Mengenang 21 Tahun Reformasi (Tulisan-2)

Ita Nadia: Perkosaan Massal 98, Teror Menggunakan Tubuh Perempuan

Jakarta, law-justice.co - Dia berperan maha penting dalam penanganan korban perkosaan massal di Jakarta pada Mei 1998. Sebagai nakhoda organisasi terkemuka yang memperjuangkan hak-hak perempuan kala itu, Kalyanamitra, ia yang dipercaya teman-temannya di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) memimpin sayap khusus. Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan (TRKP) nama organ baru yang bertugas menangani para korban kejahatan seksual di masa kerusuhan menjelang keruntuhan Orde Baru. Kantornya di markas Kalyanamitra juga, di Jl. Kaca Jendela, Pancoran, Jakarta. Dengan begitu sesungguhnya ia penyaksi yang menyimpan banyak kisah.

Pada 1999 dia, Ita Fatia Nadia,  diundang ke Kongres AS oleh Partai Demokrat untuk menjawab sejumlah pertanyaan ihwal perkosaan Mei 1998. Saat lawatan itu ia juga bermuka-muka dengan Medeleine Albright. Waktu itu sang Menteri Luar Negeri pun mengajukan pertanyaan senada.

Baca juga : Perkosaan Massal 1998 Itu Terjadi, Penanganannya Butuh Sikap Arif

Anggota Komnas Perempuan era 1999-2006  Ita. F. Nadia—seperti  halnya sahabatnya dari dunia gerakan kemanusiaan, Sandyawan Sumardi—merupakan sosok yang tepat untuk menjelaskan apa gerangan yang terjadi pada setidaknya 150 perempuan yang kebanyakan beretnik Tionghoa, pada 13-15 Mei 1998 yang maha kelam. Berikut ini tuturan lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Seni dan Budaya UGM (1984) dan Woman, Gender and Development, Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, Belanda (2004) kepada Rin Hindryati dari  Law-Justice.co tentang perkara kemanusiaan yang tetap menjadi tanda tanya besar tersebut. 

***

Baca juga : Otak Perkosaan Massal Mei 1998, Aib Bangsa Indonesia

Sore 13 Mei 1998, setelah pemakaman para mahasiswa yang tertembak di kampus Universitas Trisakti, saya mendapat telepon yang mengabarkan terjadi perkosaan di daerah Pluit, Jembatan Tiga dan Jembatan Lima,  di Jakarta Barat. Kemudian pada 14 dan 15 Mei kabar perkosaan yang masuk ke kantor kami, Kalyanamitra,  semakin banyak. Tidak hanya terjadi di Pluit dan Jembatan Tiga dan Jembatan Lima saja tapi sudah meluas ke Glodok, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Cengkareng, Grogol, Kemayoran,  dan Jakarta Barat.

Bersamaan dengan merebaknya berita tentang perkosaan, mal di Jatinegara, Klender, dan Karawaci diserbu, dijarah, sebelum dibakar. Ratusan korban perempuan, laki-laki, termasuk anak-anak,  menjadi korban pembakaran di sana. Para korban dituduh sebagai ‘kaum miskin kota’ yang menjarah.

Situasi politik Jakarta tegang dan kendali keamanan tidak jelas. Penjarahan, pembakaran, dan perkosaan massal  menimbulkan ketegangan, ketakutan,  dan ‘amok’ serta menjadi teror bagi etnis Tionghoa dan mereka yang beragama non-muslim.

Sejak peristiwa penyerangan kantor PDI di Jl. Diponegoro tahun 1997, organisasi kami, Kalyanamitra, bergabung dengan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRuK) yang ketuanya Romo Sandyawan Sumardi. Ketika peristiwa Mei 1998 terjadi saya merupakan Ketua Kalyanamitra. Kami bekerja untuk membantu korban-korban kekerasan pemerintah Orde Baru.

Penembakan, pembakaran, dan pemerkosaan yang meluas  di hampir seluruh wilayah Jakarta pada Mei 1998  membuat TRuK membagi tanggung jawab kerjanya. Untuk menangani masalah perkosaan terhadap etnis Tionghoa, dibentuk Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan (TRKP). Ketuanya  saya. Kantor Kalyanamitra yang menjadi pusat koordinasinya.


Prahara Mei 1998 (foto: DW)

Setelah TRKP terbentuk, kami mengumumkan pembukaan hotline untuk pengaduan perkosaan. Kami juga mengumumkan pembukaan kesempatan untuk siapa saja yang mau menjadi relawan. Sesudah itu kami membentuk gugus kerja untuk investigasi lapangan, pendampingan korban, verifikasi,  serta tim data dan  analisa.

