Imam Prasodjo

Penggabungan Anak Muda Kota dan Desa Menjadikan Kekuatan Negara

law-justice.co -             Kehidupan bermasyarakat di Indonesia memiliki karakter tersendiri. Hal itu dikarenakan begitu beragamnya suku-suku yang ada di Indonesia. Namun, multi suku tersebut justru membuat Indonesia memiliki keistimewaan yang membuat bangsa lain kagum sehingga turis mancanegara menjadikan Indonesia sebagai destinasi mereka.

            Berbicara tentang karakter bangsa, Imam Budidarmawan Prasodjo seorang Sosiolog dan juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia bercerita tentang bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia dari sisi Sosiologi dan juga pengalaman-pengalamannya dalam hidup. Imam Prasodjo yang juga merupakan ketua Yayasan Nurani Dunia yaitu sebuah yayasan yang konsen terhadap bidang sosial dan pendidikan bagi kalangan yang kurang mampu dari segi ekonomi.

            Dalam ceritanya nanti ia mengungkapkan bahwa hidup yang sesungguhnya adalah hidup yang berguna bagi orang lain. Hal itu ia dapatkan justru disaat dirinya masih kanak-kanak, dari bimbingan bahkan praktek di depan mata sendiri bagaimana Imam Prasodjo begitu berbekas tentang berkehidupan sosial yang sesungguhnya. Berikut petikan wawancara Imam B. Prasodjo:

Menghabiskan masa kecil dimana Bapak?

            Saya dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1960. Jadi waktu saya kecil itu saat kondisi politik sedang peralihan antara orde lama ke orde baru. Dan Ayah saya itu dulu adalah seorang aktivis yang sering bepergian di dalam masa-masa seperti itu. Jadi waktu Ayah dan Ibu saya kuliah di Jogja lalu kemudian berkeluarga. Dari Jogja kemudian dalam situasi seperti itu, Ayah saya memutuskan untuk tinggal di desa yaitu di tempat mertuanya di desa Merben Kabupaten Banjarnegara, Banyumas. Jadi masa kecil saya itu akrab dengan ladang sawah, sungai, dan itu berlangsung sampai kelas 2, kemudian saya ke Jakarta sebentar sekitar 1 tahun dan kembali lagi sampai kelas 5 SD, lalu kembali lagi ke Jakarta karena keluarga sudah ada di Jakarta semua. Nah jadi yang lebih berkesan waktu kecil itu sebenarnya masa di desa.

            Saat SD di Jakarta, kemudian masuk SMP hanya sampai kelas 1 lalu saya ke Jogja sampai kelas 2. Saat itu saya ingin merasakan kota pelajar yang selalu diceritakan oleh orangtua saya dimana mereka selalu bernostalgia tentang kehidupan disana. Jadi saya datang ke Jogja diantar oleh Ayah saya untuk datang ke asrama dimana dia tinggal dulu. Jadi saya tinggal di asrama mahasiswa bukan asrama pelajar. Lalu setelah setahun saya kembali lagi ke Jakarta karena Ibu saya mengatakan bahwa saya terlalu kecil untuk berada di lingkungan mahasiswa. Kemudian lulus SMP di Jakarta lalu saya masuk SMA 14, Cawang. Lalu saat kelas 2 SMA, saya mencoba untuk ikut beasiswa pertukaran antar pelajar American Field Service (AFS).

            Lalu kemudian saya diterima AFS, kelas 3 saya ke Amerika lalu bersekolah di Alhambra High School, Phoenix, Arizona. Disana saya setahun lalu kembali lagi ke Indonesia padahal saya sudah mendapatkan ijazah SMA disana. Saat saya kembali ke Indonesia saya ikut lagi sekolah karena diwajibkan oleh beasiswa untuk kembali ke sekolah untuk persamaan. Di Jakarta saya lulus dengan ijazah IPA, waktu di Amerika saya jurusan bahasa. Tetapi karena segera ingin kuliah waktu itu, sorenya saya ambil kuliah program Diploma di Universitas Indonesia (UI) jurusan Bahasa Inggris. Jadi saat saya sekolah kelas 3 SMA di Jakarta pagi, sorenya saya kuliah jurusan Inggris. Jadi setelah saya tamat SMA 14 saya diterima di FISIP UI.

