Yuval Noah Harari

Sebuah Dunia Pasca Corona

Jakarta, law-justice.co - Jika perusahaan dan pemerintah mulai memanen data biometrik kita secara massal, mereka dapat mengenal kita jauh lebih baik daripada diri kita sendiri. Hingga mereka tidak hanya memprediksi perasaan, tetapi juga memanipulasi perasaan.

Bisa jadi, bahkan ketika infeksi dari coronavirus turun ke nol, beberapa pemerintah yang haus data dapat berargumentasi bahwa mereka perlu mempertahankan sistem pengawasan biometrik.

Baca juga : Diduga Halangi Proses Pelanggaran Etik, Novel Laporkan Nurul Ghufron

Antara pengawasan total atau penguatan warga

Kemanusiaan menghadapi krisis global. Bisa jadi krisis terbesar dalam generasi kita. Keputusan pemerintah dan masyarakat yang diambil untuk beberapa minggu ke depan, sangat mungkin bakal menentukan keputusan di tahun-tahun mendatang.

Baca juga : Jokowi Resmi Teken UU DKJ, Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara

Keputusan tersebut akan memberi bentuk, bukan hanya tentang kesehatan kita, tetapi juga ekonomi, politik dan kebudayaan. Kita harus bertindak cepat dan meyakinkan. Sekaligus memperhitungkan konsekuensi jangka panjang akibat tindakan ini.

Jika kita memilih beberapa alternatif, kita selayaknya bertanya, bukan hanya mengatasi ancaman langsung, tetapi –lebih lagi, dunia macam apa yang bakal kita huni ketika badai berlalu. Betul, badai akan berlalu, kemanusiaan akan bertahan, sebagian besar dari kita tetap hidup –tetapi kita akan menghuni sebuah dunia yang berbeda.

Baca juga : Ogah Oposisi, PKS Harap Didatangi Prabowo & Diajak Gabung Koalisi

Banyak penyelamatan jangka pendek akan menjadi sekadar pelengkap. Sebuah tindak penyelamatan yang bersifat alamiah, yang mempercepat proses sejarah. Keputusan-keputusan yang pada masa-masa normal, bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk disahkan.

Dan kini disahkan dalam hitungan jam (misalnya pengurangan drastis jadual penerbangan pesawat, atau penutupan batas negara, pen). Teknologi yang tidak matang dan bahkan berbahaya, terpaksa digunakan, karena risiko akan lebih besar jika tidak melakukan apa pun.

Semua negara menjadi kelinci percobaan dalam sebuah eksperimen sosial berskala raksasa. Apa yang terjadi ketika semua orang bekerja dari rumah dan berkomunikasi hanya dari kejauhan? Apa yang terjadi ketika seluruh sekolah dan universitas online?

Pada masa normal, pemerintah, bisnis dan dewan pendidikan tidak akan pernah setuju untuk melakukan eksperimen semacam ini. Tapi ini, sumpah, ini bukan waktu yang normal.

Ini krisis, kita menghadapi dua pilihan penting. Yang pertama adalah antara pengawasan totalitarian dan penguatan warga. Yang kedua adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.

Pengawasan di bawah permukaan kulit

Untuk menghentikan pandemi, seluruh penduduk dunia harus mematuhi peraturan tertentu. Ada dua cara utama untuk mencapainya. Salah satu metode adalah pemerintah memonitor warga, dan menghukum mereka yang melanggar.

Hari ini, untuk pertama dalam sejarah kemanusiaan, teknologi diberi ijin untuk melakukan monitor semua orang dalam waktu yang bersamaan.

Limapuluh tahun yang lalu, bahkan KGB pun tak mungkin mengikuti warga Soviet selama 24 jam perhari, dan KGB pun tidak berharap untuk mengelola informasi secara efektif.

KGB mengandalkan agen manusia dan analis, dan itu tidak bisa menempatkan agen manusia untuk mengikuti setiap warga negara. Tetapi sekarang pemerintah dapat mengandalkan sensor di mana-mana, dan algoritme yang kuat. Menggantikan intel yang punya mata dan darah.

Dalam perjuangannya melawan wabah Coronavirus, beberapa pemerintah telah mengerahkan alat pengawasan baru. Yang paling banyak di Cina.

Dengan memonitor secara cermat telepon genggam orang, memanfaatkan ratusan juta kamera yang mengenali wajah, dan mewajibkan orang untuk memeriksa dan melaporkan suhu tubuh dan kondisi medis mereka, pihak berwenang Cina tidak hanya dapat dengan cepat mengidentifikasi tersangka pembawa virus Corona, tetapi juga melacak pergerakan mereka.

