Kasus Matinya ABK Kapal Ikan China, Negara & Menteri KKP Ngapain Saja?

Jakarta, law-justice.co - Membaca berita soal perbudakan anak buah kapal (abk) Indonesia yang meninggal  di kapal nelayan China membuat sesak dada kita. Apalagi foto korban ditampilkan dengan penampilan gagah seorang anak muda lengkap dengan pakaian seragamnya.  

Dikabarkan 4 dari 18 orang warga negara Indoneia yang menjadi budak di kapal nelayan China itu memang masih muda muda usianya. Rata rata usianya baru 19 sampai 24 tahun karena memang baru lulus sekolah pelayaran di daerahnya.

Baca juga : Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo Bebas dari Penjara

Sebagaimana layaknya anak-anak muda yang baru lulus dari sekolahnya, mereka juga semangat mencari kerja. Mungkin sebelum bekerja di kapal nelayan China, mereka sudah ada yang melamar kemana mana namun tidak diterima. Daripada hidup menganggur tidak bekerja akhirnya pekerjaan penuh resiko diterimanya juga. 

Kebayang betapa senangnya bisa bekerja, sementara teman teman sebayanya banyak yang masih lontang lantung tak jelas nasibnya. Keluarga dirumah juga ikut senang karena anggota keluarganya sudah dapat pekerjaan sehingga ada harapan untuk menambah penghasilan rumah tangga. Disertai doa orang tuanya, anak anak muda itu berangkat bekerja disebuah kapal asing yang mungkin belum pernah terbayang seperti apa kondisinya.

Baca juga : Edhy Baca Pledoi, Kenang Jasa Prabowo Jadi Motivator Kala Susah

Maklum  namanya anak muda, belum punya pengalaman kerja yang bisa mengisi memori kepalanya untuk membayangkannya. Baginya bisa bekerja saja sudah merupakan berkah yang luar biasa sehingga tidak berpikir seperti apa kondisi di tempat kerja.

Mereka bekerja diatas kapal yang bernama Longxing 629 itu berbendera Republik Rakyat China dan milik perusahaan bernama Dalian di China.Dikabarkan 18 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia itu sudah mengarungi lautan lepas setahun lamanya.  Kapal Longxing 629 berangkat dari Busan, Korea Selatan, pada 14 Februari 2019, menuju belantara samudera. Setelah 15 hari berada di laut lepas di sekitar Samoa, kapal ini mulai menangkap ikan tuna. Kapal tersebut menangkap ikan selama 8 bulan dan berhenti menangkap ikan tuna setelahnya.

Baca juga : Korupsi Benur, 3 Sespri Akui Terima Duit dari Stafsus Edhy Prabowo

Terbayang selama 8 bulan ABK anak-anak muda itu terkatung-katung ditengah Samudera. Jauh dari pantauan aparat apalagi liputan media. Tidak ada alat komunikasi yang bisa mengabarkan kondisinya karena kesempatan dan waktu untuk itu memang tidak ada.

Kehidupan diatas kapal hampir pasti seperti negara dalam negara karena yang berkuasa adalah kapten kapalnya. Jauh dari pengawasan aparat berwenang, penguasa kapal tentu bisa berbuat seenaknya. Bisa dibayangkan betapa menderitanya para ABK asal Indonesia yang hidup dibawah kendali kapten kapal yang berkuasa penuh atasnya.

Selama 8 bulan,  para ABK itu harus bekerja siang malam ditengah deburan ombak samudera dibawah pengawasan ketat para mandor China. Dalam sehari rata rata mereka harus bekerja 18 jam lamanya, mulai jam 9 pagi sampai menjelang subuh tiba. Mereka ditarget kerja harus mendapatkan ikan dengan jumlah tertentu setiap harinya. Mereka bekerja sambil berdiri tanpa jeda. Kalaupun bisa duduk, itu bisa dilakukan ketika saat jam makan tiba karena saat makan itulah dianggap sebagai waktu istirahatnya.

Dalam sehari para ABK diberikan waktu istirahat 6 jam termasuk untuk tidur yang rata –rata 3 jam lamanya. Jangan dibayangkan bagaimana mereka menunaikan kewajiban sholatnya atau sekedar mengistirahatkan badannya. Mandor China hampir pasti akan menegornya. Karena sebagai budak, mereka sudah merasa memilikinya.