            Jadi saya lepas, karena dulu double kan satu tahun. Ayah saya bilang "Kamu serakah", sudah pagi kuliah di FISIP UI sorenya diploma. Itu begitu banyak orang yang ingin kuliah dapat tempat masa kamu tega mengambil dua tempat di UI, jadi saya lepas program diplomanya yaitu di Fakultas Sastra UI. Nah yaudah akhirnya fokus di FISIP UI.

Kalau begitu sosok Ayah menjadi tempat bercerita soal pendidikan?

            Ya, Ayah saya memang dominan dalam pendidikan dan Ibu saya lebih ke soal agama. Jadi yang memberikan contoh tentang kesabaran, memberikan sentuhan kasih sayang, yang lebih mendorong tentang kepedulian dengan orang lain itu sifatnya personal ya ke saudara, teman-teman dekat, teman saya yang datang ke rumah selalu dilayani, makan bersama-sama, pokoknya siapapun teman saya yang datang ke rumah itu dibuat seperti keluarga. Jadi kelihatan betul Ibu saya memberikan kasih sayang bukan kepada saya saja sebagai anak kandung, tetapi kepada teman-teman saya juga. Dan itu terbawa juga oleh saya, adik-adik saya, kakak saya, jadi sampai hari ini rumah itu tempat datang dan pergi untuk orang yang tinggal di rumah. Kalau saya sampai sekarangpun rumah saya banyak orang-orang sampai orang yang dari luar negeri. Pernah pelajar dari Inggris, Amerika, Argentina, Jepang, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang menikah disini. Jadi keluarga kami itu semua ketitipan atau selalu ada orang lain di rumah.

Apakah itu juga alasan kenapa Bapak mendirikan banyak sekolah?

            Nah, kalau itu sebenarnya karena keluarga yang di desa. Jadi semua keluarga Ibu dan ada seorang pemimpin desa yang namanya Haji Abu Masruh, dia itu carik desa. Itu yang menjadi referensi hidup saya waktu kecil, yang saya anggap sebagai orang yang berwibawa, orang yang sangat memiliki kepedulian sosial, orang yang sangat progresif. Waktu itu dia adalah orang pertama yang punya radio di kampunng, orang pertama yang punya motor, waktu itu motornya masih motor Ducati, radio, jaman-jaman dulu kan belum ada listrik jadi dia punya batu batrei. Lalu dia juga orang yang suka berpakaian rapi seperti Bung Karno. Kalau dulu kan orang-orang berpakaian seadanya, nah Pak De saya panggilnya begitu berpakaiannya sangat rapih, ganteng, necis lah. Nah dialah yang selalu mengomandoi orang-orang desa untuk mengumpulkan pasir, jadi gotong royong mengumpulkan batu, mengumpulkan genting, mengumpulkan nasi bungkus untuk gotong royong. Jadi dia membangun sekolah. membangun Masjid, membangun rumah sakit, sampai membangun kompleks perumahan Polisi, bayangkan itu tahun 60an. Nah itu adalah orang yang pertama kali melekat di hati saya, bagaimana orang yang hidup dan berguna untuk banyak orang.

            Nah, tentu orangtua saya juga dominan, apalagi Ayah saya kan bergerak di bidang sosial, dan juga Ibu saya itu adalah seorang guru. Jadi lingkungan seperti itulah yang membuat saya merasa bahwa pendidikan itu adalah sebuah investasi yang paling penting

Dalam bidang sosiologi, hal apa  yang pernah Bapak amati di dalam kehidupan masyarakat?

