law-justice.co - Permintaan ganti rugi dalam suatu kasus pidana dimungkinkan dalam sebuah proses hukum. Seperti kasus hukum pencemaran nama baik, pengrusakan, penganiayaan yang mengakibatkan luka, dan lain-lain.
Dan permintaan ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;
1) Melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2) Melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3. Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi. Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7 ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008. Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008).
Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK.
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas pemohon;
b. uraian tentang tindak pidana;
c. identitas pelaku tindak pidana;
d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk Restitusi yang diminta.
Permohonan Restitusi harus dilampiri:
a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan;
d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;
f. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan
g. surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.
Jika permohonan Restitusi di mana perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka permohonan Restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.
Apabila permohonan tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap maka akan ada pemeriksaan substantif dan hasil pemeriksaan tersebut ditetapkan dengan Keputusan LPSK beserta pertimbangannya yang disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Apabila permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan yang berwenang.
Setelah LPSK mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima;
Pengadilan setelah memeriksa mengeluarkan penetapan yang disampaikan ke LPSK dan LPSK wajib menyampaikan salinan penetapan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.
Apabila permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Penuntut umum kemudian dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
Putusan Pengadilan yang dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan;
LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga wajib melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima;
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi kepada pengadilan dan LPSK dan LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan.
Setelah proses tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman pengadilan.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4. Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi
Sumber: hukumonline.com