Kontroversi Selepas Quick Count (Tulisan-1)

Menggugat Kesahihan Hasil Hitung Cepat

Jakarta, law-justice.co - Pemilihan Umum serentak pada 17 April minggu lalu masih menyisakan hiruk pikuk, terutama di kalangan para pendukung masing-masing pasangan calon (paslon). Kegaduhan nyata betul di sejumlah platform media sosial seperti Facebook, Twitter dan grup-grup WhatsApp. Upaya rekonsiliasi yang sempat digagas calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) gagal mewujud.  

Usai bertemu dengan para ketua umum partai politik Koalisi Indonesia Kerja yang menjadi pengusungnya pada Kamis (18/4), Jokowi  mengatakan kepada pers bahwa  ia telah mengirim utusan untuk menemui  Prabowo. Belakangan terbetik kabar, Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, utusan itu. Pertemuan yang sedianya dijadwalkan pada Minggu (21/4), ternyata urung.

Baca juga : Hajar Inggris 5-0, Tim Thomas Indonesia Berada di Puncak Klasemen

Luhut mengungkapkan, dirinya telah berkomunikasi dengan Prabowo lewat telepon. Keduanya berencana bertemu pada Minggu 21 April  tapi batal karena Prabowo kurang sehat.  

Pada Rabu (24/4) saat acara syukuran dan konsolidasi pengawalan pemenangan Prabowo-Sandi di Padepokan Pencak Silat, TMII, Jakarta Timur, Ketua Badan Pemenangan Nasional ( BPN) Prabowo-Sandi, Jenderal Purnawirawan Djoko Santoso tegas menyatakan, Prabowo Subianto telah menolak utusan Jokowi yang ingin bertemu usai Pemilu 2019.

Baca juga : Diberi Karpet Merah, Prabowo-Gibran Hadiri Acara Halal Bihalal PBNU

"Tidak ada kompromi. Syukur Alhamdulillah (Prabowo) itu menolak utusan-utusan itu. Pak Prabowo setia kepada kita semua dan kita harus setia kepada Prabowo-Sandi," tegas Djoko Santoso.

Wakil Ketua BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Priyo Budi Santoso, menyatakan rekonsiliasi nasional akan dilakukan setelah ada `ketok palu` atau ketetapan presiden dan wakil presiden definitif periode 2019-2024 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Politikus Partai Berkarya itu menambahkan pihaknya masih sibuk untuk mengawal dan mengawasi proses perhitungan suara Pilpres 2019.

Baca juga : Terkait Narkoba, Aktor Rio Reifan Kembali Ditangkap Polisi

"Kami sekarang perintahkan ke seluruh partai politik koalisi termasuk utamanya adalah para relawan semuanya untuk menempel dan mengawal penuh untuk perhitungan suara," kata Priyo.

Sejauh ini rekonsiliasi belum mewujud sebab masing-masing kubu sama-sama merasa sebagai pemenang. Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, misalnya, pada malam setelah pencoblosan (17/4) mendeklarasikan kemenangan dan bersujud syukur untuk keberhasilan itu, di rumahnya, di Jalan Kertanegara 4, Jakarta. Dasar klaim kemenangan keberjayaan ini adalah hasil hitungan nyata atau real count yang dilakukan tim internalnya yakni 62%.

Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Djoko Santoso menyatakan angka 62% sudah bulat. Dia meminta para relawan dan pendukung menjaga betul suara Prabowo-Sandi agar terbebas dari kecurangan.

 
Dua kubu saling klaim kemenangan (ilustrasi: tirto)

Kubu Prabowo-Sandiaga menilai dukungan masyarakat terhadap mereka terlihat nyata di lapangan. Sepuluh hari menjelang pencoblosan tepatnya pada 7 April 2019, paslon nomor urut 02 menyelenggarakan kampanye akbar di Stadiun Utama Gelora Bung Karno. Kehadiran massa  pendukung yang membludak membuat Badan Pemenangan Nasional (BPN) optimis memenangi pemilu 2019. Hajatan tersebut mereka yakini sebagai barometer kemenangan.

"Konstestan politik yang mampu memenuhi GBK biasanya keluar sebagai pemenang kontestasi Pemilu. Mulai dari Gus Dur, Megawati, SBY, dan hingga Joko Widodo (Pilpres 2014) pernah merasakan atmosfer tersebut," ujar Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Nizar Zahro di Jakarta, Senin (8/4).

Mulai Bermanuver

Tak seperti BPN, partai anggota koalisi pengusung capres Prabowo-Sandi—PKS, PAN, dan Partai Demokrat—ternyata menyatakan dukungan terhadap hasil quick count yang menyatakan Jokowi-Ma’ruf pemenang. Indikasi awal muncul dari Partai Demokrat (PD). Ketua Umum partai berlambang bintang Mercy ini, Susilo Bambang Yudhoyono, menginstruksikan agar seluruh kader partainya yang ‘berdinas’ di BPN agar kembali untuk konsolidasi.