Serta mengidentifikasi siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Sejumlah aplikasi seluler memperingatkan warga tentang kedekatan mereka dengan pasien yang terinfeksi.

Teknologi semacam ini tidak dibatasi di Asia Timur. Untuk melacak keberadaan pasien Coronavirus, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini memberi wewenang kepada Badan Keamanan Israel untuk menggunakan teknologi pengawasan yang biasanya diperuntukkan bagi memerangi teroris. Ketika beberapa anggota parlemen menolak keputusan tersebut, Netanyahu menindaklanjuti sebagai ‘keputusan darurat’.

Kau bisa berargumen, bahwa tidak ada yang baru dalam perkara ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, baik pemerintah maupun perusahaan telah menggunakan lebih banyak teknologi canggih untuk melacak, memantau dan memanipulasi orang.

Dan jika kita tidak hati-hati, wabah Corona ini bakal menjadi penanda signifikan dalam memasuki “sejarah pengawasan/history of surveillance."

Bukan hanya karena hal itu akan menebarkan perangkat-perangkat pengawasan dalam negara-negara yang selama ini menolaknya. Lebih lagi karena ini akan menjadi penanda menandakan transisi dramatis dari pengawasan "di atas kulit" (seperti contoh yang dilakukan KGB di atas), ke pengawasan "di bawah kulit" (dengan misalnya golongan darah, retina mata, DNA, dan sebagainya).

Sekarang, jika ujung jarimu menyentuh layar telepon genggam dan meng-klik link tertentu, Pemerintah ingin tahu jarimu meng-klik apa. Tetapi dengan Coronavirus, pusat perhatian bergeser. Sekarang pemerintah ingin tahu berapa temperatur jarimu dan tekanan darah di bawah jarimu.

Peralatan pengawas hanya dalam situasi darurat

Salah satu persoalan yang kita hadapi ketika kita bekerja dalam sistem pengawasan adalah tak satu pun dari kita tahu bagaimana kita diawasi. Dan apa yang bakal terjadi di tahun-tahun mendatang.

Teknologi pengawasan berkembang sangat pesat, dan apa yang kita lihat sebagai scince-fiction 10 tahun yang lalu, kini sudah menjadi masa lalu. Tak ada fiksi pun yang sebelumnya bisa membayangkannya.

Sebagai eksperimen, kita bisa membayangkan jika pemerintah – untuk hipotesa, menuntut setiap warga mengenakan gelang biometrik. Gelang tersebut akan memonitor suhu tubuh dan detak jantung 24 jam sehari. Data yang dihasilkan ditimbun dan dianalisis oleh algoritme pemerintah.

Algoritme tadi akan tahu bahwa Anda sakit. Bahkan sebelum Anda menyadarinya, dan sistem algoritme ini pun tahu di mana Anda berada, dan siapa yang Anda temui. Dengan cara ini, rantai infeksi dapat diperpendek secara drastis, dan bahkan dipotong sama sekali. Sistem seperti itu bisa menghentikan pandemi dalam beberapa hari. Luar biasa, bukan?

Kelemahannya, tentu saja, hal ini bakal melegitimasi sistem pengawasan baru yang menakutkan. Jika Anda tahu, misalnya, bahwa saya mengklik tautan Fox News dan bukannya CNN, itu dapat mengajari Anda sesuatu tentang pandangan politik saya dan mungkin bahkan kepribadian saya.

Tetapi jika Anda dapat memantau apa yang terjadi pada suhu tubuh saya, tekanan darah dan detak jantung saat saya menonton klip video, Anda dapat mempelajari apa yang membuat saya tertawa, apa yang membuat saya menangis, dan apa yang membuat saya benar-benar marah.

Patut diingat bahwa kemarahan, kegembiraan, kebosanan dan cinta adalah fenomena biologis seperti demam dan batuk. Teknologi yang sama yang mengidentifikasi batuk juga bisa mengidentifikasi tawa.

Jika perusahaan dan pemerintah mulai memanen data biometrik kita secara massal, mereka dapat mengenal kita jauh lebih baik daripada diri kita sendiri. Hingga mereka tidak hanya memprediksi perasaan, tetapi juga memanipulasi perasaan.

