Analisis Aspek Hukum Pembobolan Dana Nasabah Bank BTN

Jakarta, law-justice.co - Kehidupan perekonomian global pada saat ini erat kaitannya dengan berbagai bentuk transaksi di dunia perbankan. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan bank sebagai badan hukum yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Sebagaimana bidang usaha pada umumnya, usaha dibidang perbankan juga tidak pernah sunyi dari tindak kejahatan yang merugikan pihak lainnya. Saat ini kasus kejahatan perbankan yang sedang hangat dibicarakan menimpa Bank Tabungan Negara (BTN). Sebagaimana yang sudah ramai diberitakan, telah terjadi pembobolan dana nasabah bank BTN  yang mencapai Rp 250 miliar.

Baca juga : Bank BTN Usul KPR Subsidi Buat Orang Bergaji Rp 8 Juta-Rp 15 Juta

Dana yang dibobol adalah milik empat perusahaan, antara lain PT Surya Artha Nusantara (SAN) Finance, PT Asuransi Jiwa Mega Indonesia (AJMI), PT Asuransi Umum Mega (AUM) dan PT Global Index Investindo. Pembobolan terjadi di beberapa kantor cabang BTN pada tahun 2016 silam.

Kasus itu berawal saat salah satu perusahaan tersebut akan mencairkan dana namun pihak BTN mengkonfirmasi penempatan deposito dana tidak terdaftar. Pihak BTN selanjutnya memberitahukan dana tersebut terdaftar sebagai nasabah rekeningn giro dan sudah dilakukan penarikan dana. Pelaku diduga menjalankan modus mengajukan penawaran menempatkan dana pada BTN dengan bunga sesuai pasaran kepada korban.

Baca juga : RUPST Bank BTN, Direktur Bertambah, Eks Wadirut BNI jadi Komisaris

Jadi modusnya adalah menghimpun dana dari nasabah atau investor dengan melibatkan orang luar yang saat beraksi akan mengaku sebagai tenaga marketing bank. Saat bertemu calon nasabah, mereka akan didampingi oknum pejabat kantor kas atau cabang tempat menampung dana jika kelak para calon nasabah tersebut setuju untuk berinvestasi di bank. Saat menjalankan aksinya, orang-orang suruhan ini ‘didandani’ sedemikan rupa seolah karyawan resmi BTN sehingga dapat meyakinkan calon nasabah.

Setelah disetujui, korban melengkapi syarat administrasi dan menempatkan dana melalui pejabat BTN berinisial DP dan BM. Selanjutnya, oknum pegawai internal BTN mengganti dokumen pembukaan rekening dan memasukkan nomor konfirmasi yang dikuasai pelaku untuk membuka rekening di BTN tanpa sepengetahuan korban. Oknum pegawai BTN juga meminta korban mengirimkan dana ke rekening penampungan atas nama perusahaan korban.

Baca juga : Hasil RUPST Bank BTN, Komisaris "Orang Dalam" Istana Diganti

Melibatkan Orang Dalam

Salah satu alasan kenapa Tiongkok membangun tembok yang banyak dikenal sebagai “Tembok Cina” sepanjang puluhan kilometer adalah untuk melindungi wilayah kekaisaran mereka dari serangan bangsa nomad di Utara. Upaya itu awalnya berhasil, sampai akhirnya pertahanan mereka runtuh juga setelah adanya ‘orang dalam’ yang merusaknya.

Seperti halnya tembok China, dunia perbankan juga runtuh karena adanya orang dalam yang melakukan kejahatan perbankan sehingga merugikan bank sendiri maupun nasabahnya. Hal ini pula rupanya yang terjadi pada kasus bank BTN dimana bank ini dibobol oleh orang dalam yang menjadi pegawainya. Sebagaimana dinyatakan oleh OJK Watch mustahil proses pembobolan ini dilakukan hanya oleh karyawan biasa tanpa sepengetahuan atasannya.

