Menyingkap Bisnis Mafia Bola di PSSI

Uang Denda Jadi Bancakan, Klub Sepak Bola Jadi Korban

Jakarta, law-justice.co - Mungkin sudah tidak asing lagi bagi pecinta bola di Indonesia, kekerasan dan pelanggaran kerap terjadi di arena rumput hijau. Mulai dari aksi kekerasan fisik antar pemain, kekerasan fisik kepada wasit, hingga kekerasan verbal kepada pelatih dan wasit. Tak hanya itu, suporter yang melakukan perusakan dan menyalakan flare atau suar juga bisa berbuntut masalah, apalagi ikut turun ke lapangan dan menghentikan jalannya pertandingan.

Kesemua pelanggaran itu, akan dievaluasi dan disidang melalui sidang Komite Disiplin (Komdis) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Komite Disiplin ini menjadi algojo dalam penentuan salah atau tidaknya pemain, pelatih, wasit, dan suporter. Siapa yang dinyatakan bersalah dalam sidang Komite Disiplin PSSI itu, akan dikenakan denda bervariasi, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Bahkan yang terparah, Komite Disiplin bisa melarang atau menskorsing klub bermain dalam satu pertandingan yang semuanya tercantum dalam Kode Disiplin PSSI.

Baca juga : Politisi Demokrat Ajak Seluruh Pihak Bersatu Membangun Bangsa

Dalam Kode Disiplin PSSI itu, ada beberapa hukuman yang diberikan mulai dari teguran, denda, peringatan, pengusiran, skors, larangan memasuki stadion, larangan memasuki ruang ganti atau di bangku cadangan, larangan ikut serta, dan terlibat dalam aktivitas sepak bola, hingga penyitaan dan pengembalian gelar hadiah. Semua sanksi dan hukuman itu, tegas bagi klub, pemain, dan suporter yang melakukan pelanggaran. Alasannya, ingin memperbaiki citra sepak bola nasional yang disiplin dan bermartabat.

Sebagai contoh, Komite Disiplin beberapa bulan lalu menggelar sidang perkara pertama di musim Liga I 2020. Komdis menyidangkan kasus kepada pelatih Bhayangkara FC Paul Munster. Pelatih asal Irlandia Utara itu terbukti bersalah atas jenis pelanggaran menghampiri dan memaki wasit ketika timnya bermain imbang 0-0 melawan Persiraja Banda Aceh pada pekan pertama. Komite Disiplin menjatuhkan sanksi berupa denda kepada Munster sebesar Rp 25 juta.

Baca juga : Dibanding Ngemis Gabung Pemerintah, PKS Lebih Baik Oposisi Bareng PDIP


Salah satu jenis pelanggaran yang dilakukan oleh suporter Persija pada pertandingan melawan Geylang International di Stadion GBK (Foto:Robinsar Nainggolan/Law-Justice)

Persiraja tak luput dari hukuman Komdis PSSI. Saat tim berjulukan Laskar Rencong itu menjamu Bhayangkara FC, suporter tuan rumah dianggap melakukan pelemparan ke dalam lapangan dan berteriak menghina wasit dengan kalimat tidak patut. Akibatnya, Komdis menghadiahi hukuman denda sebesar Rp 55 juta.

Baca juga : Ucapan Rocky Gerung Diputus PN Jaksel Tak Hina Jokowi

Hukuman ketiga yang dirilis Komdis PSSI adalah untuk gelandang Persija Jakarta, Sandi Darman Sute. Untungnya, tak ada sanksi berupa denda uang maupun larangan bermain untuk dia.

Sandi menendang botol air mineral di area sentel ban saat digantikan pada awal pertandingan ketika Persija menjamu Borneo FC, pada pekan pertama. Sandi Sute hanya menerima hukuman teguran dari Komdis PSSI.