Setelah hotline diumumkan dan gugus kerja terbentuk, mulailah  masuk laporan-laporan terjadinya perkosaan di sejumlah tempat di Jakarta Barat, Cengkareng, Jakarta Utara, Pluit, Tangerang,  dan Pondok Bambu-Jakarta Timur. Pengaduan kemudian kami investigasi dan verifikasi terutama untuk mengetahui  identitas korban, lokasi,  dan penyelamatannya. TRKP mencatat ada 150 korban perkosaan.

Proses Investigasi

Kami dari TRKP tidak boleh langsung berinteraksi dengan korban dan keluarganya. Ini untuk menjaga keselamatan dan proses penyembuhan secara medis dan psikologis.  Keselamatan dan indentitas korban harus dirahasiakan.

Setelah laporan perkosaan masuk lewat hotline, tim investigasi kami terjun ke lapangan untuk melihat kebenaran laporan dan menemui keluarga dan korban.  Di saat yang sama tim menghubungi jaringan shelter [tempat penampungan] untuk evakuasi penyelamatan dan penanganan media, setelah keluarga menentukan dimana korban akan berlindung.

Perkosaan Mei 1998 korbannya sangat spesifik yaitu perempuan dari etnis Tionghoa, dan terjadi dalam situasi perubahan politik yang tidak jelas kondisinya. Sebab itu bagi TRUK dan TRKP yang terpenting adalah melindungi keselamatan korban dan keluarganya. Oleh sebab itu korban dan keluarga yang memilih tempat atau shelter yang paling aman. Kami sangat menjaga kerahasian identitas korban.

Keluarga dan korban akan dijemput atau diantar ke shelter atau rumah aman yang dipilih. Pada titik ini tim investigasi dari TRKP harus memutus komunikasi dengan korban. Data tentang korban kemudian diolah dan diserahkan ke bagian pengolahan data di TRuK dan TRKP.

Dalam evakuasi dan penyelamatan korban, TRKP bekerja sama dengan komunitas Budha, suster-suster Katolik, dokter Lie Dharmawan, dan otoritas rumah sakit.

Sebagai kordinator TRKP, saya sendiri tidak langsung terjun ke lapangan menemui korban. Meskipun demikian saya ikut menangani beberapa korban yaitu 2 mahasiswi korban penganiayaan secara seksual di Grogol, keluarga di daerah Tangerang yang anaknya meninggal dalam usia 11 tahun, 2 ibu-ibu di Cengkareng, 1 anak berumur 15 tahun di daerah Kemayoran, dan 2 kakak-beradik di Pondok Bambu, dan 1 perempuan berumur 20 tahun dari Surabaya. Juga menangani keluarga Ita Martadinata.

Saya tidak bisa bercerita secara detil interaksi saya dengan korban dan keluarganya yang sampai sekarang masih sering saya lakukan. Termasuk tentang 1 korban yang lari ke Australia dan 1 ke Amerika. Saya menjadi saksi di pengadilan kota Washington DC tahun 2000 untuk pemberian status kewarganegaraan Amerika pada seorang korban perkosaan.

Beberapa korban perkosaan Mei 1998, bersama dengan korban perkosaan dari Aceh (4 orang), korban dari Papua (2 orang), dan korban dari Timor Timur (sebelum merdeka) bersaksi di hadapan pelapor khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan (UN Special Rappoteur on Violence Against Women, Doktor Radhika Commaraswami), pada Oktober 1998.  

Sebelum Pelapor Khusus PBB datang ke Indonesia, saya bersama Suraya Kamaruzaman dari Aceh, pada Agustus 1998 berangkat ke Colombo, Sri Lanka, menemui Radhika Commaraswami membawa data perkosaan Mei 1998, perkosaan di Papua, perkosaan di Timor Timur, dan perkosaan pada masa DOM Aceh. Data itu kami laporkan.

Berdasarkan laporan itu Radhika kemudian membuat laporan khusus ke Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa,  Swiss. Kemudian, pada Oktober 1998, Radhika mengunjungi Indonesia dan dia hanya diizinkan berada  di Jakarta.

Pertemuan Radhika dengan korban perkosaan Mei 1998, korban perkosaan dari Aceh, Papua dan Timor Timur, serta sejumlah pendamping para korban perkosaan, meyakinkan pelapor khusus PBB itu bahwa benar terjadi perkosaan terhadap perempuan; tindakan itu sebagai alat teror dalam konflik bersenjata dan politik.

