai suatu badan publik. Sikap ketertutupan masih begitu kuat sehingga seringkali menimbulkan dugaan negatif oleh banyak pihak.

Terlebih, pengadministrasian putusan pengadilan yang tidak berjalan dengan baik menyebabkan beberapa pihak mengalami kesulitan dalam mengakses akuntabilitas putusan tersebut. Tentu situasi tersebut bertentangan dengan Prinsip Keterbukaan Pengadilan (Principle of The Open Justice).

Padahal dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU KIP menyatakan bahwa putusan peradilan tidak termasuk kategori informasi yang dikecualikan. Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Putusan MA Nomor: 1-114/KMA/SK/I/2011 poin C.2 menyatakan bahwa seluruh putusan dan penetapan pengadilan baik yang telah berkekuatan hukum tetap ataupun belum adalah informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik.

Kedua, lemahnya independensi pemeriksa. Dalam rangka penegakan hukum dibidang perpajakan (law enforcement of tax) DJP melakukan pemeriksaaan untuk menguji transaksi bisnis berdasarkan data keuangan angka yang sebenarnya untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.

Sistem pemeriksaaan harusnya dapat mendorong kebenaran dan kelengakapan pelaporan penghasilan, penyerahan, pemungutan, pemotongan dan penyetoran oleh Wajib Pajak. Namun dalam praktiknya, pemeriksa sering melakukan pemeriksaan dengan menggunakan model pendekatan-pendekatan yang tidak didukung dengan bukti yang memadai seperti indikasi arus barang dan arus piutang.

Hal itu dilakukan pemeriksa semata-mata untuk mengamankan penerimaan pajak yang dibebankan kepada unit kantornya masing-masing sehingga pemeriksa akan semaksimal mungkin berusaha untuk dapat menetapkan pajak yang sebesar-besarnya sekaligus menahan permohonan restitusi pajak yang diminta Wajib Pajak.

Ketiga, kurangnya pengetahuan hakim tentang perpajakan Indonesia. Faktor yang paling dalam penentukan putusan sengketa perpajakan adalah kayakinan hakim yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.Dalam Pengadilan Pajak, latar belakang hakim yang memberi keputusan harusnya orang yang mengerti dan memahami cara perhitungan akuntansi dan perpajakan sehingga ketika di persidangan tidak menimbulkan argumentasi yang berbeda.

Seringkali perbedaan argumentasi tersebut terjadi karena latar belakang hakim yang memberikan keputusan merupakan murni orang hukum yang kurang mengerti perihal akuntansi dan mekanisme perhitungan perpajakan di Indonesia. Hal ini tentu menimbulkan masalah yang berpengaruh terhadap hasil putusan sengketa pajak.

Keempat, data-data berkaitan materi sengketa baru diberikan Wajib Pajak di persidangan dan dipertimbangkan oleh majelis hakim. Salah satu pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam memutus suatu sengketa perpajakan ketika proses banding adalah penilaian setiap bukti yang diajukan dalam persidangan.

Seringkali Wajib Pajak memilih untuk tidak memperlihatkan dan meminjamkan dokumen/bukti pada saat proses pemeriksaan dan penelitian keberatan karena Wajib Pajak khawatir jika Fiskus mengintepretasikan lain dokumen/bukti tersebut.

Dokumen/bukti tersebut kemudian baru diberikan pada saat proses persidangan di Pengadilan Pajak meskipun dokumen/ bukti tersebut sudah ada pada saat proses pemeriksaan dan penelitian keberatan namun tidak diminta oleh Fiskus karena tidak ada dalam aturan perpajakannya seperti data laporan harian. Jika itu terjadi maka kemungkinan besar Pengadilan Pajak akan mengabulkan permohonan banding Wajib Pajak dan membatalkan keputusan keberatan.

Kelima, kurangnya SDM di Pengadilan Pajak. Sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Pajak dibentuk untuk memastikan bahwa pungutan pajak yang dilakukan oleh aparatur sipil negara sesuai dengen ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, Pengadilan Pajak juga berperan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan. Oleh karena itu, dalam memperkuat fungsi Pengadilan Pajak dibutuhkan SDM yang mempunyai kompetensi baik di bidang hukum, perpajakan maupun di bidang akuntansi.

Hal ini penting agar proses penyelesaian perkara di Pengadilan Pajak dapat berjalan secara optimal. Namun, faktanya jumlah SDM Pengadilan Pajak yang sesuai dengan kriteria tersebut sangatlah minim terutama untuk hakim yang peminatnya sedikit.