Beberapa pelanggaran berat yang pernah tercatat dalam Komite Disiplin PSSI adalah kasus kerusuhan antara Persib dan Persija. Dalam kekerasan itu, Haringga Sirla menjadi korban keenam pada perseteruan antara Jakmania dan Bobotoh. Haringga tewas di sekitar GBLA pada pertemuan Persib dengan Persija di musim kompetis Liga 1 pada 23 September 2018.

Persib kala itu diberikan sanksi oleh Komdis antara lain pertandingan kandang atau home di luar Pulau Jawa (Kalimantan) tanpa penonton sampai akhir musim kompetisi 2018. Persib Bandung juga harus menjalani pertandingan home tanpa penonton di Bandung sampai setengah musim kompetisi tahun 2019. Suporter Persib dilarang menyaksikan pertandingan Persib Bandung pada saat home maupun away serta pertandingan Liga 1 lainnya.

Komdis juga memutuskan untuk menghukum panitia penyelenggara pertandingan Persib. Ketua Panpel dan security officer dikenai sanksi larangan ikut serta dalam kepanitiaan pertandingan Persib Bandung selama 2 (dua) tahun. Panpel didenda sebesar Rp 100 juta. Panpel Persib juga wajib memerangi dan melarang rasisme dan tulisan provokasi serta slogan yang menghina pada spanduk, poster, baju dan atribut lainnya dengan cara apapun serta seluruh tersangka pengeroyokan Haringga Sirla dihukum Komdis PSSI tak boleh menonton sepak bola di wilayah Republik Indonesia seumur hidup.

Lika-liku Aliran Dana Denda
Soal kecurigaan aliran dana denda yang sudah dibayarkan oleh klub melalui keputusan Komite Disiplin PSSI bukan isapan jempol belaka. Pengamat sepakbola Tomy Welly mengatakan, denda Komdis PSSI ini idealnya langsung mengalir ke rekening PSSI yang dipotong dari uang subsidi PT LIB namun ada juga klub yang membayar langsung ke PSSI di luar rekening.

"Idealnya begitu, rekening ke rekening, namun semuanya kembali ke PSSI, dana ini harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan saat kongres tahunan, entah itu bentuknya audit eksternal atau internal, yang pasti harus transparan," ujarnya ketika dihubungi Law-Justice, Senin (18/5/2020)

Kata Welly, jika tak ada transparansi ataupun penjelasan terkait ke mana dana denda itu, tentu akan muncul spekulasi. Salah satunya, bisa jadi untuk kepentingan elit tertentu.

Terkait penggunaan dana denda Komdis, menurut Tommy, secara normatif dan idealnya seharusnya dana ini digunakan untuk development, namun dalam praktiknya kita juga tidak tahu persis apakah masuk ke kantong pengurus-pengurus atau dibagi-bagi ke mana aja.

"Ketika dihukum komdis, tentu karena masih ada persoalan dan masih ada kelemahan. Dana ini idealnya untuk perbaikan, misalnya untuk pengembangan usia muda, development wasit, perangkat pertandingan, atau apapunlah yang terkait supaya kelemahan-kelemahan ini tereliminir," jelas Tommy.


Pengamat sepak bola Tommy Weli (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Ketika disinggung kembali soal dugaan dana Komdis ini jadi bahan bancakan, Tommy tidak bisa memastikan benar atau tidak, namun menurutnya spekulasi ini muncul karena tidak ada penjelasan dari Komdis sendiri.

"Jika Komdis mau menjelaskan tujuan dana ini untuk apa dan kepentingan apa justru spekulasi ini tentu berkurang dan terjawab, ini yang mesti dilakukan PSSI," kata Tommy.

Tommy menekankan, PSSI sekarang janganlah memunculkan `image` negatif, misalnya menciptakan kekisruhan antar manajemen Ketua PSSI dan Wakilnya, antara PSSI dengan PT LIB.  Seharusnya, yang dilakukan adalah menunjukkan aspek hukum karena kita tahu sendiri PSSI punya masalah yang harusnya diperbaiki.

