PSM Makassar, Klub Tertua dan Paling Disegani

law-justice.co - Ibarat  kapal phinisi yang mengarungi lautan, PSM Makassar ikut terombang-ambing kala kondisi persepakbolaan bangsa sejak era kolonial hingga milenial bergolak. Namun, tempaan gelombang dalam lintasan sejarah panjangnya membuat tim berjuluk “Juku Eja” itu “dewasa” hingga bertahan di jajaran tim-tim elit di tanah air.

CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin alias Appi tahu betul seperti apa eksistensi PSM bagi masyarakat di Kota Makassar maupun seantero Sulawesi Selatan. Sejak kecil dan bertumbuh di Makassar, menantu bos Bosowa Corp Sadikin Aksa itu sudah gandrung dengan PSM.

“Seperti anak-anak Makassar di usia saya, akan sangat bangga mengenal PSM. Enggak ada kebanggaan lain yang kita bawa di kota ini selain PSM,” cetus Appi yang berbincang dengan Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai menyaksikan timnya menggilas Arema FC, 6-2, dalam laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu 16 Oktober 2019 malam.

Sejak menakhodai PSM pada 2016, Appi menggulirkan sejumlah gebrakan. Salah satunya, mengganti logo klub. Sejak 1959 atau delapan tahun pasca-pergantian nama dari Makassarsche Voetbalbond (MVB) menjadi Persatuan Sepakbola Makassar (PSM), logo tim itu serupa dengan logo Pemkot Makassar: kapal Phinisi di tengah perisai yang dihiasi motif benteng.

Pada 15 April 2017, PSM menggunakan logo baru berupa perisai merah warna kebanggaan klub dan kota Makassar dan kapal phinisi dengan background bola sepak. Logo itu penyempurnaan dari 10 karya terbaik sayembara yang dipilih jajaran PT Persaudaraan Sepakbola Makassar (PT PSM), manajemen yang menaungi PSM.

“Di tahun kedua saya pegang manajemen, saya beranikan diri mengganti logo. Saya mencoba keluar dari pakem bahwa PSM adalah klub perserikatan,” lanjutnya. 

Di bagian bawah perisai logo itu dicantumkan tahun berdirinya klub: 1915. Dalam sejarah klub yang dimuat situs resmi PSM, dicantumkan tahun kelahiran PSM adalah 1915. Namun, sejatinya tahun lahirnya PSM masih jadi perdebatan, yakni apakah 1915 atau 1916.

Lahir 1915 atau 1916?

MVB bukanlah klub tertua di “Kota Anging Mamiri”. Koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 17 Juni 1939 memberitakan, tim tertua di Makassar adalah Prosit. Perkumpulan amatir milik orang Belanda itu berdiri sejak 1909. 

“Kemudian Excelsior usianya 25 tahun dan Vios pada 23 Juni nanti akan merayakan hari jadinya yang ke-23. Bekas klub ‘Jong Ambon’ sudah beruban nama jadi Zwaluwen pada 1932. Tetapi hanya Excelsior dan Vios yang punya lapangan sendiri. Lainnya kemudian menumpang di lapangan Makassarschen Voetbalbond,” demikian berita koran tersebut.

Orang-orang Belanda punya banyak klub amatir, seperti Osvia dan PSV. Total ada 15 tim di bawah naungan MVB yang diberitakan koran itu. Namun, tidak hanya orang-orang Indo, Belanda, dan Ambon yang punya klub di sana. Sepakbola di sana juga menyebar di komunitas Arab, Tionghoa, dan bumiputera. Komunitas Arab punya klub Annasar, masyarakat Tionghoa punya Excelsior dan Nam Hwa, dan bumiputera punya Mangoeni, MOS (Maen Oentoek Sport), Celebes Voetbalbond, dan Bintang Prijaji.

Versi lain dari suratkabar Makassarsche Courant, 1 Maret 1916 menyebut, MVB lahir tahun 1916, bukan 1915 sebagaimana yang dirujuk klub PSM. “Memang disebutkan klub tertua di Liga Indonesia. Tapi kan masih didebatkan sebenarnya apakah benar 1915?” tutur Sulaeman, media officer PSM.

Dalam berita suratkabar itu, MVB berdiri pada 27 Februari 1916. Kisahnya berawal dari digelarnya kompetisi lokal berisi belasan klub amatir di atas dari 2 November 1915 sampai Februari 1916. Selepas kompetisi, 12 klub yang berlaga itu duduk bersama dalam sebuah forum yang dipimpin seorang kontrolir, M.L. Hartwig. Mereka sepakat membentuk satu tim besar, MVB, untuk menaungi bond-bondamatir itu, 27 Februari 1916.

“Secara aklamasi terpilih M.L. Hartwig (ketua), E. Bouvy (wakil ketua), F. van Bommel (sekretaris/bendahara), J.W.G. Boukers, W.R. Groskamp, O. Thiele, Sagi dan Mangkalan (direksi). Anggota wajib membayar iuran f2,50 (2,50 gulden) per bulan,” sebut koran itu.

Di jajaran petinggi MVB, menariknya terdapat dua nama dari golongan bumiputera: Sagi dan Mangkalan. Sementara Mangkalan sampai kini masih misterius, Sagi tercatat sebagai kapten Bintang Prijaji, tim bumiputera yang turut mendirikan MVB.