Hal itu berbanding terbalik dengan jumlah sengketa yang ditangani tiap tahun yang jumlahnya cenderung meningkat. Data tahun 2015, Pengadilan Pajak memiliki 47 orang hakim yang terbagi dalam 18 majelis.

Sementara, jumlah sengketa pajak tahun 2015 yang harus ditangani berjumlah 11.284 berkas. Tentu jumlah tersebut tidaklah seimbang. Untuk mengatasi masalah ini, DJP harusnya mempercepat pengembangan Sistem Teknologi Informasi Aplikasi Pajak Pengadilan Pajak (STIAPP) yang hingga kini masih dalam bentuk wacana belaka.

Masalah masalah di atas merupakan masalah klasik yang harus dihadapi DJP setiap kali menerima banding/gugatan dari Wajib Pajak dalam proses penyelesaian sengketa pajak yang mengakibatkan banyaknya jumlah permohonan Wajib Pajak yang dikabulkan di Pengadilan Pajak.

Oleh karena itu, DJP harus melakukan upaya-upaya yang komprehensif untuk meminimalisir jumlah permohonan banding Wajib Pajak agar tidak mengganggu kredibilitas DJP sebagai lembaga superbody dalam penerimaan pajak nasional.

Upaya-upaya tersebut antara lain, melakukan evaluasi manajemen direktorat terkait seperti Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan yang didukung dengan bukti yang kuat, Direktorat Peraturan Perpajakan untuk memberikan masukan guna perbaikan ketentuan yang sering menimbulkan sengketa di lapangan, serta memperbaiki tata kelola organisasi dan proses bisnis melalui Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM.

Selain itu, evaluasi juga dilakukan terhadap setiap putusan banding serta melakukan inventarisasi kasus-kasus mana saja yang selama ini kalah dan kasus-kasus mana saja yang selama ini menang sehingga dengan begitu, diharapkan terhadap kasus-kasus yang kalah tidak menimbulkan cost of compliance dimasa yang akan datang. Terakhir, DJP perlu meningkatkan profesionalisme Pemeriksa Pajak dengen prinsip reward and punishmentsebagaimana dimaksud dalam Pasal 36A ayat (1) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007.

  1. Munculnya Mafia dan Korupsi Pajak

Terjadinya banyak sengketa pajak akhirnya memcunculkan efek lain yaitu berkembangnya para petualang mafia pajak dan korupsi pajak. Munculnya skandal mafia dan korupsi pajak yang merajalela ini tentu saja berpengaruh signifikan terhadap pembangunan ekonomi.Akibat korupsi pajak adalah ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber keuangan Negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak responsif.

Kasus mafia dan korupsi pajak pernah populer sejak skandal pajak besar telah terungkap ke permukaan. Kasus Gayus Halomoan Tambunan, pegawai golongan III/a di lingkungan Ditjen Pajak, yang memiliki rekening Rp 28 miliar dan safe deposit Rp 75 miliar. Setelah Gayus ada lagi pegawai pajak yang ditangkap, yakni Dhana Widyatmika yang terendus melakukan penyelewengan pajak. Rekening uangnya berada di sejumlah bank, yang transaksi keuangannya mencapai Rp 95 miliar.

Gayus Tambunan pernah membeberkan berbagai modus kerja mafia pajak yang diketahuinya. Ada setidaknya enam modus operandi mafia pajak dalam mengeruk uang negara yang dikumpulkan dari tetesan keringat kerja keras rakyat pembayar pajak yang jujur, yakni:

  1. Melalui proses negosiasi di tingkat pemeriksaan pajak. Sehingga keberatan pajak tidak mencerminkan nilai sebenarnya. Ini bisa menimbulkan deal-deal tertentu dalam pemeriksaan.
  2. Melalui proses negosiasi di tingkat penyidikan pajak. Misalnya, soal faktur pajak fiktif. Menurut Gayus, selain pemilik faktur pajak fiktif diimbau untuk betulkan SPT, mereka juga ditakut-takuti nanti bisa menjadi saksi atau tersangka. "Ujung-ujungnya uang sehingga pengguna faktur pajak fiktif tetap jadi saksi," ungkapnya.
  3. Melakukan penyelewengan fiskal luar negeri dengan berbagai modus di bandara yang melayani rute penerbangan internasional. Dimana, setiap orang yang bekerja di luar negeri harus bayar fiskal Rp2,5 juta. "Tapi, setelah ada peraturan cukup menunjukkan NPWP, maka itu hilang dengan sendirinya.
  4. Penghilangan bekas surat permohonan keberatan wajib pajak. "Sehingga ketika jatuh tempo atau 12 bulan, belum bisa diproses..
  5. Modus penggunaan perusahaan di luar negeri khususnya Belanda, dimana terdapat celah hukum pembayaran bunga kepada perusahaan asing di Belanda.
  6. Modus kerugian investasi dalam SPT tahunan. Modus semacam ini sudah sering terjadi di Dirjen Pajak tapi tidak diangkat penyidik maupun pihak yang berkepentingan. Kerugian menakutkan bagi negara ini adalah restitusi pajak jumlahnya rata-rata Rp 1 triliun.