            Saya kan secara akademis ya tentu belajar di FISIP UI lalu lanjut di Amerika yaitu di Kansas State University, itu kan tentu pengalaman pendidikan yang langka, buat saya itu sebagai sebuah keajaiban karena bisa mendapatkan kesempatan seperti itu apalagi dari keluarga yang sangat sederhana, dapat beasiswa seperti itu kan seperti mimpi bisa mengalami itu semua. Tetapi ketika saya pulang tahun 1997 itu kan dihadapkan dengan reformasi, waktu itu sedang terjadi gejolak, hampir setiap hari ada demonstrasi mahasiswa. Nah kebetulan saat saya mahasiswa di FISIP UI kan saya Ketua Senat, jadi saya memang sudah biasa bergaul dengan mahasiswa. Jadi biasalah menjadi bagian dari gerakan.

            Jadi saat saya pulang, teman-teman yang dulu jadi pengurus senat itu kumpul lagi, ya meskipun kita sudah menjadi dosen. Jadi anak-anak yang berasal dari berbagai universitas itu pada datang dan berkumpul, sehingga setiap hari kami jadi memasak. Sampai yang bantu di rumah itu kelelahan. Itu adalah masa-masa dimana reformasi menghantar negeri ini memasuki era baru itu satu yang paling berkesan. Tetapi setelah itu dilanjutkan dengan perjalanan pengalaman.

            Waktu itu terjadi konflik dimana-mana. Sehingga saya pada tahun 1999 memberanikan diri untuk ke Pulau Buton bagaimana melihat pengungsi-pengungsi yang jumlahnya ribuan, waktu itu di Buton pengunsi itu sekitar 37.000 orang. Disitu saya pertama kali melihat orang yang hidupnya menderita, menghadapi trauma karena diusir dari kampungnya sendiri. Lalu saya ke Ambon, lalu ke Bitung. Saya masuk ke pengungsian-pengungsian lalu saya mendengar mereka yang kelaparan, kedinginan, ada yang sakit, itu trauma-trauma yang saya alami dalam melihat kejadian hidup.

Hal itu yang mendorong saya untuk melakukan sesuatu dalam hidup supaya saya itu lebih bermakna. Dan itu terus terbawa sampai ada peristiwa konflik di Aceh, terus bencana di Jogja, bencana di Nabire, Padang, bencana di Palu yang kemarin terjadi itu. Sehingga paling tidak saya merasa berdosa bila seandainya ada hal-hal begitu besar saya tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara orang lain melakukan sesuatu yang berguna.

Saat Bapak melakukan hal itu, ada juga pilihan kan melakukan kegiatan sosial dengan resiko berbahaya yang harus dihadapi. Bagaimana Bapak melihat hal tersebut?

            Ya waktu itu ini yang saya rasakan betul tahun 1999, itu kan baru 2 tahun pulang dari Amerika. Tentu bayangan saya adalah mulai meniti karir menjadi dosen di luar kelas, seminar, eh ketika saya ke Maluku impian saya yang ingin menjadi yang berguna itu berbeda sekali. Jadi saya menjadi akademisi yang aktivis, sehingga kelihatan lebih membumi dan merasa itu yang lebih pas. Ya tentu sebagai seorang dosen seminar, menghadiri diskusi itu satu yang tak terhindarkan. Tetapi saya merasa lebih hidup dan bermakna saat saya berada di lapangan untuk melakukan sesuatu atau perubahan-perubahan bersama yang lain, bersinergi, itu yang memberi makna lebih di dalam hidup.

            Namun ada juga orang yang merasa lebih dengan penelitian-penelitian, itu juga bagus dan bukan sesuatu yang buruk, itu sangat berguna karena knowledge development itu hanya mungkin melalui ketekunan-ketekunan. Tapi kalau saya lebih istilahnya organic intellectual yaitu akademisi yang melakukan langkah-langkah terapanlah. Langkah-langkah terapan itu lebih menyenangkan bagi saya.

Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan, bagaimana Bapak melihatnya dari sisi sosiologi?