Para ABK asal Indonesia diperlakukan diskrimanatif oleh majikannya. Kalau pekerja kapal asal China, minumnya air mineral yang dibawa dari daratan sementara ABK Indonesia minumnya air sulingan laut yang masih asin rasanya. Dalam hal makanan juga berbeda, ABK asal China bisa makan ikan ikan segar dan sayuran yang memang disediakan oleh mereka. Tetapi ABK asal Indonesia sering diberi makan ikan  umpan untuk menangkap ikan tuna.

Begitulah para pemuda ABK asal Indonesia ini diberi makan sekadar untuk bisa bertahan agar bisa diperas tenaganya. Kiranya sekuat apapun fisik mereka pada awalnya, kalau diberi asupan makanan ala kadarnya dan diperas tenaganya lama lama akan ambruk juga. Ini pula yang terjadi pada diri seorang Muhammad Alfatah (19) asal Enrekang, Sulawesi Selatan Indonesia.

Setelah bekerja siang malam mengejar target yang telah ditetapkan oleh majikannya, akhirnya Muhammad Alfatah amburk juga. Ia jatuh sakit diatas kapal tanpa proses pengobatan sebagaimana mestinya. Setelah cukup lama penyakit menderanya, akhirnya yang bersangkutan meninggal dunia. Oleh Kapten Kapal China Long Xing 902 mayat Alfatah diperintahkan untuk dibuang ke tengah samudera.

Jenazah Alfatah di larung ke samudera alasannya karena daratan masih jauh dan adanya ketakutan penyakitnya akan menular kepada kru kapal lainnya.Kasus Muhammad Alfatah saat itu membuat kita semua sangat berduka. Tak ada respon pemerintah untuk menyelidiki kasus kematiannya 

Kapal China Long Xing 902 terus berlayar menangkap ikan tuna kadang kadang ikan hiu juga. Kematian Alfatah dianggap sebagai peristiwa biasa. Para ABK terus bekerja keras menangkap ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh majikannya.  Karena kondisi di tempat kerja yang sangat memprihatinkan akhirnya jatuh korban berikutnya. 

Dua orang ABK asal Indonesia ambruk tidak berdaya. Hari demi hari sakit keduanya makin serius dan terancam kehilangan nyawa. Kabar kru kapal sudah mendesak kapten kapal untuk melabuhkan kapal agar kedua ABK tersebut mendapatkan penanganan medis sebagaimana mestinya. Akan tetapi kapten kapal menolak dengan alasan tidak mendapatkan otorisasi dari perusahaan yang menugaskannya. 

Lama menderita sakit tanpa pengobatan yang memadai,membuat salah satu dari ABK Indonesia itu akhirnya ikut menyusul meninggal dunia. Pada tanggal 22 Desember 2019 pagi, seorang ABK dengan inisial (S) mengembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Kapten kapal lantas melarung jenasahnya ke laut pada sore di hari yang sama. 

Kemudian pada 27 Desember 2019, seorang ABK lain yang sakit dipindahkan ke kapal lain, Longxing 802 yang sedang perjalanan menuju pelabuhan terdekat di Samoa. Setelah 8 jam berada di di Longxing 802, ABK yang berinisial (Al) juga meninggal dunia. Seperti halnya dua temannya, jenazah AI juga dilarung ke tengah samudera.

Rupanya kejadian beruntun meninggalnya ABK asal Indonesia itu telah membuat kru kapal Long Xing 802 menjadi trauma dan minta supaya dipulangkan saja.  Kapal Longxing 802 akhir berlayar kembali menuju ke Busan Korea. Pada 27 Maret 2020, para ABK tersebut dipindahkan ke kapal lain lagi yang bernama Tian Yu 8 yang sedang melakukan perjalanan ke Busan Korea. Pemindahan ini untuk menghindari kemungkinan penolakan berlabuhnya kapal Long Xing 802 karena adanya insiden kematian yang menimpa kru-nya.