Serta menjual apa pun yang mereka tahu kita inginkan - baik itu produk atau seorang politisi. Pemantauan biometrik ini akan membuat taktik peretasan data Cambridge Analytica, tampak seperti sesuatu dari Zaman Batu.

Bayangkan Korea Utara pada tahun 2030, ketika setiap warga negara harus mengenakan gelang biometrik 24 jam sehari. Jika Anda mendengarkan pidato Pemimpin Besar dan gelang yang Anda pakai menandakan kemarahan, Anda seketika tamat.

Anda bisa, tentu saja, menjadikan kasus pengawasan biometrik sebagai tindakan sementara dalam keadaan darurat. Dan hilang ketika situasi darurat selesai. Tetapi tindakan sementara punya kecenderungan buruk untuk diteruskan. Terutama karena selalu ada keadaan darurat baru yang mengintai di cakrawala.

Di tanah air saya, Israel, misalnya, selama Perang Kemerdekaan 1948, menyatakan dalam keadaan darurat. Serta membenarkan serangkaian tindakan sementara, mulai dari penyensoran pers dan penyitaan tanah hingga peraturan khusus untuk membuat puding (sumpah saya tidak main-main).

Perang Kemerdekaan telah lama dimenangkan, tetapi Israel tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat telah berakhir. Sekaligus gagal menghapuskan banyak tindakan “sementara” tahun 1948 (dekrit puding darurat dengan penuh belas kasih, baru dihapuskan pada tahun 2011!).

Bisa jadi, bahkan ketika infeksi dari coronavirus turun ke nol, beberapa pemerintah yang haus data dapat berargumentasi bahwa mereka perlu mempertahankan sistem pengawasan biometrik.

Alasanya bisa macam-macam, misalnya karena mereka takut gelombang kedua coronavirus, atau karena muncul gejala Ebola baru yang berkembang di Afrika tengah, atau karena apa sajalah, terserah idenya.

Selama beberapa tahun terakhir, kita telah bersitegang untuk mempertahankan privasi kita. Krisis coronavirus bisa menjadi titik kritis pertempuran. Karena ketika orang diberikan pilihan antara privasi dan kesehatan, mereka biasanya akan memilih kesehatan.

Bukan takut polisi kebersihan

Meminta orang untuk memilih antara privasi dan kesehatan, adalah akar masalahnya. Karena ini adalah pilihan yang salah. Kita dapat dan harus menikmati privasi dan kesehatan.

Kita dapat memilih untuk melindungi kesehatan kita dan menghentikan epidemi Coronavirus bukan dengan melembagakan rezim pengawasan totaliter, tetapi dengan memberdayakan warga negara.

Dalam beberapa minggu terakhir, beberapa upaya paling berhasil untuk mengatasi epidemi coronavirus dibuat oleh Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Negara-negara ini telah menggunakan beberapa aplikasi pelacakan. Tapi tetap lebih mengandalkan pengujian ekstensif, pelaporan yang jujur, dan kerjasama sukarela dari para ilmuwan.

Pemantauan yang berpusat dan hukuman keras, bukan satu-satunya cara yang membuat orang patuh. Saat masyarakat diberi pengetahuan fakta-fakta ilmiah, dan mereka percaya pada otoritas publik yang menyiarkan fakta tersebut; warga negara akan memilih hal yang benar. Bahkan tanpa Big Brother mengawasi di belakang bahu mereka.

Populasi yang memiliki motivasi diri dan informasi yang baik biasanya jauh lebih kuat dan efektif daripada populasi yang tidak dipelihara.

Pertimbangan atau usulan, mencuci tangan dengan sabun, misalnya, telah menjadi salah satu kemajuan terbesar dalam kebersihan manusia. Tindakan sederhana ini, telah menyelamatkan jutaan nyawa setiap tahun.

Dan baru pada abad ke-19 para ilmuwan menemukan pentingnya mencuci tangan dengan sabun. Sebelumnya, bahkan dokter dan perawat melanjutkan dari satu operasi bedah ke operasi berikutnya, tanpa mencuci tangan.

Hari ini miliaran orang setiap hari mencuci tangan, bukan karena mereka takut pada polisi kebersihan, tetapi karena mereka memahami fakta. Saya mencuci tangan dengan sabun karena saya mendengar sabun dapat menghilangkan virus dan bakteri yang menyebabkan penyakit.

Tetapi untuk mencapai tingkat kepatuhan dan kerja sama seperti ini, kita membutuhkan kepercayaan. Orang-orang perlu mempercayai ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media.

