Tak Pernah Jadi Danjen Kopassus Tapi Pengaruh Luhut Besar, Kok Bisa?

Jakarta, law-justice.co - Banyak yang tak tahu jika Luhut Binsar Panjaitan merupakan prajurit pilihan di pasukan elite TNI AD, Kopassus.

Waktu itu, Luhut Panjaitan merupakan satu diantara prajurit Kopassandha (sekarang Kopassus) yang paling berbakat.

Baca juga : Hajar Rival Sekota, Arsenal Kian Kokoh Di Puncak Klasemen Liga Inggris

Luhut Panjaitan menjadi Komandan pertama Sat-81 Gultor, satuan khusus penanggulangan teror yang dimiliki oleh Korps Baret Merah.

Namun, Luhut tak pernah menjadi Danjen Kopassus.

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN


Pelolosan dan Kamp Tawanan, salah satu materi latihan siswa Komando TNI yang paling berat (Intisari)

Sempat mengenyam menimba ilmu dengan GSG-9 pasukan penanggulangan teror Jerman bersama Prabowo Subianto, Luhut kemudian dipercaya menjadi komandan pertama Sat-81.

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Namun siapa sangka nasib Luhut Panjaitan apes, karirnya di militer tak sebagus Prabowo Subianto yang notabene adalah wakilnya di Sat-81.

Bahkan untuk menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Luhut Panjaitan tak bisa meraihnya.

Satu diantara penyebab karir militernya seolah tersendat yakni kedekatan dirinya dengan Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani.

Luhut merupakan satu diantara orang kepercayaan Benny Moerdani, bahkan dirinya disebut sebagai Golden Boys-nya Benny.

Ini yang membuatnya dicemburui banyak senior-seniornya.


Benny Moerdani (ist).

Ketika kemudian Benny Moerdani disingkirkan oleh Soeharto, Luhut pun terkena imbasnya.

Hubungan dengan Benny Moerdani akan selalu lekat di ingatan Luhut Panjaitan.

Ada memori peristiwa yang tak bakal dilupakan.

Jenderal (Hor) (Purn) Luhut Binsar Panjaitan bicara blak-blakan soal kenangannya saat berkarier di militer.

Itu terutama hubungan dengan Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin Moerdani atau Benny Moerdani.

Luhut Panjaitan mengaku pengagum sosok Benny Moerdani.

Menurut dia, Benny Moerdani termasuk jenderal tempur TNI terbaik.


Luhut Panjaitan ziarah ke makam Jenderal TNI (Purn) Benny Moerdani di Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata, Jakarta, Senin (22/7/2019). (Facebook.com/Luhut Bincar Pandjaitan)

Hal itu diungkapkan Luhut lewat akun Facebooknya, Senin (22/7/2019).

Dia memposting foto-foto saat nyekar ke makam Benny Moerdani di Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata.

Dalam keterangan fotonya, Luhut menyebutkan dirinya sebagai golden boys Benny Moerdani, yang saat itu menjadi perwira tinggi yang disegani di institusi ABRI.

Status Luhut sebagai golden boys Benny bukanlah tanpa konsekuensi.

Banyak perwira lain atau seniornya yang menjadi iri atau tidak suka terhadap Luhut.

Pasalnya, Luhut yang kala itu masih perwira menengah sering dipanggil ke ruangan Benny Moerdiono.

Bahkan, keduanya kerap terlibat pembicaraan selama berjam-jam.

Roda kehidupan terus berputar.

Ketika Benny Moerdani pensiun dari jabatan Panglima ABRI, dan secara perlahan kekuasaannya mulai sirna, karier Luhut di militer pun mandek.

Luhut yang notabene pemimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia yaitu Datasemen 81 (Den-81) Kopassus, tak kunjung mendapat jabatan bergengsi di lingkungan TNI.

Alih-alih menjadi Danjen Kopassus, satuan tempat Luhut lama bertugas, menjadi Pangdam atau level Kepala Staf Kodam (Kasdam) pun tak pernah dirasakan Luhut.

“Tapi saya terima itu dengan besar hati.

Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam.

Bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus.

Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya,” tulis Luhut dikutip dari laman Facebooknya, Senin (22/7/2019).

Karier Luhut justru bersinar di dunia birokrat.

Ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih menjadi Presiden RI, Luhut didapuk jadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Terkini, ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman, dan dikenal sebagai orang kepercayaan Presiden Jokowi.

Bahkan, dia sempat dijuluki "menteri segala urusan" karena selalu dilibatkan Presiden Jokowi untuk urusan pemerintahan.

Berikut postingan Luhut Panjaitan di Facebook;

“Tiba-tiba Saya Teringat Pak Benny.

Suatu sore, saya tiba-tiba teringat kepada almarhum Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani, salah satu jenderal tempur TNI yang saya kagumi. Saya memang sudah beberapa waktu tidak berziarah ke makamnya.

Saya pada suatu pagi Minggu lalu memutuskan untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata.

Di pusara beliau saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup.

Kemudian saya sentuh batu nisannya. Saya baca tulisan di nisan itu, beliau meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto. Usianya 72 tahun. Relatif masih muda.

Beberapa lama saya pandang pusaranya yang sederhana, sesederhana ribuan pusara lain di TMP Kalibata yang seolah mengisyaratkan bahwa bila wafat, hanya gundukan tanah seluas 1x2 meter itulah yang tersisa.

Betapa pun kayanya seseorang, betapa berkuasanya sewaktu masih sehidup; hanya tanah itu yang menandakan bahwa ada sesosok manusia yang pernah hidup di dunia.

