Warga Sentul City Pertanyakan Surat Undangan Kemenko Polhukam

law-justice.co - Komite Warga Sentul City (KWSC) mempertanyakan maksud surat undangan rapat koordinasi yang dikirimkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Agenda tersebut dianggap bisa mengintervensi putusan hukum yang telah inkracht di Mahkamah Agung (MA).

Melalui siaran pers yang diterima redaksi, KWSC menceritakan bahwa pada Kamis (13/6) lalu, mereka menerima surat undangan dari Kemenko Polhukam. Surat tersebut mengundang mereka untuk hadir dalam rapat di sebuah hotel di Kota Bogor, Jawa Barat, pada 17 Juni 2019 mendatang.

Baca juga : Pejabat & Mafia Pengembang Bancakan Lahan Hambalang

“Rapat Koordinasi Penyelesaian Permasalahan di Kawasan Permukiman Sentul City antara PT Sentul City dengan Komite Warga Sentul City yang melibatkan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya”, begitu bunyi surat undangan tersebut.

KWSC menegaskan, mereka menghormati undangan tersebut dan bersedia hadir. Namun tetap merasa ganjil akan adanya undangan tersebut.

Baca juga : Pejabat & Mafia Pengembang Bancakan Lahan Hambalang

“Penggunaan frasa ‘koordinasi penyelesaian’ dalam agenda rapat berpotensi untuk mengintervensi terhadap dua putusan hukum yang inkracht terkait permasalahan di Sentul City,” begitu bunyi pernyataan KWSC.

Putusan hukum yang dimaksud adalah Putusan MA Nomor 463 K/TUN/2018 yang membatalkan Keputusan Bupati Bogor tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum kepada PT Sentul City Tbk dan mewajibkan Bupati Bogor untuk mencabut keputusan itu.

Baca juga : Usai Dimintai Keterangan soal Tragedi Kanjuruhan, Iwan Bule `Hilang`

Ditambah dengan adanya Putusan MA Nomor 3415 K/Pdt/2018 yang menghukum PT Sentul City untuk bertanggung jawab membiayai pemerliharaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) di kawasan Permukiman Sentul City sampai adanya penyerahan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor. Putusan itu juga menyatakan bahwa PT Sentul City dan anak perusahaannya tidak berhak menarik biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (BPPL) dari warga di seluruh kawasan Sentul City.

KWSC mengatakan, sebelum adanya putusan hukum tersebut, mereka telah berupaya memohon langkah proaktif dari pemerintah pusat dalam penyelesaian permasalahan di Sentul City. Namun, upaya tersebut tidak direspon.

Konflik antara warga dan PT Sentul City sudah terjadi setidaknya sejak 2004. Warga merasa hak-haknya untuk memperoleh air bersih terancam karena pengelola air menjadikan sebagai alat sandera. PT Sentul City dan anak perusahannya menggabungkan tarif tagihan air dengan BPPL. Warga sendiri mempermasalahkan iuran BPPL karena tidak ada koordinasi bersama. Selain itu, PT Sentul City belum menyerahkan Prasarana, Sarana, dan Utilitas kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya telah turun tangan menelusuri persoalan tersebut. Pada 27 November 2018, Ombudsman telah menyampaikan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan yang pada intinya menyimpulkan bahwa Bupati Bogor telah melakukan malaadministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum di Sentul City dan dalam penyerahan PSU di Sentul City.

“Lebih tepat dan pas bagi Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenko Polhukam, untuk memastikan putusan MA yang telah menjadi hukum tersebut ditegakkan di Sentul City. Hingga kini, baik Bupati Bogor maupun PT Sentul City masih enggan melaksanakan putusan secara sukarela,” bunyi pernyataan KWSC.