Kejahatan ini pasti melibatkan jaringan terstruktur dimana pemainnya terbilang kakap. Mereka memiliki jaringan di dalam bank yang merupakan para pejabat yang dapat mengekesekusi sebuah produk perbankan. Komplotan ini juga berjejaring dengan orang-orang di dalam perusahaan calon nasabah bank, lewat direktur keuangan sebagai penyedia dana yang kemudian sebagian digelapkan.

Karena itu sulit untuk meyakini bahwa kejahatan ini hanya melibatkan oknum bank setingkat kepala kantor kas. Sebagaimana diketahui, saat ini pejabat tertinggi yang resmi dinyatakan bersalah baru setingkat kepala kantor kas BTN di Cikeas, Bambang Soeparno. Dalam Putusan PN Jakarta Selatan No. 483/Pid.Sus/2017, Bambang resmi diputus bersalah karena melakukan tindak pidana pencucian uang dan divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Selain melibatkan Bambang Soeparno yang menjadi Kepala Kantor kas BTN di Cikeas, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Rikwanto, kasus ini juga menyeret Kepala kantor BTN Cabang Enggano, Jakarta Utara yang berinisial DB. Pelaku yang inisial DB ini  juga sudah diputus pidana selama 8 tahun.Polisi telah menangkap kedua oknum pejabat BTN itu berdasarkan laporan dari manajemen perusahaan bank milik pemerintah tersebut terkait dugaan penggelapan dalam jabatan, penipuan dan atau pencucian uang pada 21 November 2016.

Apa yang dilakukan oleh jajaran internal bank BTN yang menggasak uang nasabahnya tersebut didunia perbankan dikenal dengan istilah  fraud.  Fraud sendiri menurut Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.13/28/DPNP, didefinisikan sebagai tindakan penyimpangan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi bank atau nasabah yang dilakukan di lingkungan bank dan/atau menggunakan sarana bank yang mengakibatkan nasabah atau pihak lain menderita kerugian dan pelaku fraud mendapatkan keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan adanya praktek Fraud ini maka sekuat-kuatnya perlindungan dan pencegahan yang dilakukan akan percuma ketika ada penyelewengan dari internal lembaga itu sendiri. Disini siapapun bisa menjadi pelaku fraud tanpa terkecuali pegawai bank itu sendiri. Bahkan, tak jarang ternyata pelaku fraud itu ternyata ada di berbagai lapisan jabatan di bank mulai dari staf biasa hingga direktur utama suatu bank. Ketika sudah ada kerjasama dengan orang dalam, ini akan sulit dan jadi resiko yang besar.

Catatan OJK  beberapa tahun lalu  menunjukkan bahwa pelaku fraud terbanyak justru dilakukan oleh direksi yang jumlahnya mencapai 31 orang dan meningkat menjadi 35 orang di tahun 2015. Jelang akhir tahun 2016, tren serupa kembali terulang. Triwulan III Tahun 2016, tercatat sudah ada 14 direksi yang melakukan fraud lalu menyusul terbanyak kedua dilakukan oleh pejabat eksektif perbankan sebanyak 13 orang. Kondisi seperti itu cukup menyulitkan terutama bagi unit khusus pencegahan dan penanganan anti fraud di internal perbankan, ketika akan melakukan suatu tindakan.

Memahami Jenis Tindak Pidana di dunia Perbankan

Sebelum menganalisis tentang aspek hukum kejahatan pembobolan dana nasabah di bank BTN, ada baiknya dipahami lebih dahulu ruang lingkup jenis tindak pidana yang terjadi di dunia perbankan. Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa  jenis tindak pidana di dunia perbankan itu selalu berkaitan dengan  4 hal :

  1. Perizinan (tindak pidana bank gelap)
  2. Rahasia bank
  3. Usaha bank
  4. Pengawasan dan Pembinaan bank

Terkait dengan empat hal tersebut maka hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, yang dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundang-undangan yang memuat hukuman yang dapat dijatuhi atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang bersangkutan bukan perbuatan yang dikenai hukuman.

1. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perizinan Bank

Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait dengan kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh suatu pihak, setelah pihak yang bersangkutan memperoleh izin usaha sebagai bank.

Praktek bank tanpa izin ini dikenal dengan sebutan “bank gelap”, selain istilah tersebut juga dikenal istilah “bank dalam bank”, yaitu praktek bank gelap yang dilakukan dalam suatu bank yang telah mendapat izin. Bank gelap adalah usaha yang dilakukan oleh suatu badan atau perorangan yang menarik dana dari masyarakat untuk selanjutnya disalurkan kembali ke dalam masyarakat dalam bentuk kredit tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia, yang kini telah beralih ke Lembaga OJK.

Di samping itu usaha bank gelap akan memberikan dampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat kepada bank yang sah, atau dengan kata lain dapat menghambat usaha bank mindedness dari masyarakat.

Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan : “Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah)”.

Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan : “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, Perserikatan, Yayasan atau Koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya”.

Kesalahan dalam tindak pidana perizinan bank dilakukan dengan cara menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan seperti giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia, baik karena sengaja maupun lalai, yang apabila terbukti akan dikenakan pasal ini.

Seseorang harus memiliki kemampuan bertanggungjawab agar dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam Pasal 46 ayat (1) dan (2) sudah jelas dikatakan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya tindak pidana bank gelap.

Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah dilakukan oleh agen-agennya, yang dikenal dengan istilah “actus reus”, artinya perbuatan dilakukan harus di dalam ruang lingkup kekuasaanya, yang dengan kata lain menjalankan tugas itu dalam cakupan tugas korporasi. Unsur yang lain ialah bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja (mens rea) dan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang cakap jiwa atau mentalnya.

Dalam jenis tindak pidana perizinan bank, apabila dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, Perserikatan, Yayasan atau Koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.

Pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan teori zweckvermogen dan ihering karena kegagalannya dalam melaksanakan perizinan bank.Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut UU atau yang disebut strict responsibility, apalagi jika korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin itu.

Terhadap kasus yang terjadi dalam tindak pidana perizinan bank, korporasi yang dalam hal ini adalah bank tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sebagaimana doktrin strict responsibility maupun vicarious responsibility, karena bank tidak mendapat keuntungan dari perbuatan yang dilakukan oleh pengurus ataupun pegawai bank, dan bank yang tidak memiliki izin berarti tidak dapat dikatakan sebagai badan hukum. Pengurus bertindak diluar kewenangannya, sehingga mereka patut untuk dimintai pertanggungjawaban sebagaimana doktrin ultra vires. Dalam tindak pidana ini, justru bank merupakan korban dari perbuatan pengurus ataupun pegawai.

Terhadap pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana perizinan bank berlaku dua bentuk pertanggungjawaban pidana yakni pengurus berbuat pengurus bertanggungjawab serta korporasi berbuat pengurus bertanggungjawab.

Kesimpulannya, sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat 1 dan 2 sudah jelas dikatakan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya tindak pidana bank gelap, yaitu pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana tanpa izin dari pihak yang berwenang serta terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.

2. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Rahasia Bank

Pengaturan tentang rahasia bank dalam Undang-Undang Perbankan dijabarkan dalam Pasal 1 angka (28) yang menyatakan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa secara normatif dalam Undang-Undang Perbankan tidak hanya diatur tentang subjek atau identitas nasabah penyimpan yang dilindungi, akan tetapi segala yang terkait dengan simpanan nasabah.

Menurut Penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbankan bahwa : “Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitor, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan”.

Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah/ Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, kewajiban bank untuk merahasiakan segala keterangan mengenai penyimpanan dan simpanan nasabah, tidak berlaku untuk hal-hal :

  1. Kepentingan perpajakan;
  2. Penyelesaian piutang bank melalui BUPLN/ PUPN;
  3. Kepentingan dalam perkara pidana;
  4. Kepentingan dalam perkara perdata;
  5. Tukar-menukar informasi antarbank;
  6. Kepentingan pihak lain yang ditunjuk nasabah;
  7. Keterangan atas persetujuan nasabah penyimpan; dan
  8. Kepentingan penyelesaian kewarisan.

