Diancam Rentenir Online, Begini Cara Lapor ke Polisi

law-justice.co - Utang piutang memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Seringkali, situasi kepepet yang banyak dialami warga, justru dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari mereka.

Tempat meminjam uang yang lagi hits saat ini adalah rentenir yang beroperasi secara daring (online). Populer dengan sebutan financial technology (fintech). Meski pun masyarakat mudah mendapatkan pinjaman fintech ini, ternyata banyak konsekuensi yang tidak diduga yang harus ditanggung debitur.

Baca juga : OJK : Fintech P2P Lending Tak Bisa Langsung Lakukan Write Off

Bunga dan denda yang tinggi serta penagihan yang sifatnya meneror bahkan mengancam, mulai menghantui para peminjam fintech.

Menanggapi situasi ini, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing, dilansir dari detik.com menjelaskan, debitor fintech yang mendapatkan ancaman atau intimidasi, bisa langsung melaporkannya ke kantor polisi.

Baca juga : OJK Susun RPOJK Fintech Lending Soal Aturan Batas Pendanaan

Dokumen yang harus dibawa adalah, kartu identitas dan bukti-bukti teror, intimidasi termasuk pelecehan yang dilakukan perusahaan fintech. Ia melanjutkan, masyarakat harus waspada terhadap sebagian perusahan fintech yang seringkali merugikan penggunanya.

Ada pun ciri-ciri aplikasi fintech abal-abal adalah:

Baca juga : Soal Dugaan Adanya Kartel Bunga Pinjol, Begini Respons AFPI

Pertama, tidak memiliki izin resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kedua, tidak ada identitas perusahaan dan alamat kantor yang jelas di aplikasinya.

Ketiga, tidak ada informasi yang jelas mengenai bunga pinjaman dan denda yang diberlakukan bagi debitur.

Keempat, tidak ada batasan waktu penagihan. Mereka bisa kapan saja menagih pinjaman, bahkan saat tengah malam pun.

Oleh karena itu, sebaiknya berpikir seribu kali untuk meminjam uang melalui fintech ini. Telusuri lebih jauh mengenai perusahaan kreditur yang dituju. Salah pilih, perusahaan fintech abal-abal akan menyedot data di telepon seluler milik debitur. Akhirnya, mau menyelesaikan masalah, justru terjerat perkara yang lebih berat.