Pada tanggal 29 Maret 2020 ketika Tian Yu 8 mendekati perairan Jepang, seorang ABK yang berinisial (Ar) ikut menyusul 3 temannya pulang kea lam baka. Seperti halnya tiga teman yang telah mendahuluinya, jenazahnya juga di larung ke tengah samudera. 

Mengenai dilarungnya jenazah para ABK ini menurut penjelasan dari Menteri Luar Negeri Indonesia sudah mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga. Namun ternyata pihak keluarga tidak mengetahui kalau anggota keluarganya meninggal di kapal China dan di larung jenazahnya ke samudera. Disini ada indikasi kebohongan public yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri sehingga patut disesalkan tentunya.

Pada tanggal 24 April 2020., kapal Tian Yu 8 akhirnya tiba di Busan Korea. Melalui tugboat semua ABK dibawa ke imigrasi, setelah itu dipindahkan ke sebuah hotel  untuk dikarantina karena mewabahnya pandemic virus corona.

Selama di Korea menurut informasi masih ada ABK yang belum sembuh dari sakitnya. Pada tanggal 27 April 2020, salah satu ABK atas nama (EF) akhirnya juga meninggal dunia dalam perjalanan kerumah sakit yang akan merawatnya.

Begitulah kisah perjalanan ABK asal Indonesia yang menjadi budak di kapal China, sebagaimana diceritakan  kepada BBC News Indonesia. Sebagai seorang budak, mereka hanya digaji sebesar 140.000 won atau setara Rp 1,7 juta setelah 13 bulan bekerja.

Pada hal di bulan-bulan menjelang perayaan hari raya seperti ini, tentu keluarga ABK yang dirumah sangat mengharapkan kiriman hasil kerja anggota keluarganya. Tapi yang terjadi bukan kiriman uang yang diterimanya melainka kabar duka.  Keinginan untuk melihat jasad anggota keluarganya saja tidak kesampaian karena sudah di larung ketengah samudera. Betapa pilunya nasib mereka, berangkat dalam kondisi segar bugar pulangnya tinggal nama. 

Gugurnya anak anak muda harapan bangsa karena menjadi budak diatas kapal nelayan China itu mestinya menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia.  Karena hal itu menyangkut nyawa anak anak bangsa yang mestinya menjadi kewajiban negara untuk melindunginya. Bukankah tujuan pendirian negara ini untuk melindungi seluruh warga negara dan tumpah darah Indonesia ?. 

Bahkan sebenarnya bukan hanya nyawa yang wajib dilindungi oleh negara. Warga negara Indonesia berhak juga untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.Namun disadari pemerintah belum mampu sepenuhnya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. 

Ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak itu telah memaksa anak-anak bangsa terutama generasi muda yang baru lulus dengan terpaksa mengadu nasib di perusahan perusahaan asing dengan dengan segala resikonya.

Ketika kewajiban untuk menyediakan pekerjaan yang layak bagi setiap warga negara belum bisa di penuhi oleh pemerintah yang berkuasa, sekurang-kurangnya pemerintah seyogyanya harus bisa melindungi nyawa rakyatnya. Padahal kasus ABK seperti ini masih banyak, ibarat puncak gunung es, yang terlihat sekarang baru di permukaannya saja.

Mata anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentu ada untuk pembinaan dan perlindungan para pekerja rentan seperti abk kapal nelayan ini. Negara harus hadir dalam situasi sulit seperti ini. Jangan seperti pemadam kebakaran, setelah api padam pulang dan tak tahu apa yang terjadi dan menjadi nasib korban kebakaran. Kalau masih ada kasus-kasus abk dan nelayan seperti ini Menteri KKP dinilai publik ngapain saja karena belum berhasil menjalankan tugasnya sesuai amanah UU.

Namun harapan itu nampaknya hanya menjadi harapan hampa belaka.  Terbukti peristiwa perbudakan ini terus berulang seolah-olah tiada akhirnya. Ketika kasusnya lagi viral karena diberitakan dimana-mana, pemerintah seolah-olah menunjukkan kepedulian dan kesigapannya membantu para ABK yang sedang diperbudak kapal China. Namun ketika peristiwanya berlalu, sepertinya kepedulian itu juga hilang begitu saja. Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo perlu turun tangan langsung, jangan mau terima laporan asal bapak senang saja!