            Negeri ini kan sebenarnya dihadapkan pada fenomena munculnya ketidakpuasan di dalam kehidupan. Jadi Indonesia itu kan dikatakan adalah modern nation state atau negara bangsa modern yang dibangun oleh para pendiri kita. Artinya bentuk-bentuk nasionalisme atau pemerintahan yang didasarkan kepada kerajaan atau nasionalisme kesukuan itu diupgrade atau dileburkan ke dalam bentuk-bentuk nasionalisme kewargaan atau civic nasionalism. Jadi bentuk-bentuk kerajaan yang jumlahnya banyak itu secara volunteer atau secara sukarela itu bersedia menjadi negara modern.

            Oleh karena itu, bayangkan bila saya seorang raja dan saya melucuti diri saya sendiri karena punya mimpi kita punya negara besar yang namanya Indonesia dengan kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Nah itu tentu sebuah pengorbanan ego. Seperti Sri Sultan Hamengkubuwono kan dia punya kerajaan, punya takhta disitu tapi dia memilih bergabung dengan Indonesia. Jadi bangsa ini ada istilahnya namanya nation building, bagaimana membangun rasa ke-Indonesia-an dibanding misalnya dengan rasa ke Jawa-an , rasa ke Aceh-an , rasa ke Batak-an yang masing-masing itu ada juga kerajaan-kerajaan.

            Nah, itu tentu bukan sesuatu yang mudah. Oleh karena itu nation building dibangun terus dengan sebuah mimpi pemerintahan yang mampu untuk memajukan , melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, itu cita-cita proklamasi. Pada saat perjalanan demokrasi terjadi ada orang-orang kecewa. Yang menjadi kekecewaan itu ya macam-macam, mulai dari perebutan jabatan yang kalah atau pemilu kalah, tetapi juga ada yang kecewa karena melihat ketimpangan dan mengalami ketimpangan ekonomi, mengalami ketimpangan sosial, mengalami ketimpangan budaya. Nah. orang-orang seperti ini seringkali mencari jalan alternatif. Mulai muncul ISIS, HTI, kegenitan-kegenitan lokal seperti membuat kerajaan. Kalau saya bilang itu kegenitan karena tidak mempunyai modal yang cukup, ketika ditumpas ya diam. Bukan sebuah gerakan yang serius. Beda dengan misalnya GAM, kekecewaan orang Aceh yang artinya dia punya modal. Tetapi yang kemarin itu misalnya Sunda Empire, orang Sunda-nya aja sebel melihatnya. Itu hanya gaya-gayaan saja, kegenitan saja. Mereka itu tidak mengerti konteks perjuangan dan mereka tidak mewakili lingkungannya. Bukan sebuah kekuatan politik dan bukan sebuah kekuatan aspirasi yang benar. Logika-logikanyapun aneh-aneh.

            Saya melihatnya ya mengganggu saja tetapi bukan sesuatu yang serius. Makanya saya bilang kalau seperti itu dibiarkan maka negeri ini jadi aneh. Tindak saja, makanya setelah ditindak ya selesai. Orang-orang seperti itu kan, dasar argumen ilmiahnya juga tidak ada, secara historis juga aneh, jadi hanya menunjukkan kebodohan saja kalau menurut saja. Ya media saja memberikan panggung buat mereka untuk bergenit ria.

Kemajuan teknologi niscaya akan membuat informasi juga semakin mudah. Termasuk soal hoaks, masyarakat begitu mudah terbius oleh hoaks, menurut Bapak mengapa bisa begitu? Dan adakah cara untuk menghindari hoaks?

            Ya pertama begini, era tsunami informasi dengan adanya digital. Dulu di era saya, informasi yang dominan itu adalah RRI dan TVRI, itupun cuma 1 channel kan TV itu tidak seperti sekarang. Tetapi sebenarnya itu adalah tangan kanan menyebarkan informasi adalah wartawan. Tapi di era HP dimana ada aplikasi seperti whatsapp, messenger, line, dan lain-lain, itu yang tadi awalnya orang itu menjadi pendengar atau penerima berita kini ia juga menjadi aktor atau penyebar berita. Pada saat yang sama orang itu bisa menjadi wartawan juga. Jadi bukan sekedar aktor yang meberitakan dirinya, orang lain, atau teman-temannya tetapi dia juga menjadi komentator berita. Sekarang semua orang menjadi pengamat.