Surat perintah dari SBY yang beredar sehari setelah pencoblosan tersebut ditujukan ke beberapa petinggi PD termasuk Sekjen selaku Pelaksana Tugas Harian Hinca Panjaitan, Wakil Ketua Syarief Hasan. Surat juga ditembuskan ke Komandan Komando Tugas Bersama (Dankogasma) Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY. Ketua Dewan Kehormatan PD Amir Syamsudin membenarkan vailiditas surat tersebut.

"Betul," kata Amir saat dimintai konfirmasi Tirto.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS),  seperti halnya Partai Demokrat, juga berbeda sikap dengan BPN, dalam menanggapi quick count sejumlah lembaga survei. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyatakan memercayai hasil hitung cepat yang dirilis sejumlah lembaga.

"PKS sangat percaya quick count, survei, itu punya metodologi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan,"  kata dia kepada Kompas, pada 18 April lalu.

 
Prabowo di acara syukuran dan konsolidasi di TMII (Foto: Robinsar Pangaribuan/Law-Justice.co)

Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan juga memberi pernyataan senada. Akurasi lembaga survei dalam memprediksi hasil pemilu, menurut dia, sudah terbukti di berbagai pemilu.

"Hampir bisa dikatakan akurasinya 90% sama dengan hasil Komisi Pemilihan Umum," ujarnya, seperti dilaporkan CNN Indonesia, Kamis (25/4).

Lebih lanjut Bara meminta Djoko (Ketua BPN Djoko Santoso) untuk tidak memanaskan suasana usai pemungutan suara. Menurut Bara seharusnya Djoko memberi pengertian kepada pendukung Prabowo-Sandi agar menerima hasil yang ada.  "Jadi harus menempatkan kepentingan bangsa dan menghormati proses demokrasi yang masih berlangsung,"

Jangan Berlebihan

Klaim kemenangan kubu paslon nomor urut 01 didasari pada hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, termasuk Litbang Kompas. Tiga jam setelah pencoblosan, beberapa lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat yang mencatat kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amien. Koran Kompas edisi cetak esok harinya 18 April bahkan menampilkan headline halaman 1 hasil hitung cepat litbang mereka. Data sampel masuk 97%.  Jowowi Ma’ruf meraih  54,52%  suara, Prabowo-Sandi 45,48%.  

Begitupun, kubu paslon nomor urut 01 lewat Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi – Ma’ruf, Hasto Kristiyanto, tetap mengimbau agar seluruh pendukung tidak bereuforia betul. Dia bahkan melarang pendukung 01 untuk tidak berlebihan meluapkan kegempiraan.

"Semua diimbau untuk tidak melakukan hal-hal euphoria berlebihan karena di depan terbentang sebuah tanggung jawab bagi kita bersama. Tanggung jawab bahwa kepercayaan rakyat itu harus dipakai untuk membangun Indonesia kita membawa kemampuan bagi Indonesia kita," kata Hasto di kediaman Megawati di Jalan Kebagusan, Jakarta Selatan, Rabu (17/4).

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menilai hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dianggap tidak benar, hoaks, dan menyesatkan. Tim advokasi BPN pun melaporkan sejumlah lembaga survei ke KPU. Mereka menuding sejumlah lembaga survei itu telah menjadi  tim sukses pasangan calon tertentu.

"Yang dilaporkan ada LSI Denny JA, kemudian Indo Barometer, Charta Politika, SMRC, Poltracking dan Voxpol. Beberapa lembaga survei ini kami menduga mereka pasti ada orderan untuk kemudian membuat quick count seperti ini," kata Koordinator Pelaporan,  Djamaluddin Koedoeboen, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/4).

Wacana bahwa lembaga survei yang mengumumkan hasil quick count dibayar paslon tertentu terus bergulir. Sebuah artikel umpamanya, muncul  pada 23 April 2019 di situs berita RMOL, berjudul ‘Terungkap, Prabowo Tolak Proposal LSI Denny JA’. Isinya  menuding lembaga survei milik Denny JA mendapat bayaran untuk memenangkan paslon tertentu. Berita ini di-share di grup WA dan mendapat banyak respons. Postingan berikut ini merupakan cerminan gambaran suasana di medsos.

“Bermula dari sebuah berita RMOL yang di-share di sebuah grup WhatsApp pagi ini, Kamis (25/4). Saya kebetulan menjadi salah satu anggota grup. RMOL mengutip keterangan Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Mulyadi yang mengungkap adanya pertemuan antara pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, dengan Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, Jawa Barat menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.