"Jika menunjukkan `image` negatif seperti ini adalah sesuatu yang memalukan, bukan hal yang baik. Untuk membenahi PSSI itu ada beberapa aspek yaitu organisasinya, kompetisinya, dan ujung dari kompetisi adalah timnasnya. Ada pengembangan usia dini, serta kedekatan hukum sepakbola yang sebenarnya menjadi sorotan selama ini menjadi harapan selama. Tunjukkan bahwa hal itu jangan hanya jadi wacana," tegas Tommy.

Sementara itu, Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali menyebut, skema denda yang dilakukan Komite Disiplin ini sesungguhnya menunjukan mereka adalah debt collector, secara tidak langsung memotong subsidi yang menjadi jatah klub.

"Di sini kita lihat konsep yang dibangun Komdis adalah orientasi materi yang justru sangat tidak efektif yang pada akhirnya justru tidak memberikan efek jera karena klub sendiri merasa tidak membayar. Jadi terlihat Komdis tak ada kontribusinya, tugas Komdis itu hanya memotong subsidi lewat denda, ya seperti debt collector," jelas Akmal, Jumat (21/5/2020).

Akmal juga memastikan, skema yang dilakukan Komdis tidak akan berpengaruh pada pengembangan klub. Justru akan menjadi "modus" untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dari denda.

"Sesudah menjadi debt collector, uang hasil denda ini pun tidak mengalir kembali ke klub. Padahal, sebenarnya Komdis bisa menggunakan uang ini untuk mengedukasi suporter. Misalnya, kalau ada suporter melempar benda-benda ke lapangan bisa diedukasi menjadi suporter yang fair. Klub pun tak bisa berbuat apa-apa, toh mereka merasa tidak mengeluarkan uang denda, jadi ya tidak berguna apa-apa denda ini," kata Akhmal.

Lanjut dia sukses tidaknya Komdis sebenarnya bukan dilihat dari seberapa banyak sanksi yang masuk ke Komdis, sebanyak apa uangnya namun, seharusnya semakin rendah jumlah sanksi suatu klub itu berarti Komdis itu sukses. "Suksesnya itu harus kualitatif bukan kuantitatif," tandas Akmal.

Dia pun membeberkan skema lain terkait dana subsidi klub. Menurut Akmal, uang subsidi ini ternyata sudah dipotong terlebih dahulu sebelum sampai kepada klub.

"Tadikan saya sebut Komdis ini sama dengan debt kolektor, hanya bedanya satu datangi rumah satunya potong di tengah jalan. Jadi uang itu belum sampai ke klub. Contohnya, klub ini musim lalu mendapat subsidi Rp 5 miliar dengan rincian satu musim 10 bulan satu bulan dapat 500 juta dan misalnya di bulan Mei klub kena denda Rp 250 juta, berarti mereka otomatis hanya medapat 250 juta dikirim ke rekeningnya," jelas Akmal.

"Jika skemanya diganti, uang ini langsung ke klub dulu, akan terlihat ada tanggung jawabnya. Klub tentu merasa berat untuk melepas uang subsidi. Jadi, secara psikologis ada perasaan, duh berat juga nih Rp 250 juta kalau kita yang membayar. Tentu pasti mereka akan sangat menyayangkan. Tapi kalau sudah dipotong di tengah jalan, ya nothing to lose deh," tambah Akmal.

Lebih lanjut, Akmal menjelaskan, di sini ada kesalahan manajemen pembayaran dari Komdis yang harus dibenahi. Kalau pun kemudian sanksi-sanksi dalam bentuk materi masih ada, berarti sistem pembayaran harus dibenahi. Jangan dipotong lagi lewat subsidi, tetapi klub harus membayar sistem perusahaan.

Oleh karena itu, Akmal menyarankan agar Komdis menghapus sanksi berupa uang kepada klub dan mengubahnya dengan sanksi sosial misalnya menjadi pembina untuk Sekolah Sepakbola atau menjadi pekerja sosial lainnya.

