Begini Kisah Perjuangan Pasien Covid-19 di Tengah Ketidakpastian

Jakarta, law-justice.co - Penapisan merupakan benteng utama melawan serangan virus corona. Berikutnya, perawatan segera sangat dibutuhkan untuk mencegah memburuknya kondisi penderita.

Ibarat perang, penapisan merupakan benteng utama melawan Covid-19, penyakit yang disebabkan virus corona baru, SARS-CoV-2. Berikutnya, perawatan segera sangat dibutuhkan agar pasien memiliki kekuatan guna melawan balik musuh tak kasat mata yang belum ditemukan obatnya ini.

Baca juga : Reuni UII, Ketua MA Baca Puisi

Namun, tepat pada dua titik itulah kelemahan utama kita menghadapi corona baru ini, membuat kita kini dihantui cemas, akan kah bisa melewati pandemi ini? Kondisi ini mengakibatkan pasien corona yang membutuhkan penanganan segera kian merana.

Kekacauan penapisan dan penanganan ini dialami oleh salah satu pasien positif Covid-19 asal Jakarta, yang kini dalam kondisi kritis dan masih dirawat secara intensif di ruang isolasi.

Baca juga : Dahsyat, Rekor 47 Tahun The Beatles Berhasil Dipecahkan Penyanyi Ini

Tujuh hari sepulang dari Singapura, lelaki berusia sekitar 50 tahun itu mulai sakit demam dan batuk. Dia berobat ke rumah sakit dan dirontgen, tetapi dokter beranggapan itu sakit flu biasa.

Penyakitnya ternyata tak juga membaik. Dia mulai khawatir, apalagi selama dua hari di Singapura akhir Februari itu, dia naik kereta dan bersesakan dengan penumpang lain.

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

Hingga akhirnya pada minggu pertama Maret 2020 dia datang ke rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 di Jakarta.

Darahnya kemudian diperiksa di laboratorium. Berbekal rontgen dari rumah sakit dan hasil tes darah, dokter yang menemuinya mengatakan, ”Negatif dan tidak ada indikasi terjangkit corona.”

Padmi (50-an tahun), bukan nama sebenarnya yang menemani temannya selama pemeriksaan itu memastikan kembali, ”Apakah boleh pulang, Dok?”

Dokter menjawab tenang, ”Boleh.” Setelah membayar Rp 190.000 untuk konsultasi dan pemeriksaan laboratorium, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan lega.

Namun, demam dan batuk yang diderita lelaki itu makin parah. Padmi kemudian mengantar temannya itu ke rumah sakit swasta, dengan bekal keterangan hasil pemeriksaan dari rumah sakit rujukan. Di sana pasien dirawat di ruang biasa, tetapi kondisinya tak juga membaik.

Setelah dua hari perawatan, kondisinya kritis. Pihak rumah sakit menghubungi Posko Tanggap Covid-19 DKI Jakarta sehingga kemudian diambil swab. Sampel pasien itu dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan saat itu juga.

”Baru pada saat itulah kami tahu bahwa tes corona ternyata harus memakai swab. Jadi, selama ini pemeriksaan rontgen dan diambil darah hanya untuk mengetahui gejala. Kenapa tidak dari awal diambil swab?” keluh Padmi.

Tiga hari kemudian, Padmi mewakili pasien menanyakan hasil pemeriksaan ke rumah sakit, dinas kesehatan, hingga Litbangkes. Namun, hingga 11 Maret itu rupanya sampel pasien belum diobservasi.

Alasannya, pasien tidak masuk daftar terduga corona yang harus segera diperiksa, tetapi hanya dikategorikan sebagai orang dengan riwayat kontak. ”Padahal, jelas-jelas teman saya dalam kondisi kritis,” ujarnya.

Baru setelah dijelaskan kondisi pasiennya, sampel kemudian diperiksa hari itu juga dan sore harinya keluar hasilnya. Lelaki itu kemudian dinyatakan positif Covid-19 dari sekitar 100 pasien positif corona di Indonesia saat itu.

”Sampai saat ini, dia masih diisolasi dan kondisinya kritis,” kata Padmi.

Informasi ini tidak hanya menjadi pukulan terhadap pasien, tetapi juga bagi Padmi. Perempuan yang mondar-mandir mendampingi pasien itu telah mengalami demam dan batuk-batuk, dan dia khawatir telah terinfeksi.

Saat itu juga dia menelepon Posko KLB Jakarta untuk diperiksa corona dan kemudian disarankan ke puskesmas terdekat.

Tidak siap menangani

Di sinilah babak baru dalam hidup Padmi dimulai. ”Saya ke puskesmas terdekat dengan kantor saya di Jakarta Pusat. Namun, apa yang terjadi, saya diperlakukan seperti orang lepra, ditempatkan di ruang belakang puskesmas, di atas got yang terbuka dan nyamuk menggigiti badan saya,” kisahnya.