Kejahatan rahasia bank adalah perbuatan memberikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya secara melawan hukum atau tanpa persetujuan nasabah penyimpan yang bersangkutan. Tindak pidana rahasia bank dapat terjadi karena paksaan pihak ketiga atau karena kesengajaan anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya.

Kesengajaan pihak bank yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Perbankan bahwa : “Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama empat tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4 Miliar dan paling banyak Rp. 8 Miliar”.

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A Undang-Undang Perbankan, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama tujuh tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4 Miliar dan paling banyak Rp. 15 Miliar.

Pasal 47A dan 48 Undang-Undang Perbankan, subjek hukumnya adalah internal bank, yang terdiri dari anggota dewan komisaris, direksi, dan pegawai bank. Pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan teori zweckvermogen dan ihering karena kegagalannya dalam menerapkan prinsip kerahasiaan bank yang dapat merugikan banyak pihak termasuk bank itu sendiri karena tidak lagi dipercayai masyarakat.

Terhadap kasus tindak pidana rahasia bank, pengurus bertindak di dalam kewenangannya akan tetapi menyalahi aturan yang ada atau diluar batas kewenangannya. Dalam tindak pidana rahasia bank, korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena dalam hal ini bank merupakan korban dari perbuatan pengurus ataupun pegawai.

Sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengurus menurut kewenangannya berdasarkan anggaran dasar badan hukum tersebut, maka dalam hal ini pertanggungjawaban pidana itu diidentikkan dengan apa yang diatur dalam hukum perdata, khususnya tentang perbuatan “intra vires” dan “ultra vires”.

Berarti terhadap tindak pidana rahasia bank berlaku bentuk pertanggungjawaban pidana yang sama dengan tindak pidana perizinan bank yakni pengurus yang berbuat pengurus yang bertanggungjawab, meskipun korporasi terkait dengan tindak pidana ini, maka tetap pengurus yang bersangkutan lah yang bertanggungjawab.

Kesimpulannya, pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika terjadi tindak pidana terkait rahasia bank, antara lain dewan komisaris, direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi atau lainnya yang dengan sengaja melakukan tindak pidana terkait rahasia bank, sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 ayat 1 dan 2 serta Pasal 47A Undang-Undang Perbankan.

3. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Usaha Bank

Usaha bank adalah jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh bank guna menjalankan perusahaannya. Selain menghimpun dana yang diperoleh dari masyarakat, bank juga berfungsi untuk menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

Menurut Pasal 49 Undang-Undang Perbankan, pertanggungjawaban pidana atas terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank dapat dijatuhkan kepada anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana tersebut.

Pemberian kredit merupakan salah satu bentuk usaha bank yang dapat disalahgunakan oleh berbagai pihak yang dapat menimbulkan kerugian baik kepada orang lain, bank, maupun Negara, maka dari itu tidak mutlak harus Undang-Undang Perbankan yang dapat dikenakan bagi pelaku tindak pidana usaha bank, Undang-Undang Korupsi maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dapat diterapkan terhadap pelaku, selagi unsur-unsurnya terpenuhi.

Ajaran strict responsibility dapat diterapkan dalam dunia perbankan di Indonesia. Bank sebagai korporasi memiliki pertanggungjawaban pidana atas kegiatan pemberian kredit yang dilakukan oleh bankirnya apabila kegiatan pemberian kredit tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, dianalisis sesuai dengan prinsip kehati-hatian, dimaksudkan semata-mata untuk kepentingan bank tersebut.

Bankir tidak mempergunakan penyaluran fasilitas kredit untuk keuntungan diri sendiri, dan bankir dimaksud dalam menganalisis telah bertindak profesional dan telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Untuk tindakan yang demikian ini, yang bertanggungjawab adalah bank sebagai korporasi, dan apabila oleh putusan pengadilan dikenakan hukuman berupa hukuman pidana denda, yang harus membayar tentunya adalah institusi bank itu sendiri, bukan pribadi bankir.

Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan langsung, status, dan/ atau otorita tertentu dari suatu korporasi. Hal yang diidentifikasi adalah perbuatan, pelaku, pertanggungjawaban, serta kesalahan korporasinya.

Dalam hal ini korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena korporasi tidak mendapat keuntungan dari perbuatan yang telah dilakukan pelaku kejahatan usaha bank yang merupakan organ dari korporasi tersebut.

Kesimpulannya, sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Perbankan, pertanggungjawaban pidana atas terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank dapat dijatuhkan kepada anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana tersebut. Bentuk pertanggungjawaban yang berlaku pada tindak pidana usaha bank adalah sama dengan konsep pertanggungjawaban pada kedua tindak pidana sebelumnya yakni pengurus berbuat pengurus yang bertanggungjawab, serta bank berbuat melakukan tindak pidana maka pengurus yang bertanggungjawab.

4. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Pembinaan dan Pengawasan bank

Bank dalam menjalankan tugasnya adalah berdasarkan kepercayaan masyarakat. Masyarakat percaya bahwa uang yang disimpan di bank selalu aman. Sebaliknya, bank yang diberi kepercayaan masyarakat perlu selalu menjaga kesehatan dirinya agar kepercayaan itu terus terpelihara. Untuk itu, diperlukan adanya pembinaan dan pengawasan terhadap bank.

Undang-Undang Perbankan membedakan secara jelas yang dimaksud pembinaan dan pengawasan bank. Pembinaan menitikberatkan pada atau diartikan dengan regulation, sedangkan pengawasan menitikberatkan pada atau diartikan dengan supervision.

Dalam perkembangannya, menyangkut tugas pengawasan bank selanjutnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen (Otoritas Jasa Keuangan), tetapi tetap ada keterkaitan dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Keterkaitan antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan terdapat dalam hal pengawasan bank. OJK melakukan pengawasan bank secara mikroprudensial dan Bank Indonesia melakukan pengawasan secara makroprudensial. Pengawasan bank secara makroprudensial dan mikroprudensial tidak dapat dipisahkan dan terkait satu sama lain.

Dalam rangka melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank, Bank Indonesia menetapkan peraturan tentang pengawasan bank, pelaksanaan pengawasan bank, dan pengenaan sanksi terhadap bank sesuai dengan Undang-Undang Perbankan. Dalam melakukan pengawasan, Bank Indonesia berhak memperoleh informasi dan keterangan yang dibutuhkan dari bank, dan bank wajib memenuhinya. Apabila bank sengaja tidak memberikan keterangan yang dibutuhkan, berarti telah melakukan kejahatan dan diancam dengan sanksi pidana.

Adapun bentuk kesalahan yang ditimbulkan dalam tindak pidana pembinaan dan pengawasan bank, menurut Undang-Undang Perbankan, yakni dengan sengaja;

  1. Tidak memberikan segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
  2. Tidak memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan;
  3. Tidak menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/ rugi tahunan serta penjelasannya serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
  4. Tidak dilakukannya audit oleh akuntan publik terhadap Neraca serta perhitungan laba/ rugi tahunan

Menurut Undang-Undang Bank Indonesia :

  1. Tidak melaksanakan kewajiban;
  2. Dalam menyelenggarakan survei, yang wajib memberikan keterangan dan data yang diperlukan oleh Bank Indonesia.

 Menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, dengan sengaja;

  1. Mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK;
  2. Terhadap pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan.

Kesimpulannya, untuk tindak pidana pembinaan dan pengawasan bank, berlaku bentuk pertanggungjawaban pidana pengurus yang berbuat pengurus yang bertanggungjawab, serta bank yang memiliki kesalahan maka bank yang dimintai pertanggungjawaban.

Menurut Undang-Undang Perbankan, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pembinaan dan pengawasan bank adalah anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank. Menurut Undang-Undang Bank Indonesia, badan/ korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, setiap orang dan/atau korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK dalam melakukan pengawasan dan tindakan lain.