"Ini kan lebih efektif, bisa memunculkan efek jera dan uang subsidi pun aman dan bisa digunakan untuk perkembangan klub," jelasnya.

Setali tiga uang, transparansi keuangan dari hasil denda dan sponsor juga diutarakan Ketua Umum Paguyuban suporter Timnas Indonesia Ignatius Indro. Kata dia, dirinya meminta Ketua Umum PSSI yang baru Mochamad Iriawan atau Iwan Bule untuk buka-bukaan soal pengunaan dana dalam tubuh PSSI.

"Saya juga akan tagih janji ketum PSSI untuk masalah transparansi dan juga masalah suporter. Kalo indikasi penyalahgunaan saya belum dapat. Tapi transparansi ini benar dijanjikan oleh ketum PSSI," katanya kepada Law-Justice.

Kata dia, soal ketertutupan anggaran di dalam tubuh PSSI sudah berlangsung lama karena masih adu kepentingan dalam tubuh PSSI. Proses reformasi di tubuh PSSI menjadi lamban dan berujung konflik internal.

"Ada perbedaan antara kepengurusan sekarang dengan yang sebelumnya. Minimal kepengurusan sekarang masih mau mendengarkan. Termasuk masalah denda ini. Saya sudah beberapa kali ketemu Pak Iwan Bule dan ngomongin masalah transparansi ini," katanya.

Melimpahnya Sumber Dana PSSI dari sidang Komdis
Di tengah kondisi krisis akibat pandemi COVID-19 saat ini, sejumlah klub mulai berteriak karena mereka telah kehilangan sumber pemasukan akibat terhentinya semua kompetisi Liga sejak Maret lalu. Tidak ada pertandingan, tidak ada hak siar, kini klub menagih fungsi uang denda yang mereka bayarkan setiap kali melakukan pelanggaran saat bertanding.

PSSI memiliki sumber dana yang melimpah dalam setiap musim kompetisi. Salah satu yang paling banyak menghasilkan pemasukan adalah denda administratif bagi klub atau pihak-pihak yang melakukan pelanggaran saat pertandingan berlangsung. Jumlah uang yang dihasilkan melalui sidang Komite Disiplin dan Komite Banding itu mencapai miliaran rupiah. Setiap pelanggaran, klub harus membayar belasan hingga ratusan juta rupiah.


Gedung kantor PSSI di Stadion GBK (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Setiap musim kompetisi, ada ratusan sanksi yang dijatuhkan oleh Komite Disiplin. Besaran sanksi denda sangat bervariatif, tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan. Klub harus membayar denda tersebut, bahkan ketika pelanggaran dilakukan oleh suporter. Salah satunya dari anggaran yang disubsidi oleh PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebesar Rp 5 miliar per musim.

Komisi Yudisial PSSI itu akan menjatuhkan sanksi minimal Rp 10 juta untuk pelanggaran ringan seperti protes kepada wasit, suporter menyalakan kembang api, penonton masuk ke lapangan, bahkan ketika pihak penyelenggara dianggap tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman selama pertandingan.

Bedasarkan data sidang Komite Disiplin PSSI pada November 2017, beberapa pelanggaran berat yang harus dibayar dengan denda besar antara lain, Menolak melanjutkan pertandingan (Rp 200 juta); Suporter menyalakan flare, masuk ke dalam lapangan, serta merusak properti (Rp 195 juta); Memainkan pemain tidak sah (Rp 100 juta); dan Melakukan tindak kekerasan kepada wasit atau asisten wasit (Rp 75 juta).

Dengan denda sebesar itu, wajar jika klub mempertanyakan bagaimana mekanisme pengelolaan dana denda, termasuk seperti apa timbal balik kepada klub yang patuh pada aturan tersebut.

Plt. Sekretaris Jendral PSSI Yunus Nusi mengatakan, pihaknya sudah sangat transparan kepada seluruh anggota tentang pengelolaan uang denda.

