Marjinal: Kalau Belum Tahu Soal Punk, Jangan Asal Menghakimi

law-justice.co - Mikail Israfil menyambut ramah, kedatangan law-justice.co di kediamannya di kawasan Srengsengsawah, Jakarta Selatan. Masuk ke dalam rumahnya, nampak berderet lukisan, poster dan tulisan-tulisan imajinatif hasil karya Mike, demikian ia biasa dipanggil. Sebagian besar, menyiratkan gerakan melawan ketidakadilan terhadap kebijakan pemerintah mau pun penguasa modal.

Ia kemudian menyuguhkan kopi tanpa gula, racikan khas Rumah Taring Babi, yang merupakan markas band Marjinal, dimana ia menjadi vokalisnya. Pembicaraan pun mengalir dengan hangat.

Mike berkisah mengenai perjalanannya bersama band bentukannya, Marjinal yang berdiri pada tahun 1997. Waktu itu, formasi awalnya adalah Romi Jahat (vokalis), Mike (Gitar), Bob (Bass), dan Proph (Drum).

Berkumpulnya empat orang anak muda ini dalam satu grup musik, karena masing-masing memiliki kesamaan dengan lainnya. Mereka yang merasa dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena pilihan hidup dan pola pikirnya yang berbeda. Julukannya, anak punk.

Menurut Mike,  sebenarnya kelompoknya bukanlah anak-anak punk seperti yang dipikirkan orang.  Menjadi punk, lebih dari sekedar mencari identitas diri,  tetapi juga menolak untuk dijadikan korban ketidakadilan. Seperti yang pernah dialami kelompok ini, ditolak saat pertama kali bermarkas di Setu Babakan, yang dikenal sebagai awasan pelestarian budaya Betawi.

Sebagai langkah awal, Mike dan kawan-kawan membentuk kelompok studi dan terlibat dalam kelompok gerakan. Berbagai buku yang isinya  mengkritisi kebijakan pemerintah seperti Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Madilog karya Tan Malaka, hingga Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer dilahap oleh mereka. Nyanyian Sunyi Seorang Bisu dari Pramoedya, menjadi buku favorit.

Namun, membaca buku, dan terlibat dalam diskusi serta gerakan, ternyata dianggap tidak membawa hasil yang signifikan. Mereka pun mencari alat untuk menyampaikan informasi dan gagasan brilian mereka. Tujuan utamanya adalah, agar masyarakat ikut tergugah hatinya dan terlibat dalam perjuangan melawan ketidakdilan pemerintah. 

Akhirnya, cara yang dipilih untuk menyampaikan pesan adalah melalui musik. Bagi Marjinal, musik adalah nafas kehidupan. Dengan musik orang bisa tergugah, orang bisa tertidur, bahkan bisa tertipu atau tak berdaya, tergantung musik yang ingin dinikmatinya.

Selain  itu, musik juga diyakini sebagai alat untuk belajar dan merekam semua kejadian nyata yang terjadi dalam sejarah bangsa, seperti kegelisahan masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang kerap menimbulkan penderitaan bagi masyarakat kala itu.

Lirik Lagu Benyamin Sueb dan Band Leo Kristy Jadi Inspirasi Lawan Ketidakadilan Pemerintah

Terinspirasi oleh Benyamin Sueb, Iwan Fals, God Bless dan Leo Kristy yang lirik lagunya kerap menyinggung soal perjuangan rakyat,  keempat anak muda  ini, lalu membentuk sebuah band.

“Ketika mendengar lirik lagu mereka, wah ini bukan sekedar lagu, ini juga memwakili hati mereka, perasan dalam kehidupan mereka, dimana ada persitiwa-peristiwa yang mereka alami atau yang ada di sekitar kehidupan mereka saat itu. Di situlah kita mengambil langkah untuk merncari tempat khusus, agar lebih akrab lagi, agar bisa menjadi ruang untuk menampung atau menghadirkan atau dihadirkan oleh teman-teman yang punya pandangan cukup unik dan liar ini. Sebenarnya lebih berangkat dari situ,” kenang Mike.

Mike, vokalis Marjinal (law-justice.co/Nikolaus Tolen)

Sebelum menjadi Marjinal, nama grupnya adalah Anti ABRI, yang kemudian berubah lagi menjadi Anti Militerisme.  Karena pada saat band terbentuk tahun 1997, dunia politik di tanah air dianggap didominasi oleh kalangan tantara.  

