Gertak Nasdem Jadi Oposisi, Bisa Jadi Senjata Makan Tuan

Jakarta, law-justice.co - Dampak dari ketegangan relasi politik  antara PDI Perjuangan dan Nasdem masih berlanjut. PDI Perjuangan menantang Nasdem untuk keluar dari anggota koalisi dan menjadi kelompok oposisi. Seberapa besar potensi Nasdem menjadi oposisi itu?

Nasdem sudah melakukan investasi politik yang sangat panjang dan lama untuk mendukung Presiden Jokowi, paling tidak lebih dari 5 tahun. Apa mungkin Nasdem mau begitu saja melepas kursi kekuasaan di kabinet dan koalisi Jokowi dan nekad menjadi oposisi.

Baca juga : Gegara Ganjar PDIP Seperti Didorong Berkoalisi dengan Nasdem

Wacana soal oposisi yang digulirkan Nasdem untuk memberikan gertakan kepada manuver-manuver yang dilakukan PDI-Perjuangan. Bisa jadi itu cara bargaining politik Nasdem kepada Jokowi dan PDIP.

Tetapi apakah mungkin Nasdem mengambil sikap menjadi oposisi? Bisa saja terjadi. Nasdem mengambil sikap politik diluar perkiraan banyak orang, itu tergantung skema koalisi bagaimana yang akan diambil Jokowi. Kalau ternyata ini hanya gertakan Ketum Nasdem, Surya Paloh, bisa menjadi senjata makan tuan kalau Jokowi merestui dan Megawati juga mendukung Nasdem keluar dari koalisi Jokowi. 

Kalau ternyata koalisinya sangat gemuk dan hanya menyisakan PKS diluar, ditambah hubungan Nasdem dan PDI-P ikutan memburuk, menjadi oposisi bisa saja diambil Nasdem sebagai opsi. Oposisi yang diambil Nasdem apabila hubungan buruk antara Nasdem dengan PDIP berimbas juga kepada hubungannya dengan Jokowi. Apalagi kalau koalisinya terlalu gemuk dan hanya menyisakan PKS saja di kubu oposisi.

Sebelumnya PDIP mendorong rekonsiliasi dengan membuka pintu kepada Partai Gerindra bergabung dengan pemerintah. Sementara itu Nasdem secara terbuka dan tegas menolak peluang Gerindra masuk kabinet Jokowi-Maruf Amin

PDI Perjuangan selama ini merasa gerah karena selama ini Nasdem menempati jabatan pemerintahan yang `basah` dan kekuasaan yang besar. Sehingga selama kurun waktu 5 tahun terakhir yang terlihat justru indikasi penyalahgunaan kekuasan. Misalnya penanganan kasus-kasus hukum di Kejaksaan Agung, yang notabene Jaksa Agung Prasetyo adalah orang Nasdem.

Selama 5 tahun Jokowi berkuasa, Nasdem mendapat jabatan basah dan kuasa di bidang penegakan hukum. Misalnya bisa membajak kader-kader partai lain, termasuk PDIP untuk bergabung dengan Nasdem dengan iming-iming kasus hukumnya tidak diproses Kejaksaan.

Namun pernyataan politisi Nasdem, Akbar Faizal yang menyebutkan, telah terjadi kenaifan di ruang politik saat ini. Menurutnya, persamaan itu tak perlu dipaksakan. Dia pun mempertanyakan rekonsiliasi yang sedang dijajaki. Nasdem berharap Gerindra tetap di luar pemerintahan karena oposisi itu bukan hal yang hina, ujar Akbar Faisal.

Kalau disadari sebenarnya baik Nasdem maupun Gerindra adalah sama-sama anak kandung yang lahir dari rahim Golkar. Sudah menjadi kebiasaan di Golkar dan menjadi fatsun bagi setiap pemimpin Golkar, bahwa Golkar harus masuk dalam kekuasaan dan tidak suka beroposisi. Sebenarnya Nasdem dan Gerindra punya kecenderungan yang sama dengan sikap Golkar. 

Masalahnya saat diberi kuasa oleh Jokowi para Menteri yang menjadi wakil dari Nasdem tidak menunjukkan prestasi yang baik. Sebagai contoh Jaksa Agung Prasetyo mendapat rapot buruk dari koalisi LSM di bidang penegakan hukum. Seharusnya Jaksa Agung tidak berasal dari parpol agar tidak terjadi konflik kepentingan yang merugikan para pencari keadilan. 

Begitu juga dengan Menteri Perdagangan, Enggartiasto yang sudah tiga kali mangkir saat dipanggil KPK dalam pemeriksaan kasus korupsi anggota DPR, Bowo Sidik. Di masa Enggar, banyak beras impor yang lolos masuk tanpa rekom dari Bulog dan juga masalah mafia perdagangan tata niaga pangan yang bisa mengintervensi kebijakan Enggar. 

Berkaca dari fakta tersebut, publik menanti bagaimana sikap Jokowi dalam memilih partner koalisinya dan menterinya yang profesional, berintegritas dan tidak aji mumpung. Jokowi yang selama periode pertama tersandera oleh kepentingan para elit parpol, maka pada periode kedua ini harus berani melawan hegemoni parpol dengan tanpa syarat. Kalau Jokowi tidak berani bersikap dalam masalah sikap Nasdem ini, maka tinggal tunggu waktu dia akan semakin terasing dari rakyat yang sudah berkorban untuk memilihnya.