Konstruksi Hukum Kasus BTN

Berdasarkan ruang lingkup tindak pidana bidang perbankan tersebut diatas maka kasus yang terjadi di BTN lebih dekat pada tindak pidana bidang kerahasiaan dan pengawasan bank.  Sebab yang paling utama  harus diwujudkan dari suatu bank adalah keamanan yang dapat dicapai dengan menerapkan prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Prinsip kehati-hatian inilah yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh setiap pekerja di bidang perbankan, mulai dari dewan komisaris, direksi, hingga pegawai bank.

Dalam menjalankan tugasnya, para pekerja di bidang perbankan memiliki wewenang dan tanggung jawab yang besar dalam mengelola dana masyarakat. Hal ini sejalan dengan akses yang dimiliki bankir terhadap dana nasabah yang dititipkan ke bank. Maka dari itu, selain penerapan prinsip kehati-hatian, integritas dari bankir itu sendiri merupakan faktor penting untuk menunjang terwujudnya pelaksanaan tugas bank yang sehat.

Lemahnya penerapan prinsip kehati-hatian serta pengawasan akan menyebabkan penyalahgunaan kewenangan pegawai bank yang dapat merugikan nasabah. Hal inilah yang kemudian menjadi tindak pidana ekonomi di bidang perbankan. Banyaknya tindak pidana ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup perbankan pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan hubungan antara bank dengan nasabah. Di satu sisi bank akan kehilangan kepercayaan dari nasabahnya, di lain sisi masyarakat kehilangan rasa aman atas lembaga perbankan.

Salah satu kejahatan yang berkembang di bidang perbankan adalah pembobolan dana nasabah seperti yang terjadi di Bank BTN yang merugikan 4 nasabah kakapnya. Tindak pidana penggelapan dana nasabah ini tentu saja sangat merugikan  masyarakat secara langsung dimana dana nasabah yang dititipkan di bank menjadi berkurang dari jumlah seharusnya.

Pada dasarnya tidak terdapat definisi hukum dari tindak pidana pembobolan dana nasabah. Hal ini disebabkan oleh tindak pidana di bidang perbankan tidak diatur dalam suatu undang-undang layaknya tindak pidana khusus di bidang ekonomi lainnya seperti tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Nomenklatur tindak pidana ini didasarkan pada perbuatan kolutif pekerja di bidang perbankan yang menyalahgunakan kewenangannya dalam mengelola dana nasabah hingga mengakibatkan kerugian.

Selama bertahun-tahun, Kitab Undang-undang Hukum Pidana digunakan sebagai dasar acuan dalam tindak pidana pembobolan dana nasabah. Terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana ini. Pasal-pasal ini merupakan pasal dengan substansi tindakan yang dilarang berupa pemalsuan. Sebab dalam pembobolan dan nasabah modus operandi yang dilakukan oleh pelaku biasanya diawali dengan tindak pidana pemalsuan. Pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku pembobolan dana nasabah adalah Pasal 263 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:

Sedangkan ancaman hukuman terhadap perbuatan tersebut tercantum pada pasal berikutnya, yaitu Pasal 264 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:

Dengan hukuman serupa itu juga, barangsiapa dengan sengaja menggunakan akta seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya, ayat pertama dipalsukan, jika pemakai surat itu dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Pasal lain dalam KUHP yang memiliki kaitan dengan tindak pidana pembobolan dana nasabah adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan membuka rahasia dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatan. Tindak pidana membuka rahasia diatur pada Pasal 322 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal mengenai tindak pidana membuka rahasia ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku pembobolan dana jika terjadi penyertaan atau deelneming. Hal ini disebabkan oleh dalam pembobolan dana nasabah yang dilakukan secara bersama-sama terdapat pembagian informasi yang seringnya bersifat rahasia mengenai nasabah.

