Kasus Tanah dan Kekuasaan dalam Puisi-puisi Wiji Thukul

Jakarta, law-justice.co - Tanah mestinya di bagi-bagi
jika cuma segelintir orang yang menguasai
bagaimana hari esok kamu tani

Tanah mestinya ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini
jika sawah diratakan
rimbun semak pohon dirubuhkan
apa yang kita harap dari cerobong asap besi
hari ini aku mimpi buruk lagi
seekor burung kecil menanti induknya
di dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi
(Wiji Thukul, Tanah: 1989)

Perkara tanah, penguasaan, dan kekuasaan menyeruak muncul dalam debat calon Presiden tahap II tentang infrastruktur, sumberdaya alam dan lingkungan hidup tanggal 17 Februari 2019. Hal ini, dipicu pernyataan capres nomor urut 01 Joko Widodo yang mengkonfirmasi adanya penguasaan tanah ratusan ribu hektare oleh capres nomor urut 02 Prabowo Subianto di Kalimantan dan Aceh. 

Hingga sekarang, resonansi pernyataan tersebut bergulir bagai bola liar dan menyingkap kotak pandora politik penguasaan tanah di masa lalu, utamanya di masa Orde Baru (Orba), serta memperlihatkan satu akar masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria.

Ada banyak kajian dan literatur menyangkut soal penguasaan tanah di masa Orba, baik dari sudut pandang studi agraria, antropologi, politik, hukum dan sejarah. Dan tulisan ini, mencoba melihat dari sudut pandang ekspresi budaya, bagaimana perkara tanah dan kekuasaan dalam teropong penyair. 

Wiji Thukul, adalah seorang penyair yang di masa Orba banyak menulis puisi protes dan tema tanah dan kekuasaan yang banyak ditemukan dalam antologi puisi “Nyanyian Akar Rumput”.  Hingga kini, penyair pelo kelahiran Solo ini tak diketahui rimbanya. Menurut investigasi Komisi Nasional (Komnas) HAM, Wiji termasuk salah satu aktivis yang diculik dan hilang di masa-masa akhir Orde Baru menjelang kejatuhan Soeharto.  

Rekaman memori mengenai perkara tanah mulai terlihat ketika Wiji menulis puisi tentang kondisi kotanya, Solo. Jalan-jalan dilebarkan, kampung-kampung tergusur bahkan sampai harus tinggal di di pinggir selokan. Dalam puisi Apa Yang Berharga Dari Puisiku dia menulis bait tentang harga tanah yang makin mahal.

… apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah di tanah-tanah pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?

Di puisi-puisi selanjutnya, Wiji melihat bahwa perkara tanah ternyata bukan hanya soal harga yang mahal, tetapi terkait dengan kekuasaan. Sehingga dalam puisi Nyanyian Akar Rumput, soal tanah harus juga menjadi gugatan kepada presiden.
Puisi ini ditulis tahun 1989, ketika rezim Orba kukuh berdiri dan lembaga kepresidenan sangat tabu untuk dikritik.

Jalan raya dilebarkan, kami terusir
Mendirikan kampung, digusur
Kami pindah-pindah
Menembel di tembok-tembok
Dicabut, Terbuang
Kami rumput, butuh tanah
Dengar !
Ayo gabung ke kami,
Biar jadi mimpi buruk presiden!

Kasus tanah adalah salah satu problem akar rumput yang menjadi arena perjuangan perlawanan Orba yang gaungnya bukan hanya terasa di tingkat lokal maupun nasional, tetapi juga di tingkat internasional.

Kasus Kedung Ombo merupakan salah satu kasus tanah yang mendapat perhatian internasional, karena pembangunan waduk di segitiga Boyolali, Grobogan dan Sragen yang dibiayai donor internasional ini menggusur ribuan warga dengan ganti rugi yang tidak adil dan ada praktik pelanggaran HAM dalam bentuk intimidasi dan stigmatisasi.

Merebaknya kasus tanah dan perlawanan rakyat dan keterlibatan gerakan mahasiswa dan pemuda didalamnya menjadi pembeda dari perlawanan melawan rezim Orba di masa-masa sebelumnya, ketika rezim ini berdiri dan mengkonsolidasikan kekuasaannya. 

