Abraham Halim, Melestarikan Kelenteng Segala Umat di Pulo Geulis

law-justice.co - Dulunya, kawasan Pulo Gelis dikenal sebagai pemukiman kumuh padat penduduk yang berada persis di tengah kota Bogor. Bukan hanya itu, daerah ini juga identik dengan kemiskinan, lingkungan buruk, rawan kejahatan dan kebakaran.

Namun, siapa sangka, setelah menanggung stigma negatif sekian lama, kampung-kota yang terletak di atas delta yang membelah sungai Ciliwung itu,  kini telah menjelma menjadi destinasi wisata tematik, yang menawarkan keragaman budaya.

Pulo Gelis yang jorok, dan kini malah menjadi tujuan wisata,  bukannya disulap hanya dalam semalam. Adalah Abraham Halim, yang telah mengorbankan tenaga, waktu dan pikirannya untuk mengembalikan Pulo Gelis sebagai kawasan yang beradab.

Bram, begitu ia biasa dipanggil, merupakan salah seorang keturunan penduduk asli Pulo Gelis. “Keluarga saya sudah tinggal di sini sejak 1800-an. Saya pun lahir dan besar di sini sampai lulus sekolah. Tapi sejak kuliah dan bekerja, saya meninggalkan Pulo Geulis selama 30-35 tahun karena tinggal di kota lain untuk bekerja di bidang eksplorasi tambang. Baru setelah ngantor di Jakarta saya kembali ke tempat ini dan mulai menaruh perhatian serius pada 2008,” kata Bram ketika ditemui di Kelenteng Pan Kho Bio pada pertengahan Juni lalu.

Pada saat itulah ia mulai menyadari bahwa Pulo Geulis tak lagi sama seperti dulu. Meskipun masih didominasi penduduk lokal, kehadiran para pendatang dari beragam etnis, suku, dan agama telah mengubah tradisi berguyub masyarakat di sana. Irama hidup perkotaan yang menyeruak deras ke kampung itu, membuat orang-orang yang tinggal di dalamnya saling tertutup, tak peduli, dan terkotak-kotak.

Bahkan, kelenteng Pan Kho Bio yang telah berdiri hampir tiga abad silam dan sejak lama telah menjadi simbol interaksi masyarakat yang plural tak lagi berfungsi maksimal. Saat itu, pengelola Wihara Maha Brahma terkesan menutup diri dari lingkungan sekitar. Sementara masyarakat sekitar tak peduli terhadap aktivitas yang dilakukan di dalam tempat ibadah itu.

Tentu saja situasi ini tak menguntungkan kehidupan masyarakat Pulo Geulis. Bila terus terjadi, bukan tak mungkin kian memperlebar jarak dan memicu sikap saling curiga karena minimnya interaksi antar penduduk yang tinggal di dalamnya. Padahal sejak awal berdiri, permukiman ini  tak hanya identik  dengan pluralisme  budaya, tetapi juga interaksi yang itens, sehingga selama berabad-abad mereka dapat hidup secara harmonis, bahkan saling berbaur antar satu dengan yang lainnya.

Kultur Keberagaman Pulo Geulis

Kawasan ini mulai dikenal pada 1482, ketika Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja menjadikannya sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan bernama Parakan Baranangsiang. Seturut nama itu, wilayah ini juga digunakan untuk melakoni berbagai  kegiatan, seperti menangkap ikan dengan tangan kosong (mundai/marak), berburu binatang (moro), dan menyelenggarakan  upacara  syukuran atas hasil panen selama setahun (Seren Taun).

Namun sejak serangan Kesultanan Banten pada 1579 yang bertujuan menghancurkan Kerajaan Pajajaran, praktiks tempat ini tak pernah lagi dipakai sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan. Bahkan sejak keruntuhan Kerajaan Budha di Nusantara itu, Parakan Baranangsiang menjadi wilayah tak bertuan. Situasi itu setidaknya bertahan  hingga 1687.

Tanda-tanda kehidupan di kawasan ini mulai terdeteksi sejak pemerintah Hindia-Belanda melakukan berbagai ekspedisi. Ketika Abraham van Riebeeck  melakukan perjalanan ke wilayah ini pada awal 1700-an, ia melihat sebuah masyarakat baru yang multikultur telah terbentuk. Mereka merupakan warga yang berasal dari Tanah Sunda, Banten, Cirebon, Sumedang Larang, Jawa (eks laskar Mataram), dan Tionghoa.

“Dari dulu tempat ini memang tergolong padat penduduk. Meskipun begitu dan berasal dari latar budaya yang berbeda sejak lama mereka bersinergi, termasuk orang-orang Tionghoa. Mereka bahkan sudah berasimilasi dan kawin dengan warga lokal. Jadi di sini sejak lama hubungan antar etnis memang telah terbangun sejak lama dan bertahan sampai sekarang”, kata Ayah dua anak ini.