Selama beberapa tahun terakhir ini, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan kepada sains, otoritas publik, dan media.

Sekarang para politisi yang sama, bisa jadi tergoda untuk mengambil jalan besar menuju otoritarianisme. Alasannya kita tidak dapat mempercayai publik untuk melakukan hal yang benar.

Biasanya, kepercayaan terlanjur terkikis bertahun-tahun, tidak mungkin bisa dibangun kembali dalam semalam. Tetapi ini, waktu yang ‘luar biasa’, tidak normal. Pada saat krisis, pikiran sangat mungkin berubah dengan cepat.

Umpamanya, jika Anda yang biasanya bertengkar sengit dengan saudara kandung Anda selama bertahun-tahun, dalam keadaan darurat, Anda tiba-tiba menemukan tempat persembunyian, kepercayaan dan kasih sayang.

Anda bergegas saling membantu. Alih-alih membangun rezim pengawasan, ini pun saat yang baik untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media.

Kita harus memanfaatkan teknologi baru. Tetapi teknologi ini harus memberdayakan warga negara. Saya mendukung pemantauan suhu tubuh dan tekanan darah saya, tetapi data itu tidak boleh digunakan untuk menciptakan pemerintahan yang sangat kuat.

Sebaliknya, data itu seharusnya memungkinkan saya untuk membuat pilihan pribadi yang lebih terinformasi, dan juga meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keputusannya.

Jika saya dapat melacak kondisi medis saya 24 jam sehari, saya belajar –bukan cuma agar saya tidak berbahaya bagi kesehatan bagi orang lain, tetapi juga kebiasaan buruk yang bisa jadi berkontribusi pada kesehatan saya.

Lalu jika saya bisa mengakses dan menganalisis statistik yang dapat diandalkan tentang penyebaran coronavirus, saya akan dapat menilai apakah pemerintah mengatakan yang sebenarnya? Dan apakah pemerintah mengadopsi kebijakan yang tepat untuk memerangi epidemi.

Setiap kali orang berbicara tentang pengawasan, ingatlah bahwa teknologi pengawasan yang sama biasanya dapat digunakan tidak hanya oleh pemerintah untuk memantau individu - tetapi juga oleh individu untuk memantau pemerintah.

Wabah coronavirus adalah tes utama kewarganegaraan. Di hari-hari mendatang, kita masing-masing harus memilih untuk mempercayai data ilmiah dan pakar kesehatan, atas teori konspirasi yang tidak berdasar dan politisi yang mementingkan diri sendiri.

Jika kita gagal membuat pilihan yang tepat, kita mungkin menemukan diri kita melepaskan kebebasan kita yang paling berharga, berpikir bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga kesehatan kita.

Kita butuh rencana global

Pilihan penting kedua yang kita hadapi adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Baik epidemi itu sendiri maupun krisis ekonomi yang diakibatkannya, adalah masalah global. Mereka dapat diselesaikan secara efektif hanya dengan kerjasama global.

Yang pertama dan terutama, untuk mengalahkan virus kita perlu berbagi informasi secara global. Itulah keuntungan besar manusia dari virus. Coronavirus di Cina dan Coronavirus di AS tidak dapat bertukar tip tentang cara menginfeksi manusia.

Tetapi Cina bisa mengajarkan banyak pelajaran berharga kepada AS tentang coronavirus dan cara mengatasinya.

Apa yang ditemukan seorang dokter Italia di Milan di pagi hari mungkin bisa menyelamatkan nyawa di Teheran pada malam hari. Ketika pemerintah Inggris ragu-ragu antara beberapa kebijakan, itu bisa mendapatkan saran dari Korea yang telah menghadapi dilema yang sama sebulan lalu. Untuk ini, kita membutuhkan semangat kerja sama dan kepercayaan global.

Di hari mendatang, tampaknya kita dipaksa untuk memilih untuk mempercayai data ilmiah dan pakar kesehatan; atau teori konspirasi yang tidak berdasar serta politisi yang mementingkan diri sendiri.

Negara-negara harus bersedia berbagi informasi secara terbuka. Atau dengan rendah hati meminta saran, sekaligus percaya data dan wawasan yang mereka terima. Kita pun membutuhkan upaya global untuk memproduksi dan mendistribusikan peralatan medis, terutama peralatan penguji dan mesin pernapasan.