Enam modus operandi tersebut diatas, bila digunakan secara simultan, terbukti menjadi cara efektif.bagi sebagian kaum terpelajar dan berkeahlian lulusan Perguruan Tinggi meraih cita-cita menjadi orang yang makmur, dikenal dermawan dalam sesaat.

Meskipun modus mafia pajak dan korupsi pajak sudah banyak diketahui, namun tidak semua pelakunya berhasil ditangkap untuk diadili. Sangat mungkin juga muncul modus baru yang sulit untuk dideteksi. Dalam hal ini terdapat banyak faktor yang mengakibatkan kasus mafia dan korupsi pajak sulit diungkapkan dan diberantas.

Mengacu pada berlakunya sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman, terdapat tiga faktor utama, yakni: substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum :

  1. Aspek substansial, yakni kelemahan isi peraturan perundang-undangan bidang perpajakan. Sebagai mana telah diungkapkan oleh Hikmahanto11 bahwa sebagian besar peraturan perundang-undangan yang disahkan oleh Pemerintah Indonesia memberi ruang dan peluang kepada aparatur publik untuk melakukan korupsi dan pungutan liar guna memperkaya diri sendiri dan koleganya dengan cara yang tidak sah. Undang-undang perpajakan ternyata dapat memberi peluang untuk kongkalikong antara wajib pajak dan petugas pajak untuk mengatur dan menyusun sedemikian rupa laporan atau surat pemberitahuan pajak dengan nilai objek pajak yang rendah sehingga pajak yang dibayar juga rendah dari yang seharusnya, dengan memberi imbalan uang suap dari wajib pajak kepada petugas pajak.
  2. Aspek struktural, yakni birokrasi institusi perjajakan yang tidak transparan, sehingga memungkinkan aparatur di dalamnya melakukan mafia dan korupsi pajak yang harus disetor ke kas negara. Bambang Soesatyo antara lain mengungkapkan bahwa mafia pajak itu lahir dari rahim dan tumbuh berkembang dalam tubuh birokrasi negara, tidak dari mana pun. Dari aturan main, perluasan jaringan, hingga kaderisasi dan distribusi manfaat, semua dirancang dan ditetapkan oleh oknum birokrat yang dipercaya mengutip dan mengelola pajak negara. Jangan pernah berasumsi bahwa jaringan mafia pajak hanya eksis di lingkungan Direktorat Jendral Pajak dan para bos mereka di Kementerian Keuangan, tetapi jaringannya sudah melebar ke mana-mana, terus ke atas ke samping dan ke bawah. Jadi, dalam struktur institusi perpajakan sendiri yang tidak transparan dan akuntabel, memungkinkan untuk melakukan mafia dan korupsi yang yang sulit diketahui oleh masyarakat umum. Begitu juga dengan sistem peradilan pajak, yang ditangani sendiri secara internal oleh institusi perpajakaan telah mendorong menjamurnya mafia dan korupsi perpajakan. Oleh karena itu, lembaga peradilan pajak perlu direformasi, terutama berkaitan dengan perkara keberatan pajak dan peradilan banding pajak yang seharusnya diadili oleh pejabat negara di luar (eksternal) institusi atau lembaga perpajakan. Dengan cara ini, putusan pengadilan pajak menjadi lebih mandiri, merdeka, dan mencerminkan rasa keadilan.
  3. Aspek kultural, yakni lemahnya nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan sosial. Di mana nilai-nilai kejujuran dan integritas personal dan sosial semakin sulit ditemukan dalam masyarakat. Ukuran keberhasilan hidup manusia sebagai simbol dan status sosial semata-mata dinilai dari seberapa banyak jumlah kekayaan dan uang yang dimilikinya. Akibatnya banyak orang berlomba untuk memperoleh kekayaan dan uang sebanyak-banyaknya dengan menghahalkan segala cara (baik yang cara halal maupun haram) asal harta benda sebagai simbol dan status sosial dapat diperolehnya. 
  1. Formulasi Hukum Dalam Pemberantasan Mafia Pajak dan Korupsi Pajak

Penegakan hukum perpajakan tidak dapat lepas dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap tindak pidana pelanggaran dan kejahatan di bidang perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Indonesia, kita dapat membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam dua jenis, yaitu: Tindak pidana pelanggaran, dan Tindak pidana kejahatan.