Yang membawa kasus perkosaan Mei 1998 ke PBB adalah  UN Special Rapporteur, Doktor Radhika, bukan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta]!  TGPF hanya mengeluarkan laporan eksekutif 6 jilid. Pemerintah Indonesia,  ketika itu menteri luar negeri-nya Hassan Wirayuda, justru yang memveto laporan Radhika.


Sejarah kelam kerusuhan Mei 1998 (foto: ABC) 

Tahun 1999 saya diundang ke Kongres Amerika di Washington untuk menjawab  sejumlah pertanyaan dari Partai Demokrat tentang perkosaan Mei 1998. Saya juga bertemu dengan Menteri luar negeri AS saat itu, Medein Albright. Ke dia saya menjelaskan hal yang sama. 

Sering Diteror 

Sekarang tentang tekanan yang saya rasakan sebagai kordinator TRKP dan orang yang terlibat dalam advokasi masalah perkosaan Mei 1998, di tingkat nasional dan internasional.

Kantor Kalyanamitra yang menjadi tempat dimana TRKP berada beberapa kali mendapat teror dan ancaman. Saat itu kami juga takut dan khawatir. Tetapi jaringan kami cukup kuat; ada YLBHI, INFID, dan ELSAM. Mereka mendukung kami. Almarhum Munir juga terang-terangan di depan publik selalu membela saya dan TRKP. Di tingkat Internasional,  organisasi HAM seperti Amnesti Internasional, Human Right Watch, dan APWLD (Bangkok) selalu memonitor kegiatan kami.

Pengalaman pribadi yang cukup membuat saya ‘stress’ berat adalah percobaan penculikan terhadap anak bungsu saya yang masih duduk di bangku TK. Untung gurunya sangat menjaga dan melindunginya. Kedua anak saya akhirnya dibawa oleh kedua orang tua saya ke Yogya sampai keadaan aman.

Pada awalnya saya mau mundur dari kegiatan advokasi. Tetapi akhirnya setelah saya pikir, kalau saya mundur justru mereka merasa menang dan menghentikan advokasi kami yang bertujuan membuktikan bahwa memang benar tejadi perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Kami bersepakat untuk mengadakan konferensi pers untuk menyatakan: kami tidak takut dan gentar terhadap segala bentuk teror dan ancaman. Dan atas nama korban, kami akan melawan. 

Tubuh Perempuan

Perkosaan massal Mei 1998 adalah teror politik yang menggunakan tubuh perempuan. Tujuannya? Untuk menimbulkan kekacauan, ketakutan, dan trauma massal dalam situasi pergolakan politik dan konflik bersenjata.

Sejarah perkosaan perempuan dalam pergolakan politik dan konflik bersenjata bisa dilacak dari mulai Perang Dunia II sampai yang kontemporer dalam sejarah. Perkosaan Nanking pada Perang Dunia II, Jugun Ianfu [oleh pasukan Jepang terhadap perempuan di negara jajahan mereka], Bosnia-Herzegovina, Rwanda, Kamboja, Timor Leste, Afghanistan, Syria, dan Nigeria.

Di Indonesia sendiri itu terjadi saat peristiwa G30S tahun 1965, pemberlakuan DOM [Daerah Operasi Militer] di Aceh, dan pembasmian kaum separatis di Papua. Juga ketika Indonesia menduduki Timor Timur. Perkosaan dilakukan secara sistematis untuk membungkam perlawanan dan menimbulkan ketakutan.

Sejarah perkosaan tersebut tidak pernah dituliskan dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Justru terjadi proses penyangkalan oleh ‘sejarah’ karena perbuatan itu dianggap aib bangsa dan ‘tidak penting’. Konspirasi ini bagian dari pola pemikiran yang ‘militeristik’, karena perkosaan sebagai cara untuk menundukkan lawan adalah bagian dari ideologi militerisme yang maskulin. Konspirasi menjadi salah satu usaha untuk menyangkal wacana peristiwa Mei 1998.

 

Salah satu keluarga korban tragedi Mei 1998 Ruyati, melintas di mural pelanggaran HAM (foto: Republika)

Sekali lagi, perkosaan Mei 1998 adalah teror politik yang menggunakan tubuh atau seksualitas perempuan, sebagai alat untuk menimbulkan kekacauan, ketakutan dan trauma masal, dalam situasi pergolakan politik dan konflik bersenjata. Penjelasannya?