Nama Anti ABRI  sebenarnya juga plesetan dari  film berjudul Satria Bergitar yang dibintangi oleh Rhoma Irama. Kepanjangannya,  Anti Anak Buah Rhoma Irama. Mereka mengaku tidak senang dengan tingkah anak buah Rhoma yang bertindak seperti tentara dan bereperang melawan anak punk. Berubah lagi menjadi Anti Militerisme, karena mereka ingin hidup masyarakat tidak lagi penuh dengan kekerasan, seperti yang biasa dilakukan oleh tantara.  

Semakin siang, situasi rumah Taring Babi semakin ramai. Beberapa teman Mike dan tetangga di RT 11 RW 8 berdatangan. Pria kelahiran tahun 1975 ini lantas berhenti sementara berbicara untuk menyambut kedatangan mereka. Setelah mempersilahkan para tamu masuk ke dalam rumah, Mike kembali melanjutkan pembicaraannya. Kali ini, perbincangan kami agak lebih ke topik yang serius. Kami mulai membahas karya Marjinal yang sudah begitu terkenal dan melekat di kalangan para aktivis dan kelompok gerakan.

Lagu ‘Darah Juang’, menjadi karya yang tak akan pernah bisa dilupakan Mike. Lagu ini, menurutnya, memiliki kekuatan dan mampu memberi semangat kepada kelompok gerakan untuk melawan kebijakan pemerintah. Sebagai anak kolong (sebutan untuk anak tentara) yang diberi akses yang begitu luas pada masa Orde Baru, Mike dan kawan-kawannya tak gentar. 

Padahal, lagu-lagu seperti ini bisa saja menjadi ancaman bagi pemerintah, dan para pencipta atau penyanyinya bisa ditangkap. Lagu Darah Juang ini menurut Mike dilatari oleh kebijakan pemerintah yang sangat mengabaikan kondisi bangsa saat itu.

Terlibat langsung dalam setiap permasalahan yang dialami masyarakat membuat mereka kerap gampang merasakan hal yang sama untuk diperjuangkan. Semua kegelisahan tersebut mereka tuangkan dalam lagu yang kemudian menjadi alat mereka untuk berkomunikasi melawan kebijakan pemerintah.

Berbagai isu yang ada di tanah air menjadi perhatian mereka. Mulai dari politik, isu perburuhan, isu lingkungan, hingga isu korupsi. Mereka kerap tampil dengan gaya punk-nya di ebrbagai aksi gerakan untuk menggelorakan isu-isu yang tengah hangat diperbincangkan atau yang diperjuangkan oleh masyarakat. 

Untuk isu korupsi, mereka telah membuat kompilasi album untuk menggerakan anak-anak muda dan masyarakat Indonesia untuk bereperang melawan korupsi yang tengah marak di Indonesia. Isu perburuhan juga menjadi fokus mereka. Bahkan nama Marjinal yang menggantikan nama Anti militerisme pada tahun 2002 terinspirasi dari kisah buruh dan pejuang buruh asal Jawa Timur, Marsinah.

“Awal-awalnya kita memang cenderung memwakili diri kita saja, tapi dari situ kemudian kita berproses  untuk mengenal persoalan, watak masyarakat, pemikiran masyarakat. Kemudian bagaiaman kita bisa menyelesaikan persoalan itu, yang awalnya hanya mengedepankan ego yang memwakili kepentingan sendiri,”tuturnya.

Sering Diundang Mahasiswa dari Sejumlah Kampus di Indonesia

Di kalangan pencinta lagu pop Indonesia, nama Marjinal boleh jadi tenggelam dari bintang-bintang aliran musik tersebut.  Mereka tidak pernah tampil di panggung resmi untuk menggelar konser besar layaknya grup Band Ungu, Noah, Peterpan, atau pun seperti Iwan Fals.

Mereka memang tidak mencari panggung seperti band-band konvensional. Grup Band yang kini tinggal diisi oleh Bob dan Mike, sebagai personel lama, ditambah dengan beberapa orang baru ini, lebih dikenal di kalangan para aktivis dan kelompok gerakan. Lagu-lagu mereka kerap dinyanyikan para aktivis untuk membakar semangat untuk beraksi.

Karena dikenal di kalangan aktivis, Marjinal kerap diundang oleh mahasiswa ketika menggelar acara di kampus mereka. Lagu-lagu Marjinal yang bertema perjuangan, hampir semuanya diketahui oleh mahasiswa yang kerap terjun dalam aksi dan gerakan di kampusnya.