Setelah hampir putus asa menanti, dokter kemudian memeriksanya dan setelahnya diperbolehkan kembali ke kantor. ”Selang 20 menit kemudian, saya dihubungi kembali agar datang ke puskesmas. Katanya mau ambil sampel,” ujar Padmi.

Saat tiba di puskesmas, sekitar pukul 15.00 WIB, dia diminta kembali ke tempat semula. ”Saya kepikiran, kalau tidak kena corona, saya bakal kena demam berdarah. Sekitar dua jam, ada orang berpakaian tertutup, mungkin dokter, melongok dari jarak 2 meter, tetapi menghilang lagi,” ujarnya.

Baru setelah empat jam menunggu, Padmi akhirnya dirujuk ke salah satu rumah sakit umum daerah (RSUD).

”Saya menunggu lagi. Akhirnya setelah pukul 21.00 WIB, setelah tidak ada kejelasan, saya pulang. Saya kelaparan. Sampai di rumah ada pesan di telepon saya dari rumah sakit, meminta maaf atas ketidaknyamanannya,” tuturnya.

Hari berikutnya, Kamis, 12 Maret, Padmi dihubungi oleh dokter puskesmas di sekitar tempat tinggalnya di Jakarta Utara. Di sana Padmi dan semua keluarga pasien yang kontak langsung diambil sampel melalui swab.

“Lega saya… ada kemajuan. Namun, setelah tiga hari, belum ada hasil pemeriksaan laboratorium. Saya tanya puskesmas tidak tahu karena yang berhak memberitahukan dinas kesehatan,” lanjutnya.

Akhirnya Padmi menelepon 112, yang kemudian justru balik mengatakan, ”Seharusnya pihak puskesmas memberitahukan hasil.” Tak hanya itu, operator di seberang juga menjelaskan, ”Jika nanti Ibu positif, kami hanya akan mengambil swab adik Ibu.”

Jawaban ini membuat Padmi tambah panik. ”Mudah-mudahan dan saya berharap negatif… kondisi saya sampai hari ini stabil dan demam mulai turun,” kisahnya.

Namun, sampai Selasa (17/3/2020) atau lima hari setelah diambil sampelnya, Padmi tak mengetahui hasilnya. Selama itu pula, dia sebisa mungkin mengisolasi diri.

”Saya menghubungi 112, 119, Posko KLB, dan Litbangkes. Saya hanya butuh kepastian karena hasilnya juga memengaruhi orang-orang di dekat saya. Saya tidak ingin menulari orang lain,” tuturnya.

Keresahan yang sama di media sosial

Ketidakpastian dan kebingungan rupanya tak hanya dialami Padmi. Di media sosial, banyak beredar kisah orang-orang yang kesulitan saat hendak memeriksakan diri terkait corona ini.

Para jurnalis yang memiliki riwayat kontak dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, yang dinyatakan positif corona, juga ditelantarkan saat hendak memeriksakan diri di satu rumah sakit di Jakarta, Minggu (15/3/2020).

Meski sudah mengisi formulir riwayat perjalanan ke daerah terinfeksi dan riwayat kontak, tak ada dokter yang memeriksa mereka sehingga kembali pulang.

Sebagian lagi yang diperiksa dipulangkan untuk isolasi mandiri sebelum keluar hasil tes pemeriksaannya dengan alasan kapasitas ruang isolasi yang terbatas.

”Saya diperiksa di UGD (unit gawat darurat) karena ada gejala demam dan batuk di rumah sakit, tetapi kemudian diminta pulang sebelum ada hasil swab karena kapasitas ruang isolasi terbatas. Diminta isolasi mandiri, saat ini radang walaupun demam turun,” kata salah seorang jurnalis itu.

Luki, bukan nama sebenarnya, wartawan stasiun televisi swasta yang juga memiliki riwayat kontak dengan Budi, bahkan turut mengikuti penjemputan anak buah kapal (ABK) Diamond Princes di Bandara Kertajati pada 1 Maret 2020.

Ia juga kesulitan memeriksakan diri. ”Saya dan reporter saya datang ke rumah sakit dan bayar Rp 690.000 untuk pemeriksaan darah dan rontgen, kemudian diberi surat keterangan sehat,” ujarnya.

Dia tahu, tes darah dan rontgen itu hanya untuk mengetahui gejala sakit secara umum, bukan untuk corona. Karen itu, dia meminta diambil swab.

”Tapi tidak bisa, antreannya panjang. Saat ini prioritas yang gejala parah. Saya dianggap sehat, tetapi saya tidak yakin apakah bebas corona. Bukankah infeksi virusnya bisa tanpa gejala?” keluhnya.