Pada pertemuan itu Denny JA menyampaikan maksud kedatangannya kepada Prabowo, yaitu ingin membantu pemenangan paslon Pilgub DKI 2017 Anies Baswedan-Sandiaga Uno, tapi dengan syarat. Syaratnya, jadi konsultan calon kepala daerah dari Gerindra pada pilkada 2018,” tulis RMOL yang mengutip penjelasan seseorang bernama Mulyadi.

 
Denny JA, Prabowo, Muladi (foto: Rmol)

Pertemuan antara konsultan politik dan sang klien yang seorang politisi seharusnya menjadi hal biasa. Barangkali mirip dengan kebiasaan seorang pengacara. Namun, dalam situasi politik yang gaduh seperti saat ini dimana polarisasi dua kubu pendukung paslon sangat runcing, dating klien-konsultan ini menjadi sorotan kalangan tertentu.

Denny JA selama ini dipersepsikan sebagai pendukung pasangan calon presiden 01 Jokowi-Ma’ruf Amien yang merupakan lawan politik Prabowo Subianto di ajang pilpres 2019. Menurut seorang politisi yang juga mantan anggota DPR RI, Djoko Edhie S Abdurrahman, LSI Denny JA telah dikontrak kubu petahana Jokowi senilai Rp 43 miliar untuk menjatuhkan Prabowo-Sandi. Terlepas benar atau tidak tudingan tersebut, Denny JA telah ditempatkan sebagai sosok yang bukan hanya sebagai pendiri lembaga survei yang independen tetapi dia terlibat jauh melakukan intervensi demi memenangkan klien.  

Denny JA Menjawab

Di grup WhatsApp yang juga berunsurkan Denny JA ini, muncul ‘gugatan’ anggota grup agar yang bersangkutan menyahuti. “Kepada Saudara Deny JA Harap Tanggapi Hal ini…” tulis seorang anggota. Yang lain menimpali,” Demi nama baik semua pihak dan integritasnya.” Sementara yang lain mengamini sambil menambahkan,” perlu klarifikasi.’

Sekitar 25 menit kemudian setelah berita RMOL di-share di grup, Denny JA pun merespons:

“Hahaha…” tulisnya.

Meski tidak tegas membantah tudingan tersebut, dia menulis bahwa dirinya sudah menerima ‘segudang’ tuduhan sejak 2004. “Di 2019, ini: kerjasama mengubah hasil quick count dari Jokowi kalah menjadi menang (jelas ini lebih berat), sampai dikontrak 43 M (jelas ini terlalu murah), dll.”

Tentang fee Rp 43 miliar, dia menanggapi dengan mengatakan,” terlalu kecil 43 M untuk 190 pemilih. Berarti satu kepala dihargai 250 rupiah! Penghinaan!!!

Kepada Seruji Denny mengatakan pertemuan dengan Prabowo itu adalah hal yang biasa saja bagi dirinya dan lembaga yang ia pimpin. “Apa masalahnya? LSI Denny JA itu memang lembaga survei dan konsultan politik yang terbuka untuk semua partai. Ini kan sudah menjadi pengetahuan umum.”

Jurdil2019

Sebenarnya selain 6 lembaga survei yang dilaporkan Tim Advokasi BPN plus Litbang Kompas ada juga beberapa lembaga yang merilis hasil berbeda. Salah satunya adalah Jurdil 2019. Berdasarkan hasil perhitungan mereka dari 1.575 TPS di 34 provinsi per 18 April 2019 pukul 15.20 WIB, Prabowo-Sandiaga mendapat 58,1%  suara, sementara Jokowi-Ma`ruf hanya 39,5%.. Suara tidak sah, menurut lembaga ini, 2,4%.

Danu Herlambang, Helpdesk Platform jurdil2019.org, mengatakan, hasil perhitungan didasari pada data formulir C1 yang mereka kumpulkan dan catat. Dia menegaskan,  pengumpulan itu dilakukan secara independen tanpa memihak salah satu pasangan calon (paslon).

“Kita menyebar seluruh Indonesia, full semua diverifikasi sesuai data Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU),” ujarnya kepada Winna Widjaja dari Law-Justice.co. Dia menambahkan  sumber dana dalam memobilisasi pengumpulan data lapangan merupakan hasil patungan dari para Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia.

Data terakhir saat Law-justcie.co memantau website jurdil2019.org, tercatat suara Prabowo-Sandi 59.9% (899.585 suara) dan Jokowi-Ma’ruf 38.1% (576.957 suara). Sebanyak 1.6%  suara tidak sah (24.317 suara). Data dihimpun dari 7.358 TPS yang tersebar di 34 provinsi. 

