Pemilu Kita dalam Lintasan Sejarah

Golkar yang Kelewat Hegemonik

Jakarta, law-justice.co - Pemilihan Umum sebenarnya sudah dicanangkan tak lama setelah Republik Indonesia terbentuk. Pada 5 Oktober 1945 misalnya, pemerintah sudah mengumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan persiapan pelaksanaan Pemilu. Namun, berhubung situasi yang tak menguntungkan, barulah pada 29 September 1955 pemberian suara tersebut bisa dilangsungkan. Sebagai yang perdana, wajar kalau suasana kala itu agak lain dengan beberapa hajat serupa belakangan. Yang paling menonjol waktu itu adalah kegairahan massa untuk ikut serta.

Pada 29 September 1955 warga negara yang berusia 18 tahun ke atas atau belum setua itu tapi sudah berumah tangga, berbondong ke TPS. Alam Demokrasi Liberal tampaknya turun berperan dalam membangkitkan hasrat mereka untuk mencoblos tanda gambar atau menuliskan pilihan. Tak kurang dari 172 macam tanda gambar untuk 28 kontestan (partai, organisasi, perorangan) yang bisa mereka pilih. Jadi, kalau dibanding dengan sekarang, ragam pilihan ini bak langit dengan bumi.

Baca juga : Bursa Cagub Terkini Jakarta Pilkada 2024: Ahok, RK, hingga Anies

 Memang, tak semua rakyat yang bersemangat menyongsong pesta demokrasi itu. Penduduk di kawasan yang masih bergolak—terutama  Jabar (DI/TII) dan di Sulawesi (Kahar Muzakar)—banyak yang tak ambil bagian. Meski demikian dari segi partisipasi rakyat, Pemilu ‘55  yang memperebutkan 257 kursi di DPR ini sangat sukses. Sekitar 91,45% dari 43.104.464 yang terdaftar, turut memberi suara di 95.532 TPS. Yang tak menggunakan hak pilihnya dianggap sekitar 6% saja. Sebab sekitar 2,5% pemilih yang terdaftar dianggap telah meninggal selama 12-17 bulan masa pendaftaran.

 Selain tingkat partisipasi rakyat yang tinggi, Pemilu pertama ini berjalan lancar, aman, tertib, aman, bebas dan rahasia. Sehingga pengamat politik Alfian (1971) menyebutnya sebagai “pelaksanaan hak politik rakyat yang paling baik dan bersih di bumi ini.”

Baca juga : Ini Respons Golkar Soal Nasdem Gabung Koalisi Prabowo

 

Logistik Pemilu 2019. (Foto: Robinsar Nainggolan)

Baca juga : Projo Jagokan Ridwan Kamil dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

Kontestan yang paling beruntung waktu itu adalah NU. Partai yang punya basis pengikut di Jawa Timur ini  membukukan terobosan besar, dengan merebut 45 kursi. Padahal sebelumnya, di masa DPR-S, kursi perolehan mereka hanya delapan. Dari peringkat ke-10 mereka menyodok urutan ke-3. Perolehan kursi PKI juga melonjak dari 17 menjadi 39 buah, meski posisinya tetap di anak tangga ke-4. Sedangkan partai terbesar, PNI dan Masjumi, masing-masing  tetap dengan 57 kursi. Dengan pemilu ‘55 ini maka kelompok empat besar menjadi  PNI, Masjumi, NU dan PKI. Secara agregat, keempatnya  meraih 78% suara.

 Setelah 1955, Pemilu berikutnya baru dilangsungkan pada 1971. Ada perubahan besar dalam atmosfir politik pada pemungutan suara kedua ini. Yang pertama adalah transformasi kekuasaan ke tangan Orde Baru. Kemudian, supremasi parpol yang pudar sejak Pemilu ‘55. Hasil Pemilu perdana tadi ternyata tak menjamin stabilitas kabinet. Malah krisis kabinet tak berkesudahan sehingga Bung Karno memberlakukan  Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian tinggal Presiden Soekarno yang punya kekuatan politik riil.  