Selain itu, dalam ekspedisi yang sama, van Riebeeck  juga menemukan kelenteng Pan Kho Bio yang terletak di bagian Selatan wilayah yang disebut Rawa Bangke itu. Tempat ibadah ini diperkirakan berdiri sejak 1703 dan sampai saat ini tercatat sebagai kelenteng tertua di Bogor. Menurut Bram, pemilihan lokasi ini sebagai tempat berdirinya kelenteng tidak sembarang. Setidaknya, ada dua alasan yang mendasarinya.

Pintu masuk utama menuju Kelenteng Phan Kho Bio (law-justice.co/ Teguh Vicky Andrew)

Salah satunya karena wilayah ini dianggap sakral karena terdapat peninggalan batu besar yang dipercaya sebagai awal mula dijadikan tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Pajajaran. Selain itu, lokasi ini juga dinilai strategis karena terletak di tepi sungai. Ketika itu, orang-orang Tionghoa datang ke tempat ini dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor saat ini)  menggunakan transportasi air dan bermukim sementara di tepian sungai.

Meskipun begitu, hal yang menarik dan membedakan kelenteng ini dengan tempat ibadah sejenis adalah peruntukannya. Pasalnya, Pan Kho Bio tidak hanya digunakan oleh pemeluk agama Budha dan Konghucu, tetapi juga dipakai sebagai tempat ziarah, menyelenggarakan pengajian rutin, dan perayaan hari besar umat Muslim. Itulah sebabnya di dalam kelenteng ini  terdapat berbagai instrumen berbagai agama yang diletakkan berdampingan antara satu dengan yang lainnya.

Ketika masuk ke kelenteng ini, langsung terlihat tempat untuk menancapkan dupa yang dibakar (hiolo).  Selain itu, terdapat pula altar dengan deretan patung para dewa, termasuk Pan Kho yang terletak di tengah dan paling atas karena dianggap sebagai tuan rumah dan dewa tertinggi di kelenteng ini. Di luar itu terdapat pula ornamen pat-kwa (lingkaran berbentuk mirip jaring dan di tengahnya terdapat simbol Yin-Yang)   beraneka warna dan deretan  lampion yang menghiasi langit-langit kelenteng ini.

Di dekat deretan patung dewa penganut Konghucu itu, terdapat pula  sebuah patung Dewi Kwan Im yang mewakili kepercayaan agama Budha. Patung ini merupakan peninggalan yang sudah ada sejak kelenteng ini ditemukan.  Selain itu terdapat pula artefak arca kura-kura yang juga berumur tua dan dalam filsafat Tiongkok dkenal sebagai lambang ketekunan dan panjang umur.

Masih di ruang utama, terdapat pula sebuah batu besar khas peninggalan Megalitikum yang diselimuti kain hijau bermotif bunga besar. Artefak itu dipercaya sebagai petilasan Embah Raden Mangun Jaya. Sosok ini dipercaya sebagai salah satu leluhur masyarakat Sunda dan memiliki hubungan darah dengan Raja Pajajaran.

Situs Megalitik yang menjadi tempat petilasan mbah Raden Mangun Jaya (law-justice.co/ Teguh Vicky Andrew)

 

Selain itu, di bagian belakang kelenteng terdapat beberapa ruang yang dipakai umat Muslim untuk berziarah.  Pada sebuah ruangan berbentuk segitiga, terdapat peninggalan dua batu besar yang diyakini sebagai  tempat petilasan dua tokoh penyebar agama Islam, yaitu Embah Sakee dan Eyang Jayaningkat. Selain sebagai tempat berziarah, ruangan ini juga difungsikan sebagai mushala.

Sementara  pada ruangan lainnya, terdapat pula makam Mbah Imam. Umat Muslim kerap datang ke tempat ini untuk berziarah dan mengadakan pengajian di tempat ini karena sosok ini dikenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Bogor.  Pada bilik yang lain, terdapat dua patung harimau yang dibalut kain hitam yang dipercaya sebagai jelmaan Prabu Siliwangi  dan melambangkan kegagahan, kejayaan, dan keberanian.

Secara keseluruhan, representasi keragaman agama terlihat dari tampilan kelenteng ini. Menurut Bram, berbeda dengan tampilan tempat ibadah sejenis yang biasanya didominasi oleh warna kuning dan merah, pada Pan Kho Bio ditemukan pula warna hijau pada makam dan petilasan yang melambangkan keteduhan, keimanan, dan kerukunan. Selain itu, yang menarik, terdapat pulang payung bersusun tiga yang merepresentasikan kultur Sunda.