Kini situs yang berada dalam naungan PT Prawedanet Aliansi Teknologi (PAT) tersebut telah diblokir Kementrian Kominfo sejak 20 April 2019. Jurdil2019.org. Masalahnya?  Ia dianggap sebagai situs negatif. Sebelumnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah mencabut akreditasi dan sertifikat PT Prawedanet sebagai pemantau pemilu karena dinilai tidak netral. Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan pencabutan akreditasi dilakukan karena PT PAT dianggap kelompok yang berpihak pada salah satu calon presiden dan wakil presiden. Hal itu, dibuktikan dari sejumlah platform milik PT PAT yang menunjukan simbol-simbol salah satu calon.

“PT Prawedanet terindikasi bersikap tidak netral,” ujar Fritz saat menggelar konferensi pers di Kantor Bawaslu, Selasa, 23 April 2019.

Sekadar informasi, Jurdil2019 didirikan oleh alumni Intitute Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973. Lokasi tabulasi C1 (formulir hasil penghitungan suara) berlangsung dalam sebuah bangunan gedung di Jalan Tebet Dalam IV, Jakarta Selatan. Seluruh pengelolaannya dilakukan oleh sejumlah relawan lintas-alumni perguruan tinggi, jumlahnya tak lebih dari 20 orang.

Platform jurdil2019.org mengklaim bukan lembaga survei, melainkan komunitas yang mengumpulkan dan mencatat formulir C1 yang dikumpulkan langsung dari partisipasi masyarakat. Tujuannya mengamankan suara tersebut sampai ke tingkat akhir. Hasil itu dikatakan sebagai hasil real count yang dikumpulkan dari 34 provinsi di Indonesia, dan dari luar Indonesia. Prosesnya menggunakan aplikasi jurdil2019 yang bisa diinstal melalui Playstore dan Appstore.

Politik Identitas Meruncing

Salah satu sumber kegaduhan sejak menjelang pilpres 2019 adalah meruncingnya politik identitas, dalam hal ini agama. Tidak dipungkiri lagi politik identitas menguat selama pemilu yang tingkat partisipasi pemilihnya tergolong tinggi. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga pukul 23.00 pada hari pencoblosan, Rabu, 17 April 2019, partisipasi di dalam negeri mencapai 77,5%.

 

Reuni 212 dihadiri jutaan orang (foto: tirto)

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fachry Ali, seperti dikutip Tempo Jumat (19/4), menilai tingginya partisipasi masyarakat secara ideologis tak lepas dari daya eksotis dalam pemilu. Terutama munculnya persaingan pandangan politik antara kubu calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. "Pandangan politiknya apa? Pandangan politik Islam kota yang diwakili oleh Prabowo, dan pandangan politik penggabungan antara kaum nasionalis dengan Islam tradisional di Jokowi," ujar Fachry.

Sebenarnya, penguatan sudah mulai terjadi sejak Jokowi berkampanye untuk Pilpres 2014 dimana saat itu dia berpasangan dengan Jusuf Kalla. Kompetitornya adalah pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ia kerap diganggu dengan tuduhan tidak cukup relijius bahkan beragama Kristen. 

Pada pilpres 2019 kali ini, Jokowi memutuskan menunjuk tokoh ulama senior KH Ma’ruf Amien sebagai pasangannya. Itu bukan tanpa maksud. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diharapkan dapat meng-counter narasi yang menuding dirinya tidak relijius.

NU sejak dulu hingga kini masih konsisten mempromosikan bentuk Islam moderat yang menganut prinsip Pancasila—ideologi negara Indonesia yang mendukung pluralisme. Ini bertentangan dengan ide pembentukan kekhalifahan dan adopsi syariah (hukum Islam) sebagai hukum positif di Indonesia.

Sementara kubu Prabowo, yang berkoalisi dengan PKS dan Partai Amanat Nasional, mendapat dukungan dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, kekuatan mobilisasi politik yang muncul sejak Pilkada DKI Jakarta. Dukungan GNPF secara resmi disampaikan dalam rapat pleno Ijtima Ulama II di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat, Minggu (16/9/2018).

Prabowo pun bersedia menandatangani Pakta Integritas yang diajukan oleh GNPF. Salah satu janji dalam daftar tersebut adalah memperbanyak Perda Syariah disamping pemulangan dan rehabilitasi Habib Rizieq, pimpinan Front Pembela Islam (FPI) yang saat ini masih berada di Mekkah. Sejak tersandung kasus terkait dugaan chat mesum dengan Firza Husein dan dugaan penodaan simbol negara yang dilaporkan Sukmawati Soekarnoputri, Rizieq pergi ke Mekkah pada April 2017. Hingga kini ia masih belum kembali ke Tanah Air.

Pembelahan dua pandangan politik ideologis inilah, menurut Fachri, yang kemudian menjadi daya tarik. Pandangan politik itu pulalah, ujar dia, yang membedakan antara pemilihan presiden tahun ini dengan 2014. "Ini yang kemudian menimbulkan rasa penasaran. Keduanya diterjemahkan dalam bentuk partisipasi," kata Fachry.

Kontributor laporan: Winna Widjaja