Maka, ketika pemerintah menggunakan Sekber Golkar sebagai mesin Pemilu pada 1971, sebenarnya jalannya praktis sudah lempang. Tak banyak yang harus dibuldozer. Masyumi yang dikenal punya basis luas, sudah dikubur waktu masih  zaman Orde Lama. PKI telah diganyang menyusul G30S. Sedangkan PNI, yang merupakan saingan paling potensial, sebagian sayapnya telah dipotong. Unsur-unsur “kiri’ di tubuh partai Marhaen ini telah dibersihkan setelah tragedi nasional tersebut. Akibatnya, kekuatannya sudah tak utuh. Lebih malang lagi, jaringan mereka dalam birokrasi terpotong dengan pemberlakuan ‘monoloyalitas’ kepada Golkar di kalangan pegawai negeri. Maka tinggal NU yang masih bertahan. Memang hasil Pemilu ‘71 memperlihatkan konfigurasi ini.

Meski peta pertarungan telah berubah total, pemerintah Orde baru tetap menganggap Pemilu yang pertama mereka selenggarakan itu sebagai ujian serius bagi konsolidasi kekuatannya. Karena itu mereka mengerahkan segenap daya serta menerapkan berbagai cara untuk memenangkan Golkar. Cara-cara pengerahan massa yang modusnya berbeda dengan cara yang dipakai tahun 1955, akan dipertahankan seterusnya. Termasuk pada pemilihan 1997.

Menurut R. William Liddle, untuk kampanye 1971 Golkar diambil alih Depdagri, Dephankam, dan sekelompok intelektual Orba yang punya hubungan dengan Ali Moertopo (CSIS). Selain itu para militer aktif yang mengisi banyak jabatan strategis dalam birokrasi turut menopang Sekber Golkar termasuk dalam pemberlakuan konsep monoloyalitas tadi. Arsitek Orde Baru Ali Moertopo tak membantah kalau unsur ketersediaan dana, dukungan pejabat terutama dari  ABRI, pembentukan serta pengerahan KORPRI, dan  penggunaan intimidasi turut berperan dalam keberhasilan Golkar merebut  62,8% (PNI hanya 6,9%, kalah dibanding NU yang 18,7%) suara pada Pemilu ‘71. Meski demikian, kata Ali Moertopo waktu itu, faktor utama dalam sukses ini adalah keyakinan dan harapan masyarakat pada Golkar, kontestan yang tak pernah mengalami stagnasi historis. Barangkali ada benarnya.

Namun selanjutnya berbagai regulasi yang menguntungkan Golkar lebih merupakan faktor determinan. Seperti kebijakan massa mengambang, penyederhanaan partai dari 10 menjadi tiga (tahun 1973), azas tunggal, serta penghilangan identitas tradisional PPP dan PDI (misalnya tanda gambar). Yang terbaru mungkin adalah pemberlakuan kebijakan ‘kampanye dialogis’ yang tujuannya menghindari pengerahan massa secara masif. Alasannya untuk mencegah gejolak.

 Memang setelah 1971, Golkar berhasil mempertahankan supremasinya dalam empat Pemilu berikutnya. Mereka tetap menang mutlak pada Pemilu ‘77, ‘82,  ‘87 dan ‘92 dengan perolehan suara masing-masing 62,2%, 64,3%, 73,2% dan 68%.   Tapi eksesnya adalah terbentuknya apa yang disebut Afan Gaffar sebagai sistem kepartaian hegemonik. Yaitu adanya sebuah partai atau sebuah koalisi partai yang mendominasi proses politik sebuah negara dalam kurun waktu panjang. Menurut dia, sistem ini dibangun dengan aparat yang represif, depolitisi massa atas nama tertibnya tatanan politik serta stabilitas, restruksi parpol secara paksa serta pembuatan sejumlah peraturan yang menguntungkan Golkar.