Merevitalisasi Fungsi Kelenteng Pan Kho Bio

Pembangunan jembatan oleh Belanda pada 1923 membuat Pulo Geulis menjelma menjadi sebagai kawasan padat penduduk. Dari waktu ke waktu kian banyak saja pendatang yang datang ke delta seluas 3,5 hektar ini. Mereka datang untuk menggantikan orang-orang Tionghoa yang mulai berpindah ke wilayah Suryakencana, yang kini dikenal sebagai kawasan Pecinan di kota Bogor dan mengisi tanah yang masih kosong .

Setelah kemerdekaan,  tren semacam ini terus meningkat. Apalagi, kawasan ini memiliki lokasi yang  sangat strategis karena dekat dengan pusat kota. Pada akhir 1960-an, wilayah ini secara resmi menyandang nama Pulo Geulis dan menjadi Rukun Kampung (IV) Pulo Lebak Pasar, Lingkungan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Timur. Wilayah ini, kian dijejali pendatang sejak dibangunnya terminal Baranangsiang pada akhir 1970-an

Dalam ingatan Bram, dalam kurun waktu itu, 60% penduduk Pulo Geulis beretnis Sunda, sementara 40% sisanya adalah penduduk Tionghoa. Namun seiring berjalannya waktu, komposisi warga di kawasan ini  beralih. Memang 60% penduduk asli masih tinggal di sini, namun kini 40% pemukim berstatus warga pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia yang tinggal  di secara temporer  di sini untuk bekerja.

Peralihan komposisi demografi inilah yang membuat hubungan antar warga mulai bertransformasi.  Sampai akhir 1980-an, Bram menyebut solidaritas antar warga sangat kuat. Hal ini tidak hanya terlihat dalam kehidupan sehari-hari yang guyub, tetapi juga ketika banjir melanda kawasan ini. Namun sekarang, relasi itu menjadi longgar. Bahkan hubungan antar warga lokal dan pendatang kian berjarak karena interaksi yang terbilang minim.

Keadaan inilah yang membuat Bram tergerak untuk kembali berbuat sesuatu bagi tanah kelahirannya, setelah merantau lebih dari 30 tahun. Upaya ini dilakukannya dengan menjalin komunikasi dengan pengelola Kelenteng Pan Kho Bio. Ia beralasan, tempat ini bukan sekadar sebagai tempat ibadah belaka, tetapi selama berabad-abad telah menjadi simbol keragaman dan kehidupan harmonis penduduk Pulo Geulis yang multi-kultur.

Altar tempat bernaung patung dewa-dewa agama Konghucu (law-justice.co/ Teguh Vicky Andrew)

Pada mulanya, upaya ini banyak menemui jalan terjal. Ia harus menghadapi kenyataan menghadapi orang-orang baru yang sama sekali tak dikenalnya. Namun Bram tak patah arang. Ia rajin berinteraksi dengan warga sekitar dan pengelola kelenteng. Kerja keras itu pun  tak sia-sia karena sejak 2008 , kelenteng  Pan Kho Bio pun kembali dibuka untuk umum, termasuk untuk aktivitas warga.

Bila sebelumnya, aktivitas warga hanya terbatas pada tawasulan di ruang ziarah, maka Bram mendorong agar rupa-rupa kegiatan keagamaan warga dapat digelar di kelenteng ini. Sebagai langkah awal, ia berupaya menghidupakan kembali kebiasaan yang sudah lama tetapi sempat mati, yaitu perayaan Maulid Nabi.

“Sebenarnya perayaan ini kan sudah sering dilakukan sejak berdirinya kelenteng ini. Apalagi di dalamnya terdapat petilasan dan makam tokoh-tokoh Muslim. Nah warga semakin ramai berkunjung ke sini, bersama pengurut RT saya mengusulkan untuk menggelar Maulid Nabi di tempat ini. Awalnya hanya 10-20 orang yang ikut. Namun kini jumlahnya telah melonjak. Bahkan, lurah dan camat di sini juga ikut merayakannya di kelenteng ini," kata pria 62 tahun itu.

Tak hanya itu, kerjasama Bram dengan pengelola kelenteng, pengurus RT/RW, dan warga sekitar juga memungkinkan dilakukannya berbagai aktivitas baru. Salah satunya adalah pengajian rutin yang dilakukan setiap hari Kamis, sekitar pukul tujuh malam. Selain itu, selama bulan puasa pihak pengelola kelenteng ini juga kerap membagikan takjil dan mengelar acara berbuka bersama warga sekitar.

Ketika Idul Fitri tiba, biasanya warga sekitar berkumpul di kelenteng seusai shalat Ied. Mereka akan diterima oleh para pengelola kelenteng dan saling meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat. Setelah itu, dari sana, mereka bergerak bersama untuk bersilahturahmi secara langsung dengan mendatangi rumah-rumah  warga.  