Situs data RSSSF mencantumkan keterangan serupa. Selepas lempar jangkar, MVB berlayar dengan arah sedikit berbeda dari klub-klub di Pulau Jawa. Di Jawa, lazim terjadi persaingan berbau politik antara klub-klub Belanda, bumiputera, dan Tionghoa. Sementra, MVB justru jadi wadah bagi orang Indo, Belanda, dan bumiputra di Makassar.

Meski pada 1929 menginduk ke NIVB sebagai federasi sepakbola bentukan Belanda dan bukan ke PSSI, MVB tetap menggulirkan kompetisi sendiri tanpa gesekan kelas masyarakat. MVB sendiri lebih sering berlaga dalam tur yang lazimnya ke Jawa atau acapkali menjamu klub-klub mancanegara dari Hong Kong hingga Australia.

Timnas AFA (Australia) bahkan pernah menjajal MVB kala melawat ke Hindia Belanda pada 2 Juli 1928. Kala itu tim “Negeri Kanguru” itu tengah mencari sparing partner untuk persiapan Olimpiade 1928. MVB kalah 1-2.

Sebagai klub bentukan Belanda, MVB terpaksa vakum di masa pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka (1942-1945). Pada 1949, MVB muncul lagi di kompetisi Voorwedstrijden di bawah VUVSI/ISNIS, induk sepakbola Belanda yang mulanya NIVB. MVB finis di urutan empat dari lima peserta.

Ketika sepakbola Indonesia direorganisasi pada awal 1950, VUVSI/ISNIS bubar. Klub-klub bentukan Belanda otomatis bubar dan sebagian meleburkan diri ke klub bumiputera. Tapi MVB sebagai entitas yang majemuk sejak awal, tetap bertahan. Hanya namanya saja yang berubah pada 1951 menjadi Persatoean Sepakbola Makassar (PSM) demi bisa ikut kompetisi Perserikatan yang operasionalnya bergantung dari APBD.

Atribut PSM dari Masa ke Masa

Warna merah tak pernah berganti sebagai warna klub sejak dari MVB hingga menjadi PSM. Perubahan signifikan hanya terjadi pada logo klub. Kala baru lahir, MVB berlaga tanpa logo di kostum. Logo bertuliskan MVB baru dibubuhi pada 1926 dan pada 1959 logo dibuat selaras dengan logo Kota Makassar, sebagaimana klub-klub Perserikatan lain.

Lalu, di mana homebase MVB? Di masa kolonial, hanya sedikit lapangan sepakbola di Makassar. Lapangan Koningsplein (kini Lapangan Karebosi) dimiliki Excelsior. 

“Sebelum stadion (Andi Mattalatta) dibangun 1957, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” terang Ketua Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) Andi Karim Beso Manggabarani menunjuk arah sebuah lahan di timur komplek olahraga Gelora Andi Mattalatta-Mattoanging.

Andi Karim juga mengaku tahu di mana lapangan pertama MVB. Ia mendapati kisahnya dari kakek, paman, dan ayahnya yang berkecimpung dalam sepakbola di Makassar sebelum Jepang datang hingga 1945. 

“Kalau mau bicara PSM, lapangan pertamanya itu di Masjid Raya (Makassar). Itu yang belum pernah orang tahu. Kenapa di sana? Karena di sana ada stasiun keretaapi. Di tempat itu ada lapangan yang berdekatan dengan stasiun yang (keretaapinya) menghubungkan Gowa-Pasar Butung-pelabuhan,” sambungnya.

Masjid Raya Makassar berada di Jalan Bulusaurung. Masjid yang baru diresmikan pada 1949 itu rupanya bekas lapangan sepakbola. Kondisinya mirip seperti salah satu stadion di Jakarta.

“Seperti Gambir (di Jakarta) saja di masa Belanda. Ada stasiun, di sebelahnya ada lapangan. Tapi orang main bola di situ dibuat juga ajang judi (taruhan). Makanya kemudian setelah merdeka, lapangan itu diubah jadi masjid,” tambahnya.

PSM tumbuh jadi klub yang dibanggakan kota Makassar di pentas perdana Perserikatan pascamerdeka itu juga, musim 1951. PSM jadi runner-up di bawah Persibaja Soerabaja (Persebaya) di klasemen akhir. Enam tahun kemudian barulah masyarakat “Kota Daeng” merebut gelar Juara Perserikatan, yang diulangi pada 1959.

Di musim 1964-1965 dan 1965-1967, PSM kembali berjaya. Meski tetap jadi salah satu favorit juara di tiap musimnya, PSM butuh waktu lama untuk bisa juara lagi. Gelar ketiga baru mereka gondol di musim 1991-1992 dan gelar keempat, saat sudah berubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia di musim 1999-2000.Lagi-lagi, PSM butuh hampir dua dekade sebelum akhirnya bisa merebut trofi bergengsi trofi bergengsi lagi, yakni Piala Indonesia yang dipetik pada 6 Agustus 2019.

Seiring perjalanan panjang itu pula tumbuh basis-basis suporter yang terorganisir mulai 1990. Setelah kelompok Suporter Mappanyukki, menyusul Ikatan Suporter Makassar (ISM) pada 1995 dan yang terbesar adalah kelompok suporter kreatif The Macz Man yang lahir pada 2000. 

“Inilah tim PSM Makassar. Inilah tim tertua dengan segudang prestasi dan begitu banyak perjalanan yang menorehkan sejarah persepakbolaan Indonesia,” tandas Appi.

Sumber: Historia.id

 

 

 

 

Tags: PSM Makassar |