Ketimbang setiap negara mencoba melakukannya secara lokal, yang akhirnya menimbun peralatan apa saja yang bisa didapat, upaya global yang terkoordinasi dapat sangat mempercepat produksi. Selain kepastian bahwa peralatan tersebut mampu menyelamatkan jiwa. Yang terakhir adalah koordinasi global pun harus melakukan distribusi dengan lebih adil.

Perang manusia melawan virus corona, tampaknya mengharuskan kita "memanusiakan" jalur produksi yang penting. Negara kaya dengan sedikit kasus virus korona harus bersedia mengirim peralatan berharga ke negara miskin dengan banyak kasus.

Kembali membangun kepercayaan mendasar manusia, bahwa di kemudian hari ketika kita membutuhkan bantuan, negara lain akan mengulurkan tangan.

Sangat baik jika kita mempertimbangkan upaya global untuk mengumpulkan tenaga medis. Negara-negara yang saat ini tidak terlalu terpengaruh, dapat mengirim staf medis ke daerah-daerah yang paling parah di dunia. Baik untuk membantu, atau mendapatkan pengalaman berharga.

Jika kelak fokus epidemi berubah, bantuan bisa dilakukan dalam dua arah. Kerjasama global pun sangat dibutuhkan di bidang ekonomi.

Oleh karakter globalitas ekonomi dan jaringan pemasokan, kita tak mungkin lagi melakukannya sendiri. Jika masing-masing pemerintah melakukan sendiri dengan mengabaikan yang lain, maka akan terjadi kekacauan dan krisis yang semakin dalam.

Kita membutuhkan rencana aksi global, lebih lagi dengan cepat. Persyaratan lain adalah mencapai kesepakatan global tentang perjalanan. Menangguhkan semua perjalanan internasional selama berbulan-bulan, akan menyebabkan kesulitan yang luar biasa, dan menghambat perang melawan coronavirus.

Negara-negara perlu bekerja sama, setidaknya untuk ilmuwan, dokter, jurnalis, politisi dan pengusaha; untuk dapat melintasi perbatasan. Bisa juga, misalnya melakukan pra-penepisan wisatawan yang dilakukan oleh negara asal.

Jika kita tahu bahwa ada penyaringan yang hati-hati sebelum masuk ke pesawat, kita akan lebih lega menerimanya masuk ke negara kita sendiri.

Sayangnya, pada saat ini negara hampir tidak melakukan hal-hal ini. Kelumpuhan kolektif telah mencengkeram komunitas internasional. Sepertinya tidak ada orang dewasa dalam komunitas itu.

Kita boleh berharap, bahkan sejak berminggu yang lalu, ada pertemuan darurat para pemimpin global untuk datang mengatur rencana aksi bersama. Para pemimpin G7 berhasil mengatur konferensi video baru minggu ini, dan itu pun tidak menghasilkan rencana pascaCorona.

Dalam krisis global sebelumnya - seperti krisis keuangan 2008 dan epidemi Ebola 2014 - AS mengambil peran sebagai pemimpin global. Tetapi pemerintahan AS saat ini telah turun jabatan. Trump sangat peduli tentang kebesaran Amerika, daripada masa depan umat manusia.

Ambisinya ini telah meninggalkan sekutu terdekatnya. Ketika dia melarang semua perjalanan dari EU, Trump tidak perlu repot-repot memberikan pemberitahuan lebih lanjut kepada EU - apalagi berkonsultasi dengan EU tentang tindakan drastis itu.

Trump pun telah membuat skandal dengan menawarkan USD 1 miliar kepada perusahaan farmasi Jerman untuk membeli hak monopoli untuk vaksin Covid-19 yang baru.

Bahkan jika pemerintahan saat ini, akhirnya mengubah taktik dan muncul dengan rencana aksi global; hanya sedikit yang akan mengikuti seseorang yang tidak pernah mengambil tanggung jawab, tidak pernah mengakui kesalahan, dan yang secara rutin mengambil semua kredit untuk dirinya sendiri sambil menyerahkan semua kesalahan kepada orang lain.

Umat manusia perlu membuat pilihan. Apakah kita akan menempuh jalan perpecahan, atau akankah kita mengadopsi jalan solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tetapi mungkin akan menghasilkan bencana yang bahkan lebih buruk di masa depan.

Jika kita memilih solidaritas global, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus korona, tetapi juga terhadap semua epidemi dan krisis di masa depan yang mungkin menyerang umat manusia di abad ke-21.

(Sumber: The Financial Times, 21/3/20. Diterjemahkan oleh Lea Pamungkas)