Sebut Defisit 12,2 T Sebagai Kerugian Negara, KPK Usut BPJS Kesehatan?

Jakarta, law-justice.co - KPK melakukan kajian terkait BPJS Kesehatan dan menemukan defisit Rp 12,2 triliun pada tahun 2018. KPK menilai defisit BPJS Kesehatan itu merupakan kerugian negara.

"Apakah defisit menyangkut juga potensi kerugian negara? Iya jelas, karena iuran BPJS itu menggunakan mengumpulkan uang rakyat dengan regulasi peraturan perundang-undangan UU Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kemudian penggunaannya adalah penggunaan dalam perspektif uang publik," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (13/2/2020).

Baca juga : KPSI: Ada 50.000 Buruh akan Rayakan May Day Fiesta di Istana Negara

Ghufron mengatakan KPK kini concern mengawal adanya defisit BPJS Kesehatan senilai Rp 12,2 triliun itu. Menurutnya, KPK juga melakukan kajian dan analisa terkait dengan penyebab terjadinya defisit tersebut.

"Karena Rp 12,2 triliun itu tidak tercover toh nanti akhirnya juga minta ke APBN, dalam kerangka itu KPK mengawal apakah ini benar kurang, jangan-jangan kurangnya karena inefisien dalam proses pelaksanaan pemberian jaminan kesehatannya, karena tidak terverifikasi pesertanya, kemudian overpayment atau fraud di lapangan," ucapnya.

Baca juga : Anies : Yang Tidak Dapat Amanah Konstitusi Berada di Luar Kabinet

Untuk itu, Ghufron mengatakan KPK akan mengawal dan mendorong pemerintah melakukan perbaik-baikan terkait mekanisme BPJS Kesehatan. Sebab, Ia menilai bila dibiarkan akan menimbulkan kerugian negara.

"Artinya hal itu adalah bagian dari mekanisme yang perlu diperbaiki. Kalau tidak diperbaiki tentu efeknya pada kerugian negara," tuturnya.

Baca juga : Bank BNI Buka Lowongan Kerja 2024 Terbaru, Begini Syaratnya

Sebelumnya, KPK merilis hasil kajianya mengenai persoalan dana BPJS Kesehatan. KPK menemukan adanya persoalan defisit dana yang diprediksi semakin meningkat.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebut berdasarkan temuan KPK pada tahun 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp 12,2 triliun. Menurutnya, defisit itu disebabkan oleh sejumlah peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) yang mengunakan layanan jaminan kesehatan nasional (JKN) menunggak iuran BPJS Kesehatan.

"Permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU). Sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran. Pada tahun 2018, total defisit JKN mencapai Rp12,2 trilliun. Jumlah tersebut disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp 5,6 triliun atau sekitar 45%," ujarnya.

Selain itu, Pahala mengatakan pada masih terjadi overpayment atau membayar lebih banyak dari yang semestinya. Sebab, menurutnya masih ada kelas rumah sakit yang tidak sesuai ploting pada tahun 2018.

"4 dari 6 rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya. Akibatnya, terdapat overpayment sebesar Rp 33 miliar/tahun," sebutnya.

Untuk itu, Pahala mengatakan KPK mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi masalah defisit dana BPJS Kesehatan itu. Menurutnya, sejumlah opsi bisa dilakukan untuk mengatasi defisit itu tak hanya dengan menaikan iuran dana BPJS Kesehatan.

"KPK melakukan kajian khusus, opsi-opsi apa yang bisa diambil untuk menutup defisit selain iuran. Waktu itu kita diskusikan kita percaya masih ada opsi lain yang bisa diambil secara struktural bisa mengurangi defisit. Sebagai besar ini ditingkat kebijakan," ujarnya.(detikcom)