"Rencananya, tahun ini uang sanksi akan diperuntukan membina suporter, workshop panitia pelaksana pertandingan, dan lain-lain," kata dia kepada Law-justice.co beberapa waktu lalu.

Tapi sepertinya klaim tersebut tidak sepenuhnya tersampaikan kepada pihak klub. Manajer Persib Bandung Umuh Muchtar pernah mengeluhkan bahwa pihaknya sama sekali tidak mengetahui kemana larinya uang denda sanksi yang setiap musim selalu mereka bayarkan. Persib Bandung termasuk salah satu klub yang paling sering didenda karena dianggap melanggar aturan saat pertandingan.

Bahkan Umuh Muchtar sendiri pernah didenda Rp 50 juta dan dilarang beraktifitas dalam sepakbola selama 6 bulan karena dianggap bertindak provokatif saat laga Persib vs Persija Jakarta, 3 November 2017. Pada akhir musim 2019, Persib telah membayar total denda Komdis sebesar Rp 345 juta.

"Kami tidak tahu uangnya dikemanakan. PSSI tidak transparan soal dana sanksi itu," kata Umuh.

Ia bahkan meminta aparat penegak hukum untuk turut mengaudit aliran dana Komdis. Bukan hanya Persib, tapi semua klub yang pernah membayar denda disebut tidak pernah menerima imbal balik atas denda yang mereka bayarkan.

"KPK atau Polisi harus mengecek dana yang diterima oleh PSSI. Kalau memang untuk negara atau pengembangan PSSI, itu bagus. Tapi PSSI sejauh ini tidak pernah transparan," imbuh dia.

Keluhan yang sama pernah disampaikan beberapa sumber Law-justice.co di klub Bhayangkara FC. Mereka juga mengeluhkan miliaran rupiah dana yang setiap musim PSSI terima dari hasil denda sidang Komite Disiplin.

"Dari dulu tidak pernah ada kejelasan ke mana larinya uang miliaran rupiah dari denda klub," kata sumber tersebut.

Transparansi keuangan PSSI memang sudah menjadi perdebatan lama. Banyak pihak yang menginginkan lembaga itu membuka pengelolaan keuangan secara terbuka kepada publik, mengingat sepakbola adalah aktivitas olahraga yang memiliki ikatan psikologi dengan masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, anjloknya prestasi Timnas Indonesia dan klub di level internasional, membuat banyak pihak curiga bahwa PSSI tidak mengelola keuangan dengan baik.

Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI) pernah memenangkan gugatan tentang tuntutan transparansi keuangan PSSI di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada tahun 2014. Dalam putusan No. 199/VI//KIP-PS-A/2014, PSSI dituntut menerbitkan informasi kepada publik tentang laporan keuangan karena lembaga itu tergolong dalam badan publik non pemerintah yang menerima dana APBN (dari Kemenpora) dan sumbangan luar negeri dari FIFA. Putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun Mahkamah Agung membatalkannya pada tingkat kasasi, karena para penggugat dianggap terlambat mengajukan gugatan, berdasarkan pada Pasal 13 Peraturan KIP No. 1 tahun 2013.

Direktur Hukum PSSI saat itu, Aristo Pangaribuan, mengatakan bahwa lembaganya hanya memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan kepada anggota, bukan kepada publik. Hanya anggota yang boleh mengajukan permohonan laporan keuangan PSSI. Berdasarkan statuta PSSI, anggota terdiri dari semua klub yang ikut dalam kompetisi Liga, asosiasi wasit, asosiasi pelatih, asosiasi pemain, asosiasi futsal, dan asosiasi sepakbola wanita.


Surat keputusan Komite Disiplin PSSI terhadap klub sepak bola Persis Solo (Foto:Persis Solo Official)

"Selama ini PSSI sudah transparan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam setiap kongres," kata dia di laman resmi PSSI.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia Sarman El Hakim menegaskan, laporan keuangan PSSI seharusnya terbuka untuk publik. Pasalnya, selama ini hanya PSSI yang tahu kemana larinya dana denda, sponsor, maupun dana hibah dari Kemenpora atau FIFA.