”Ini jadi seperti proyek rumah sakit saja. Kalau hanya dapat keterangan surat sehat seperti ini, harusnya cukup di puskesmas, tidak perlu di rumah sakit besar rujukan corona,” kata Luki.

Penjelasan pemerintah

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 182 tahun 2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Covid-19, terdapat 12 laboratorium yang ditunjuk dalam pemeriksaan Covid-19.

Laboratorium itu antara lain, laboratorium yang dimiliki Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Lembaga Biologi Molekuler Eijkaman, serta laboratorium kesehatan daerah DKI Jakarta.

Selain itu, ada pula empat Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) yang disiagakan yakni BBLK Jakarta, BBLK Palembang, BBLK Makasar, dan BBLK Surabaya.

Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, Selasa (17/3/2020), beberapa institusi laboratorium tersebut sudah menjalankan fungsinya.
Sejumlah spesimen yang diperiksa juga sudah ada hasilnya sehingga dapat memperpendek waktu pengiriman spesimen dari rumah sakit ke laboratorium.

Meski begitu, konfirmasi hasil pemeriksaan pada kasus positif Covid-19 tetap harus dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.

“Laboratorium Universitas Airlangga sudah melaksanakan fungsinya dan sudah mengirimkan spesimen yang diperiksa dan sudah ada hasilkan. Tidak lama lagi juga akan diakukan di Lembaga Eijkman dan diharapkan setidaknya minggu depan sudah dilaksanakan di banyak tempat lain,” ucapnya.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sudah ada lebih dari 2.300 spesimen yang diperiksa terkait Covid-19. Dari jumlah itu, total kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 berjumlah 172 orang.

Kasus tersebut tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Adapun kasus kematian yang dilaporkan sebanyak lima orang dan kasus yang dinyatakan sembuh sebanyak sembilan orang.

“Untuk kebutuhan alat (pemeriksaan) sendiri, untuk kit-nya sudah kita terima 10.000 alat dan akan ditambahkan. Artinya dinamika akan terus berjalan. Kit harus dibeli dan tidak ada masalah karena penyedia dan distributor tidak sulit memberikan jumlah yang kita inginkan,” kata Yuri.

Ia menambahkan, kapasitas rumah sakit untuk perawatan kasus Covid-19 juga ditambah. Selain 132 rumah sakit rujukan nasional yang ditunjuk, disiagakan pula 109 rumah sakit miliki TNI, 53 rumah sakit milik Polri, serta 65 rumah sakit miliki BUMN untuk merawat pasien Covid-19.

Pemeriksaan masif

Ahli epidemologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, pemeriksaan yang masif merupakan kunci untuk mencegah meluasnya sebaran virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19. Penapisan yang masif juga dibutuhkan untuk mencegah keterlambatan penanganan pasien.

Hal itu disebabkan virus ini berbeda dengan influenza yang bisa sembuh dengan sendirinya, tetapi perlu penanganan sejak awal infeksi agar pasien tidak mengalami titik kritis, yaitu saat virus corona baru ini mencapai organ paru-paru.

”Angka kematian sekitar 3 persen itu dengan catatan pasien ditangani dengan baik. Kalau pelayanan rumah sakit di Indonesia seperti ini, tingkat kematian kita akan sangat membesar,” ujar Pandu.

Hal itu juga terjadi di Italia, yang pada Senin (16/3/2020) telah memiliki 27.980 kasus infeksi dan total kematian 2.158 orang. Pada hari itu saja, 349 orang meninggal dan kasus baru 3.233, sedangkan angka kematian rata-ratanya 7,7 persen.

Direktur Departemen Penyakit Menular di Peking University First Hospital Wang Guiqiang, seperti dikutip kantor berita China, Xinhua, mengatakan, ”Ada kesalahpahaman bahwa Covid-19 adalah penyakit yang sembuh sendiri sehingga tidak memerlukan pengobatan. Ini jelas keliru.”

Kita telah kehilangan waktu karena selama Januari hingga Februari melonggarkan kesiapsiagaan dengan berbagai narasi keliru, seperti kita akan aman karena doa, kebal, hingga meremehkan tingkat kematian wabah ini yang dianggap kecil. Akibatnya, ketika negara lain menutup pintu masuk, Indonesia justru promosi wisata.

Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo dan pelibatan laboratorium lain, seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, diharapkan mengatasi ketertinggalan itu.

Jika kondisi itu tidak segera diperbaiki, pilihan Indonesia ke depan dikhawatirkan tinggal dua: kita harus melaksanakan penutupan area dan akses penduduk atau lockdown dengan persiapan dan menanggung segala konsekuensinya atau lockdown karena benar-benar lumpuh. (Kompas)