Hingga kini mereka sudah menciptakan belasan lagu perjuangan dan masih terus menjadi kelompok music favorit para kalangan aktivis dan gerakan di tanah air.

Masih Terus Berkarya untuk Kritisi kebijakan Pemerintah dan Pola Kehidupan Masyarakat

Usia band Marjinal sudah cukup tua. Jika dihitung dari sejak berdirinya tahun 1997, kini grup band ini sudah berusia sekitar 22 tahun. Lebih tua beebrapa tahun dari usia reformasi Indonesia yang adalah buah perjuangan dari Marjinal dan kawan-kawan gerakan saat itu.

Meski sudah tidak mudah dan beberapa personelnya kerap berganti-ganti, tak membuat Marjinal berhenti berkarya. Mereka terus mengikuti isu yang berkembang di tanah air, dengan menuangkannya dalam bentuk karya musik. 

Seperti saat ini, Marjinal tengah menggarap lagu yang isinya mengkritisi situasi politik dan sikap masyarakat Indonesia yang menjadi budak politik. Penggunaan Agama dalam politik menjadi target kritik mereka yang utama dalam lagu ini. Menurut mereka, politik adalah hal terburuk yang ada di muka bumi saat ini.

Suasana di basecamp Marjinal (law-justice.co/Nikolaus Tolen)

Selain berkarya dalam musik, Marjinal juga kerap hadir langsung untuk menginspirasi masyarakat dalam memecahkan masalah di lingkungannya. Mereka  mengajak warga untuk tetap menjaga lingkungan yang bersih, dengan tidak membuang sampah  sembarangan.

Selain itu, mereka juga berinisiatif untuk membuka ruang belajar dan ruang bermain bagi anak-anak di sekitar tempat mereka tinggal. Langkah itu menjadi upaya mereka untuk menjaga keberlanjutan hubunbgan yang baik antara manusia dengan alam.

“Kita selalu dituntut untuk merespon tentang suatu keadan di masyarakat kita, dimana tidak ada ruang-ruang publik untuk anak-anak bermain, sehingga kita mencoba untuk membongkar pagar-pagar yang dibangun puluhan tahun ini, lalu kita uruk untuk membuat ruang publik, membuat tempat yang ramah dengan anak. Kita bikin konsep kampung Bermantra (bersih, mandiri dan sejahtera). Kita harus memahami kebutuhan sebuah generasi dalam segala perkembangannya. Kita jiuga mencoba untuk membuat taman apotik hidup, tanaman obat herbal,” jelas Mike.

Harapan Marjinal kepada Masyarakat dan Pemerintah

Menjadi seorang punk atau menjadi bagian dari kelompok punk tidaklah mudah. Stigma negatif hingga penolakan selalu mewarnai perjalanan hidup mereka. Namun, dibalik label itu, Mike berharap masyarakat merubah pandangan tentang kelompok punk.

Menurutnya, kelompok punk adalah kelompok yang unik dengan pikirannya yang bebas dan kreatif. Jika masyarakat terus menilai punk sebagai kelompok yang tidak memiliki masa depan, maka yang rugi adalah masyarakat itu sendiri.

“Rugi aja kalau masih ada yang nilai negatif. Kalau masih ada hal positif bisa kita perbuat, kenapa mesti mengambil yang negatif. Ini yang perlu diingat oleh masyarakat, karena negatif itu tidak akan pernah membawa apa-apa selain adalah kemerosotan dan kehancuran. Kalau memang belum tahu soal punk, jangan asal menghakimi, tapi inilah saatnya untuk mencari tahu demi menambah ilmu,’ tegasnya.

Sedangkan terhadap pemerintah, Marjinal berharap agar pemerintah mampu menciptakan generasi yang lebih kreatif dan bermental mandiri. Generasi yang ada saat ini harus bisa memecahkan masalahnya sendiri, tanpa harus meniru dan menjiplak budaya luar yang cenderung merugikan generasi. Mike melihat generasi yang ada saat ini tidak diberdayakan oleh pemerintah dan bahkan cenderung diabaikan.

Mike menilai pemerintah telah membuat generasi saat ini tertidur dan tidak mau berpikir lebih jauh. Budaya ‘hanya menerima’ menjadi begitu kental membuat generasi saat ini lebih ingin meraih sesuatu dengan cara instan.