“Uniknya setelah shalat Ied, warga di sini berkumpul, makan-makan, ramah tamah di sini (kelenteng). Habis itu kita silahturahmi, keliling, silaturahmi ke warga. Itu sudah beberapa tahun kita lakukan. Ini menjadi bukti bahwa warga di sini sudah benar-benar saling menghormati dan menghargai satu sama lain,” kata Bram.

Sebaliknya, menjelang Imlek tiba, warga dengan sigap membantu pengelola untuk membersihkan kelenteng dan mempersiapkan alat sembayang. Sebagai ucapan terima kasih, pengurus tempat ibadah itu membelikan 6-12 makanan lokal yang dibagikan secara cuma-cuma kepada warga. Mereka juga tak segan untuk berbagai makanan yang melimpah di kelenteng pada saat Imlek tiba kepada penduduk sekitar.

Memperjuangkan Status Cagar Budaya

Selain merevitalisasi fungsi kelenteng Pan Kho Bio sebagai salah satu pusat kegiatan warga Pulo Geulis, Bram juga secara intens menyosialisasikan keberadaan kelenteng ini kepada berbagai pihak  sehingga dari waktu ke waktu kian banyak saja pengunjung yang datang ke kawasan ini, terutama untuk menyambangi kelenteng Pan Kho Bio.

Bram pun secara mandiri dan intens mempelajari berbagai aspek sejarah dan kebudayaan di tempat ibadah ini. Pada mulanya, hal itu dilakukan sebagai modal untuk memperkenalkan kelenteng ini kepada para pengunjung, termasuk para mahasiswa yang menulis karya ilmiah tentang tempat ini. Belakangan kajian-kajian otodidak yang dilakukannya itu  juga banyak berguna dan menjadi salah satu dasar bagi pemerintah untuk menetapkan  kelenteng Pan Kho Bio sebagai situs cagar budaya pada 2012. 

Meskipun terbilang singkat, hanya empat tahun sejak kepulangan dirinya ke Pulo Geulis, namun status itu tidak didapatkan dengan mudah. Secara terbuka, ia mengakui  berkali-kali harus berdiskusi untuk meyakinkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor agar menyematkan status cagar budaya pada Wihara Mahabrahma.

Deretan lilin yang mengelilingi patung Dewi Kwan Im (law-justice.co/ Teguh Vicky Andrew)

Namun ia mengakui, bukan bangunan dan umur kelenteng yang telah menginjak lebih dari tiga abad yang membuat Pan Kho Bio akhirnya diakui sebagai situs cagar budaya. Salah satu faktor yang sangat menentukan adalah kehadiran artefak dari masa Megalitikum, berupa batu besar yang menjadi tempat  petilasan Embah Raden Mangun Jaya  yang akhirnya menjadi faktor penentu penyematan status ini.

Keberhasilan untuk menjadikan kelenteng itu sebagai situs cagar budaya membuat nama Bram mulai mencuat dan dikenal secara luas oleh warga Pulo Geulis. Bahkan kini, ia kerap dipanggil Abah Ngora—kakek muda—karena dianggap sebagai tokoh yang penghubung antara warga lokal dan Tionghoa, termasuk para pengelola kelenteng.

Dengan status itu, Bram kini dikenal pula sebagai sumber informasi dan referensi utama bagi warga sekitar dan para pengunjung yang ingin mengetahui seluk-beluk kelenteng Pan Kho Bio. Kini, dengan bangga ia dapat memperlihatkan berbagai kliping liputan media ihwal dirinya dan dokumentasi aktivitas keagamaan yang dilakukan di tempat ibadah ini. Selain itu, Bram juga mengaku telah membimbing banyak mahasiswa yang mengkaji berbagai aspek tentang kelenteng itu hingga beroleh gelar sarjana.

Setelah lebih dari satu dasawarsa bergiat di kelenteng Pan Kho Bio, ia mulai menyadari bahwa makna terpenting dari kehadiran kelenteng itu bukan terletak pada status cagar budaya dan fungsi bangunan itu sebagai tempat ibadah. Namun yang lebih penting justru kehadiran Wihara Mahabrahma sebagai simbol yang merepresentasikan keragaman latar budaya warga Pulo Geulis dan menjadikan tempat ini sebagai pusat aktivitas penduduk sehingga mereka dapat berhubungan dengan intens dan hidup secara harmonis.

“Jadi di tempat ini perbedaan itu jangan kita samakan, tetapi perbedaan itu harus kita persatukan. Bersatu dalam perbedaan akan terasa indah. Bersatu di sini bukan campur aduk, ibarat air dengan minyak tidak mungkin bisa bercampur, tetapi keduanya bisa bersatu dalam satu wadah, yaitu kehidupan kita di bumi pertiwi ini,” pungkas Bram.