            Kalau di televisi itu kan ada jurnalis citizen atau jurnalis warga, nah akhirnya bertebaran informasi yang masuk ke Handphone kita. Nah yang berbeda dengan profesi wartawan adalah wartawan asli itu punya kode etik jurnalistik. Dia punya training bagaimana cek dan ricek, wartawan sebagai profesi. Tapi kalau netizen, itu bukan profesi dan tidak memiliki kode etik yang ketat. Nah muncul itu berita-berita. Dan yang melakukan itu bukan hanya orang dewasa yang terdidik tapi juga anak-anak. Dan yang melakukan itu bukan orang yang punya tanggungjawab jurnalistik seperti jurnalistik betulan, ya sudah tidak karuan. Apalagi dalam konteks sosial politik yang kadang-kadang orang itu memberitakan karena sesuatu yang dia inginkan, bukan berdasarkan fakta tetapi berdasarkan keinginan, post truth jadinya. Yang awalnya berita khayalan terus ramai-ramai diyakini jadi berita benar.

Jadi teknologi itu bisa digunakan oleh siapa saja tetapi belum tentu digunakan dengan benar?

            Iya, makanya framing itu kata-kata framing itu sangat bermakna di era sekarang. Itu banyak sekali digunakan, orang dagang melakukan framing, dagangannya bisa dikemas, lawan politik bisa di framing juga, orang yang tidak terlalu alim menjadi alim dikesankan seperti itu. Orang koruptor diberitakan menjadi pahlawan bangsa. Jadi tergantung bagaimana dia bisa mengemas, jadi ini era kemasan. Era dimana yang saya omongkan bisa dipapar ke publik dan dicerna publik. Apalagi sekarang fenomena youtuber itu, yang memiliki follower banyak itu mengalahkan televisi. Jadi orang per orang atau keluarga per keluarga bisa menjadi production house sendiri.

Kalau menurut Bapak siapa yang paling bertanggungjawab terhadap fenomena tersebut? Apakah hanya semata-mata karena soal kemajuan teknologi?

Ya, perubahan itu kan setidaknya kalau kita mengikuti pikiran Fukuyama itu ada dorongan dari manusianya. Rasa ingin mendapatkan penghargaan itu juga bagian dari perubahan makanya ada etos kerja. Ada keinginan diakui, kenyamanan, makanya orang kerja keras untuk mendapatkan rejeki. Tetapi ada juga dari luar yang membuat orang berubah. Salah satu paling signifikan adalah teknologi. Sebelum teknologi informasi ada namanya revolusi industri. Revolusi industri itu mewabah dari Eropa. Bahan baku katun ditanam secara besar-besaran dan dipasarkan ke negara-negara berkembang. Nah itu hanya kemampuan teknologi yang bisa menggandakan produk-produk seperti itu.

            Di Indonesia misalnya dulu menggunakan cangkul atau ani-ani, sekarang cangkulnya diganti oleh traktor. Sebentar lagi juga traktornya itu akan traktor digital, pake remote sehingga tidak memerlukan orang banyak. Itu semua berubah. Yang tadinya ada istilah program padat karya sekarang semua hilang. Dengan lahan yang besar dengan menggunakan mesin semua selesai. Dulu ibu-ibu itu bisa jadi buruh harian untuk panen, sekarang panenpun sudah pakai mesin, seperti di Amerika.

            Nah, sekarang teknologi informasi. Yang tadinya saya baca koran, meskipun sekarang saya masih baca koran tapi anak saya sudah pakai HP. Yang tadinya orang menonton itu di bioskop sekarang menontonnya sudah di HP. Bahkan anak-anak milenial sudah tidak menutup TV tapi sudah menonton youtube.