Gerakan mahasiswa melawan pemerintahan otoriter merebak. Tuntutannya, Soeharto mundur. Eskalasinya sudah dimulai sejak tahun 1997, ketika penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jl. Diponegoro  yang diikuti dengan penangkapan dan penculikan sejumlah aktifis dan mahasiswa yang tergabung dalam PRD [Partai Rakyat Demokrasi]. Puncaknya adalah penembakan di depan kampus Universitas Trisakti yang menewaskan dan melukai mahasiswa. Kekacauan mulai terjadi di mana-mana, khususnya di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Penjarahan berlangsung di pusat-pusat perdagangan, toko-toko grosir (termasuk Goro),  dan pusat-pusat perbelanjaan.

Melawan Lupa

Narasi tentang reformasi yang disosialisasikan sebagai memori kolektif sampai hari ini adalah: 1. Menurunkan pemerintahan Soeharto yang otoriter; 2. Mengembalikan demokrasi;  dan 3. Kemenangan gerakan mahasiswa.  Sejarah peristiwa kekerasan yang menjadi bagian dari reformasi yaitu: perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa, pembakaran terhadap kaum miskin kota yang dituduh sebagai ‘penjarah’ bersamaan dengan pembakaran sejumlah pusat perbelanjaan dan komunitas-komunitas Tionghoa, penculikan dan penembakan terhadap sejumlah mahasiswa, tidak pernah dimunculkan sebagai narasi sejarah reformasi yang penting. Ada upaya sistimatis untuk menghilangkan ingatan sejarah publik tentang reformasi, khususnya tentang perkosaan dengan penyangkalan setiap bulan Mei, menyebarkan  bahwa cerita tentang perkosaan itu bohong atau hoax

Berita tentang konspirasi klasik keterlibatan CSIS, menurut saya, diulang kembali. Karena pada Juni 1998  disebarkan cerita bahwa berita tentang perkosaan Mei 1998 adalah rekayasa dari kelompok non-muslim yang akan menjelekkan Islam. Isu identitas dan agama sudah mulai dipakai pada peristiwa perkosaan Mei 1998. Pada Mei 1998, banyak rumah di pemukiman Tionghoa di daerah  Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Tangerang, yang memasang sajadah di pagar rumah mereka. 

Saya tidak optimis bahwa perkosaan massal Mei 1998 akan diungkap dan diakui. Sebab saksi korban harus bersaksi sebagai tanda bahwa itu terjadi. Padahal seperti yang sudah saya katakan tadi, perkosaan massal ini adalah perkosaan politik dan merupakan alat teror dalam situasi konflik bersenjata atau perubahan politik. Apalagi perempuan korban yang disasar adalah mereka yang selama ini didiskriminasi secara sistematis (perempuan dari etnis Tionghoa), atau perempuan itu adalah anggota dari sebuah komunitas yang menjadi lawan politik dari penguasa (contoh: perempuan dari keluarga GAM di Aceh serta perempuan anggota Gerwani untuk peristiwa September 1965).

Undang-Undang dan peraturan hukum belum berpihak pada perempuan dan melindungi hak-hak perempuan dan perempuan korban kekerasan terhadap perempuan. Penyangkalan berlangsung terus-menerus setiap tahun dengan menggunakan sentimen dan identitas agama.

Para korban sendiri, sebagai Tionghoa yang mengalami diskriminasi secara sistematis baik oleh negara maupun oleh masyarakat khususnya pada masa Orde Baru, memilih untuk diam dan membiarkan semua kembali normal. Meskipun mereka trauma dan tetap dalam kondisi ketakutan.

Penyelesaian kasus ini, menurut saya, bisa dilakukan lewat langkah-langkah berikut. Pertama, penulisan sejarah kembali yang basisnya adalah suara dan pengalaman perempuan sebagai korban. Kedua, peristiwa Mei 1998 ditulis sebagai sejarah perjalanan bangsa, termasuk tentang perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa, ke dalam pengajaran sejarah di sekolah. Ketiga, disahkannya RUU Anti Kekerasan Seksual.

Memori kolektif tentang pelanggaran HAM masa lalu menjadi bagian dari pendidikan publik. Apalagi Presiden BJ Habibie tahun lalu pernah mengakui bahwa perkosaan massal memang terjadi. Pengakuan  Presiden Habibie bahwa perkosaan massal harus ditulis kembali dan disebarkan kembali sebagai ingatan sejarah publik, untuk melawan lupa dan impunitas.