Rusia Krisis Bayi, Putin Beri Rp100 Juta Bagi Warganya yang Hamil

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah Rusia menggelontorkan dana sebesar USD 6,5 miliar (Rp 89 triliun) untuk menggenjot tingkat kelahiran di negaranya.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, pertumbuhan penduduk alami sangat penting bagi masa depan Negeri Beruang Merah tersebut.

Baca juga : Amerika Umumkan Bantuan Militer Hampir Rp100 T untuk Ukraina

“Nasib Rusia dan prospek bersejarahnya bergantung pada berapa banyak jumlah kita,” kata Putin, dalam pidato negara bangsa di depan para elit politik Rusia seperti melansir mercinews.com.

Rusia mengalami penurunan angka kelahiran karena generasi yang menjadi orangtua saat ini lahir pada 1990-an. Angka kelahiran turun secara drastis karena ketidakpastian ekonomi.

Baca juga : Gempar Serangan di Iran, Rusia Sampaikan Pesan Khusus ke Israel

Dia menyatakan situasi demografis sangat sulit. Putin mengusulkan dana untuk keluarga berpendapatan rendah dengan anak kecil, tunjangan untuk para ibu pertama, dana lebih besar untuk keluarga dengan lebih banyak anak dan menciptakan lebih banyak tempat untuk penampungan anak.

“Tugas historis kita adalah merespon tantangan ini,” ungkap Putin.

Baca juga : Ukraina Kehabisan Rudal untuk Tangkal Serangan Rusia

Dia menyebut, kemiskinan membuat orang tidak ingin memiliki keturunan. Untuk itu ia menawarkan insentif keuangan baru untuk meningkatkan angka kelahiran.

Dia berjanji memberikan uang sekitar USD 7.600 (Rp 103 juta) kepada semua perempuan yang melahirkan. Sebelumnya, dana tersebut hanya diberikan sekali kepada keluarga dengan dua anak.

“Nasib dan prospek sejarah Rusia tergantung pada seberapa banyak kita di sana. Itu tergantung pada berapa banyak anak yang lahir di keluarga Rusia dalam satu tahun, lima, 10 tahun, dan menjadi apa mereka saat tumbuh nanti,” tambah Putin.

Populasi Rusia turun dramatis pada 1990-an saat ekonomi dan kondisi sosial sulit setelah runtuhnya Uni Soviet. Putin telah menghadapi berbagai masalah demografi sejak dia menjadi presiden pada 2000.

Upaya sebelumnya dalam memperbaiki situasi itu tidak berhasil. Para ekonom khawatir tentang apa dampaknya memiliki tenaga kerja lebih sedikit bagi ekonomi.