Menurut Bapak, apakah masyarakat masih bisa kembali ke tradisional?

            Ya tentu tradisional dalam arti seperti dulu ya tidak mungkin, tapi ada kerinduan untuk hidup seperti dulu. Misalnya seperti Amerika yang ada gerakan seperti itu dari pusat kota ke pinggir. Juga sudah banyak anak-anak yang menjadi pecinta alam, ingin punya rumah di pinggir. Tapi ya tentu di pinggir bolehlah tapi Wifi Connected. Kalau tidak ada Wifi ya malas, kira-kira gitulah.

Ngomong-ngomong apakah Bapak sudah punya cucu?

            Belum, anak-anak saya masih kepingin kerja, jadi profesional, masih ingin seperti itu dulu.

Sekarang hobby Bapak?

            Saya sedang membuat namanya kampung ilmu. Jalur pendidikan yang ada kan secara formal dan informal. Saya lagi terpikir bagaimana dalam satu desa yang mengajar itu adalah orang-orang yang tekun di bidangnya tapi tidak selalu melalui sekolah. Misalnya disitu dia ahli apa lalu dia mengajarkan ke orang-orang sekitar paling tidak dia buat unit-unit sekolah tapi dalam satu kampung. Tapi sekolah yang formal juga dibangun lalu dikonekkan kepada unit-unit tersebut. Karena kelemahannya sekolah itu adalah kurang praktek, dan lagipula guru-gurunya bukan praktisi. Biasanya dia pintar menjelaskan teori beternak ayam tapi dia bukan praktisi ayam, jadi beda dalam mengajarkan.

            Jadi gabungan praktisi dengan guru-guru konvensional dalam satu gabung nah itu mungkin menarik, itu intinya kampung ilmu yang saya rintis.

Pesan Bapak untuk generasi muda di Indonesia?

            Generasi muda ini kan menyebar dari sudut lokasi maupun umur maupun pendidikan maupun tingkat sosial ekonominya. Jadi anak-anak muda kita ini kan berasal dari beragam latar belakang. Selama ini kan untuk saling mempelajari berbagi pengalaman, berbagi ilmu itu kan sulit sekali karena terkena sekat-sekat geografis. Tapi sekarang dengan terjadi ada dunia nyata dan dunia maya maka dengan adanya dunia maya memudahkan berinteraksi. Masuk ke WA grup yang ada berisi anaknya yang punya pabrik besar gitu kan sekarang sudah memungkinkan. Jangankan sesama Indonesia, dengan orang yang luar negeri saja bisa. Oleh karena itu anak muda ingin memperlebar wawasan, alat untuk bisa mengenal itu yang harus dilengkapi, itu dulu sebelum mengenal substansi.

            Alatnya apa? Ya bahasa. Bahasa IT, literasi digital, kalau dulu literasi kaitannya dengan baca tulis sekarang digital literacy. Anak muda bagaimana bisa bergaul kalau dia tidak mengerti bagaimana mengoperasikan internetlah misalnya yang paling sederhana. Nanti aplikasi macam-macam. Sekarang beli aja pakai aplikasi macam-macam. Itu basic anak muda yang harus didapatkan, nah sekarang anak muda yang di kota supaya tidak meninggalkan saudara-saudara kita di desa harus turun ke bawah untuk mengajarkan agar mereka tidak tertinggal digital literacy.

            Setelah alatnya didapat lalu dibangun solidaritas lintas. Lintas anak muda dari berbagai suku. Jadi harus bisa menarik  dan saling berbagi. Pengalaman saya kan anak-anak muda di kampung, mereka itu pekerja keras, mereka itu orang yang biasa hidup menderita, mandiri. Sedangkan di kota punya kelebihan pengalaman internasional, bahasa Inggris lebih baik, digital literasi lebih unggul tapi soal kerja keras belum tentu. Ketekunan dalam menjalani hidup. Jadi kalau digabung itu luar biasa, jadi sinergi terhadap anak muda, belajar sinergi itu intinya.

 

Tags: Imam Prasodjo |