Almarhum Pak Benny saya kagumi sejak saya masih perwira menengah TNI-AD.

Saya mulai kenal beliau sejak saya berpangkat Mayor, sebelum saya bersama Kapten Inf. Prabowo Subianto dikirim untuk belajar mengenai pasukan anti-teror di GSG-9 di Jerman Barat.

Meski waktu itu Pak Benny berpangkat Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI, dari waktu ke waktu ia selalu minta saya berikan laporan kemajuan sekolah kami.

Ia tidak malu menelepon saya dan mengajukan pertanyaan yang mendetail.

Setelah pulang dan saya mulai memimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia yaitu Datasemen 81 (Den-81), saya sering dipanggil menghadap Pak Benny di kantornya di Jalan Sahardjo (sekarang lokasinya menjadi Balai Prajurit TNI), entah menanyakan pelatihan pasukan yang baru itu, atau lain-lain.

Dari situ saya mendapat kesan khusus mengenai betapa ia memiliki karakter yang sangat kuat.

Auranya memancarkan wibawa ditambah dengan wajahnya yang keras dan jarang tersenyum.

Saya kagum bahwa loyalitas kepada pimpinan negara dan NKRI tidak perlu dipertanyakan lagi. Setiap kata atau tindakannya mencerminkan, menurut istilah masa kini, kesetiaan yang tegak lurus ke atas.

Suatu hari sebelum saya mendapat penugasan memimpin operasi khusus mengamanan Presiden Soeharto dalam KTT ASEAN di kota Manila, Filipina, Pak Benny yang sudah jadi Panglima ABRI mengatakan dengan dingin.

“Luhut, sejak dua atau tiga tahun lalu, sudah banyak yang antre untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (sambil menunjuk foto Pak Harto di dinding) kalau terjadi sesuatu pada dirinya…Republik itu menjadi kacau…!” ujarnya dengan tegas.

“Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu..!”

Sebagai perwira saya cuma menjawab, “Siap! Laksanakan!”

Akibat sering dipanggil ke kantornya, lama-kelamaan saya jadi risih.

Kebanggaan dipanggil oleh Panglima ABRI mengecil, karena pasti banyak yang tahu, dan banyak pula senior saya yang tidak senang, mungkin juga jadi iri, seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam.

Suatu hari ketika mood Pak Benny sedang bagus, saya beranikan diri bertanya, “Pak, mohon izin, lain kalau memanggil saya bisakah melalui atasan saya?””

Saya curi pandang wajahnya, dan mukanya lalu mengeras. Kedua tangannya mulai menyapu-nyapu mejanya, dan saya menyesal kok berani-berani membuat beliau marah.

Tapi nasi sudah jadi bubur, saya pasrah.

“Luhut!”katanya dengan nada dalam. “Saya jenderal bintang empat…!”sambil menunjukkan tanda pangkatnya di bahu “..dan kamu Letkol…!

”Itu saja, dan saya sudah mengerti maksudnya.

“Siap!” jawab saya.

Sejak itu saya tidak pernah berani menanyakan lagi soal itu.

Beberapa tahun kemudian ketika Pak Benny pensiun, saya menerima konsekuensi karena jadi golden boys Pak Benny.

Tapi saya terima itu dengan besar hati.

Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya.

Beberapa tahun kemudian, Pak Benny sudah tidak punya power lagi, kecuali jabatan sebagai Menteri Hankam yang “tak bergigi” saya berpangkat Kolonel dan baru pulang dari pendidikan di NDU di Washington DC.

Saya datangi kantor beliau, dan menanyakan kepada Pak Benny, rumor yang beredar di luar bahwa beliau sudah “jauh” dari Pak Harto.

“Benar itu Luhut..!” katanya terus terang.

Ia menjelaskan bahwa Presiden Soeharto marah kepadanya, ketika dengan cara halus mencoba mengingatkan bisnis yang dijalankan oleh putera-puterinya yang sudah kelewat batas di meja bilyar; Pak Harto lalu tiba-tiba meletakkan stik bilyar dan masuk kamar. Sejak itu, Benny Moerdani tidak pernah dekat dengan Presidennya.

“Tetapi asal kamu tahu ya Luhut. Apapun sikap beliau, saya tidak pernah kehilangan kesetiaan saya kepadanya…!”

Saya ingat suatu hari tahun 1983, ketika hampir terjadi krisis keamanan yang melibatkan Prabowo, saya menyampaikan kasus itu kepada Menhankam/Pangab (waktu itu) Jenderal M. Jusuf yang juga saya kagumi.

Beliau berkata pendek, “Luhut, saya percaya kesetiaan Benny, saya tidak ragukan dia…! Karena Pangab sudah memutuskan, maka permasalahan sensitif tersebut selesai dengan sendirinya.”

Banyak pelajaraan mengenai kepemimpinan dan kemiliteran yang saya pelajari dari beliau. Dan saya akui, karena pengaruh Pak Benny itulah yang membuat saya tertarik pada masalah-masalah intelijen, diantaranya dalam memelihara jaringan (networking) dengan berbagai tokoh di dunia.

Beliau mempunyai buku alamat kecil yang sudah lusuh karena penuh dengan nama-nama tokoh penting dan nomor telepon hot-line yang ia bisa hubungi 24 jam sehari.

Kenangan manis bersama Jenderal Benny Moerdani saya tuangkan dalam biografi saya nanti. Untuk sementara saya hanya bisa katakan, Rest in Peace Jenderal Benny! Hingga hari ini saya tidak mengecewakan harapan bapak!” (Wartakota).