"Itulah tidak fair-nya PSSI. Publik berhak tahu karena anggota PSSI sendiri tidak mempublikasinnya. Soal informasi dana hanya mereka yang tahu," kata Sarman saat dihubungi Law-justice.co, Selasa (19/5/2020).

Sarman menambahkan, itulah sebabnya PSSI selalu memilih orang-orang kuat di kalangan Politisi, Militer, dan kepolisian sebagai Ketua Umum. Agar bisa membantu mereka menutupi laporan keuangan kepada publik.

"Mereka selalu mencari Ketum yang bisa melindungi, seperti para Jendral dan Politikus. Dan itu tiak akan berlangsung lama. Jika sumber keuangan mereka terganggu, mereka akan mencari Ketum baru yang lebih kuat," imbuh pria 54 tahun, yang pernah mencalonkan diri sebagai Ketum PSSI periode 2019-2023.

Aturan VS Kepentingan
Soal aturan besaran denda ini dinilai beberapa klub masih menjadi perdebatan panjang. Hal itu diakui Anggota Komite Disiplin Umar Husein saat dihubungi Law-Justice. Kata dia, sedari dulu, sejak ada penetapan denda kepada klub dan pemain yang terbukti melakukan pelanggaran, selalu ada perdebatan soal denda dan besarannya.

"Cuma, itukan namanya aspirasi yang tidak terukur. Tidak mutlak ada. Pada saat awal-awal kepengurusan, ada beberapa piahk yang menginginkan agar denda itu dikurangi. Cuma tidak jelas. Pada saat pertemuan dengan klub, malah ada klub yang bilang, jangan dikurangi. Wong sekarang aja masih banyak yang melanggar, apalagi dikurangi. Jadi ada dua pendapat juga. Itu saya dengear sendiri," kata Umar.

Dia menegaskan, besaran denda sudah diatur dalam kode displin PSSI yang mengacu pada statuta FIFA dan AFC.

"Kemudian, yang menentukan denda bukan kita. Komdis ini hanya pelaksana saja. Kan ada di Kode Disiplin. Kode disiplin itu merujuk pada FIFA dan AFC. Jadi kami enggak berhak menetukan karena jumlahnya sudah dihitung dengan pasti. Kalau pelanggaran ini, dendanya sekian," ungkapnya.

Umar Husein berkilah, pembayaran denda yang masuk semuanya diatur oleh keuangan PSSI. Kata dia, Komite Disiplin hanya mengatur soal kasus dan memberikan keputusan bersalah atau tidak pelanggaran yang dilakukan oleh klub, pemain, dan suporter.

"Jadi uangnya yang pegang ya PSSI lah. Kami enggak pegang uang. Ini yang kacau ini di masyarakat, seolah olah kami yang pegang uangya. Enggak banget. Pokoknya manajemen PSSI yang punya urusan," jelasnya saat dihubungi Law-Justice.

Saat ditanya tentang peruntukan denda sanksi tersebut, Umar mengatakan, "Itu semuanya dikelola untuk klub melakukan pembinaan sepak bola. Iya, klub itukan juga dapat bantuan dari PSSI. Muter aja duit itu. Kamu pikir buat kesejahteraan PSSI? Mereka tahu, mereka juga menerima uang dari PSSI untuk dana pembinaan lah."

Lantas apakah sanksi denda dan pelarangan itu efektif bagi dunia sepak bola di Indonesia? Bagaimana pengelolaan anggaran yang didapat dari denda yang digadang-gadang digunakan untuk kemajuan klub dan sepak bola di Indonesia? Apakah pendapatan denda itu hanya menjadi bancakan bagi segilintir elit di manajemen PSSI?

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricky Siahaan, Ricardo Ronald, Lily Handayani