Yang Pertama, Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-Undang Perpajakan. Dalam hal ini pelanggaran sering disamakan dengan kejahatan yang ringan. Ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih ringan bila dibanding denga pelaku kejahatan. Ancaman yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan adalah pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang. 

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 yang merupakan Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa prinsip-prinsip ancaman tindak pidana pelanggaran ini pun nyata-nyata dimuat dalam Pasal 38 sebagai berikut:

“Setiap orang yang karena kealpaannya; tidak menyampai kan surat pemberitahuan; atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

Yang kedua, Tindak Pidana Kejahatan dalam Undang-Undang Perpajakan. Jika pelanggaran merupakan kejahatan ringan, maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelang-garan yang berat. Pelanggaran berat karena ancaman pidananya memang jauh lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk palaku kejahatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan atau denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang ter-hutang yang kurang atau tidak diba-yar, serta bagi pelaku pengulangan kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat waktu satu tahun. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam: Pasal 39, Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 41B.

Berangkat dari ketentuan dalam undang-undang perpajakan yang dipaparkan di depan dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana perpajakan adalah tindak pidana: (a) yang dilakukan oleh wajib pajak; (b) yang dilakukan oleh pejabat pajak (fiskus); dan (c) yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.

Adapun untuk materi/substansi perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana perpajakan adalah:

  1. Dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar, palsu atau dipalsukan.
  2. Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan; 
  3. Tidak memberikan   atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak;
  4. Tidak memperlihatkan pembukuan, dokumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak
  5. Tidak memberikan kesem-patan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemerik-saan setempat
  6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; tidak men-daftarkan diri atau menyalah-gunakan atau menggunakan NPWP atau NPPKP tanpa hak; dan
  7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipunggut.

Dengan mempertimbangkan begitu penting dan  besarnya peranan penerimaan pajak bagi sektor pendapatan negara, maka undang-undang tentang perpajakan yang telah beberapa kali mengalami perubahan, namun belum signifikan dalam aplikasinya, kiranya  dipandang perlu untuk diadakan penyempurnaan secara substansial guna menyesuaikan perkembangan bidang perpajakan sehingga tindak pidana ekonomi di bidang perpajakan bisa dikurangi, bahkan bisa diberantas secara tuntas.

Apabila perubahan itu tidak dapat dilakukan secara substansial, maka korupsi pajak akan semakin menggurita. Boleh jadi suatu saat nanti, akan lahir era penghormatan untuk para koruptor di negeri ini. Para koruptor dianggap bukan lagi musuh masyarakat yang harus dinistakan, melainkan justru perlu dihormati. Ironis sekali.

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, dapat dikemukakan bahwa aplikasi kebijakan dan formulasi yang dapat dilakukan agar mafia dan korupsi pajak dapat diberantas secara tuntas, dapat dilakukan  dengan menerapkan sanksi pidana terhadap pelanggaran dan kejahatan bidang perpajakan secara lebih keras.

Sanksi seharusnya mengacu pada undang-undang perpajakan yang memberikan sanksi yang lebih berat daripada ketentuan yang terdapat dalam KUHP atau undang-undang lainnya. Misalnya, dalam Pasal 39 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tetang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, disebutkan bahwa ancaman pelaku kejahatan bidang perpajakan diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya empat kali jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar atau dikorupsi, serta bagi pelaku pengulangan kejahatan maka ancaman pidananya dilipatkan dua kali. 

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hukuman terhadap mafia dan korupsi pajak bersifat ultimum remedium agar dapat membuat jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak maupun sebagai preventif bagi masyarakat pada umumnya.

Selain itu ketentuan keberatan pajak dan peradilan banding di bidang perpajakan yang selama ini ditangani dan diselesaikan oleh internal Direktorat Jendral Pajak, perlu direformasi dengan dibentuk Lembaga Peradilan Pajak yang netral, yang tidak melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagai “hakim” peradilan pajak. Dengan demikian perlu dibentuk undang-undang yang mengatur peradilan pajak yang bersifat lebih mandiri, merdeka, dan mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat secara luas.

Kalau peradilan pajak masih ditangani oleh internal orang Pajak sendiri, maka rakyat akan menyindir "kok jeruk makan jeruk". Saatnya peradilan pajak direformasi total dengan menempatkan pengadil-pengadil yang profesional, independen, berintegritas dan tak ada relasinya dengan aparat Ditjen Pajak.