Dimana para pelaku atau salah satu pelaku memiliki kewajiban untuk merahasiakan informasi tersebut akibat dari suatu jabatan baik yang masih ia miliki maupun tidak. Maka, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tindak pidana pembobolan dana nasabah merupakan delik berkualifikasi yaitu delik yang mensyaratkan adanya kualitas berupa jabatan dari pelakunya.

Sehubungan dengan itu, maka atas perbuatan penggelapan dana nasabah dapat pula dikenakan pasal kejahatan yang dilakukan dalam jabatan sesuai dengan rumusan Pasal 415 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:

Pegawai negeri atau orang lain, yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, yang dengan sengaja menggelapkan uang atas surat yang berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain itu, sebagai orang yang membantu dalam hal itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan teknologi perbangkan membentuk sistem operasional perbankan yang semakin modern dan berbasis komputer. Tindak pidana perbankan kemudian ikut bertransformasi menjadi lebih rumit dan canggih karena dilakukan dengan bantuan teknologi. Maka dari itu, dibutuhkan aturan hukum baru baik sebagai langkah preventif maupun represif terhadap tindak pidana perbankan Indonesia.

Maka dikeluarkanlah undang-undang yang mengatur perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor  7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini, tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai tindak pidana pembobolan dana nasabah mengingat undang-undang ini bukan merupakan undang-undang khusus tidak pidana perbankan.

Namun, terdapat pasal dalam ketentuan pidana pada undang-undang ini yang menjadi acuan terhadap perbuatan pembobolan dana nasabah, yaitu Pasal 49 ayat (1). Rumusan dari Pasal 49 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan adalah sebagai berikut:

  1. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
  2. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
  3. Mengubah, mengaburkan, atau menyembunyikan, menghapuskan/menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut;diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah).

Rumusan pasal tersebut  telah mengalami perubahan yang sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan tidak terdapat ancaman pidana penjara minimal serta jumlah denda minimal.

Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) di atas dapat dilihat bahwa perumus undang-undang berusaha untuk mengakomodir perkembangan tindak pidana pembobolan dana nasabah dengan tidak lagi mencantumkan kata “surat” melainkan kata “laporan” dan “dokumen”. Hal ini dikarenakan, penggunaan kata “surat” memiliki makna limitatif yaitu dokumen nyata yang baik ditulis tangan, dicetak, maupun diketik dengan mesin tik. Sedangkan kata “laporan” dan “dokumen” bermakna lebih luas sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan teknologi dimana pencatatan umumnya telah berupa data elektronik.

Semakin canggihnya teknologi berarti semakin canggih pula tindak pidana yang dapat timbul karenanya. Walaupun peraturan hukum terus diperbaharui untuk menyesuaikan diri, tetapi tidak dapat menghentikan timbulnya tindak pidana di masyarakat. Belum adanya aturan hukum yang mengatur tentang kejahatan perbankan yang dilakukan melalui dunia maya menyulitkan penegakan hukum atas kejahatan perbankan. Sementara itu, dunia perbankan semakin canggih dengan adanya e-commerce dan internet banking.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pembobolan dana nasabah merupakan tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup perbankan. Kompleksnya tindak pidana ini menyebabkan dalam proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana ini dapat diterapkan lebih dari satu undang undang.

Undang undang tersebut antara lain: Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun jika berpedoman pada asas Kekhususan yang Sistematis (systematische specialiteit) maka aparat hukum wajib menerapkan Undang Undang Perbankan dalam menuntut perkara pembobolan dana nasabah mengingat tindak pidana ini secara sistematis berada dalam ruang lingkup perbankan.

Diharapkan dalam penegakan kasus tindak pidana perbankan, aparat hukum dapat memprioritaskan penggunaan Undang Undang Perbankan dengan berlandaskan pada asas Kekhususan yang Sistematis. Selain itu karena tindak pidana dalam ruang lingkup perbankan telah mengalami perkembangan yang pesat dengan adanya electronic banking atau internet banking, maka dari itu, perlu dibuat undang undang tindak pidana khusus perbankan untuk memudahkan penegak hukum dalam menangani tindak pidana perbankan.