Hingga dekade akhir tujuh-puluhan, gerakan perlawanan Orba lebih merupakan persekutuan mahasiswa kritis, elite politik dan militer yang tersingkir dengan isu utama pergantian kepemimpinan nasional dan belum menyentuh akar persoalan massa akar rumput. 

Sementara itu, gerakan mahasiswa dan massa di akhir dekade delapan-puluhan hingga jatuhnya Soeharto di tahun 1998 mengkombinasikan problem-problem akar rumput, militerisme, korupsi dan otoritarianisme Soeharto. 

Puisi-puisi tentang tanah yang ditulis Wiji pun makin memperlihatkan bahwa problem tanah adalah problem kekuasaan dan kerakusan pembangunan. Dalam puisi “Ceritakanlah Ini Kepada Siapapun”, Wiji menuliskan apa yang terjadi tentang pembangunan waduk ini.

Panas campur debu, terbawa angin kemana-mana
Koran hari ini memberitakan kedungombo menyusut kekeringan,
Korban pembangunan dam muncul kembali ke permukaan
Tanah-tanah bengkah, pohon-pohon besar malang melintang
Makam-makan bangkit dari ingatan mereka yang dulu diam

Kali ini, cerita itu siapa akan membantah
Dasar waduk ini dulu dusun rumah-rumah
Waktu juga yang menyingkap retorika penguasa

Walau Senjata ditodongkan kepadamu
Walau sepatu diatas kepalamu, diatas kepalaku, diatas kepala kita
Ceritakanlah ini kepada siapapu
Sebab cerita ini belum tamat

Tidak hanya derita rakyat waduk Kedung Ombo yang dituliskan, berkat keterlibatannya dalam pengorganisasian buruh melalui pengembangan teater rakyat, Wiji mendapatkan kesaksian mengenai proses transformasi dari kelas pemilik tanah gurem menjadi kelas buruh. Puisi yang berjudul Gunungbatu merupakan kesaksian sebuah kawasan perkebunan di Sukabumi yang seluruh warganya menjadi kuli diatas tanahnya sendiri. 

Gunungbatu,
Desa yang melahirkan laki-laki
Kuli perkebunan, seharian memikul kerja
Dijaga mandor dan traktor

Gunungbatu,
Desa terpencil jawa barat
Dipagari hutan, dibatasi pantai-pantai cantik
Ujung genteng, cibuaya, pangumbahan
Sulit transportasi -Jakarta dekat-
Sulit komunikasi

Gelegak perlawanan rakyat di kasus-kasus tanah berbagai wilayah kemudian melahirkan inisiatif dan desakan adanya pembaruan agraria,pengorganisasian serikat tani dan pendokumentasian sengketa agraria. Dari sinilah terakumulasi betapa penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia selalu berimpitan dengan kepentingan elite penguasa dan melibatkan militer sebagai unsur koersif dan represif penguasaan agraria. 

Tidaklah mengherankan ketika di masa reformasi ada upaya untuk mengakhiri praktik bisnis di kalangan tentara, teridentifikasi jutaan hektare tanah (sebagian besar merupakan wilayah hutan) dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi atas nama koperasi dan yayasan kesatuan-kesatuan militer.

Untuk meredam perlawanan rakyat di kasus-kasus tanah, selain menggunakan represi aparat militer, rezim Orba juga rajin memberi stempel komunis/subversif pada warga yang memprotes penggusuran dan menuntut ganti rugi. Dari puisi Peringatan,  Wiji Thukul memperlihatkan walau stigma komunis itu ditempelkan tidak mampu menghentikan perlawanan.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang  
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan  
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan  
Maka hanya ada satu kata: lawan!.

Meski kasus-kasus tanah bermunculan dan disertai dengan aksi-aksi protes di berbagai tempat, namun kala itu tak banyak liputan media massa mengenai gerakan protes ini. Surat kabar dan televisi dibawah kontrol rezim Orba dengan mantra "Pers Bebas Bertanggungjawab" hanya memberitakan sekilas lalu tanpa kedalaman informasi. 

Mensiasati pembungkaman arus informasi itu, muncul ide kreatif dari para aktivis gerakan agraria berkolaborasi dengan gerakan perempuan, hak asasi manusia dan bantuan hukum serta seniman dan mahasiswa untuk membuat kalender berjudul Tanah Untuk Rakyat dan disebar kepada publik. 

Ilustrasi utama yang menjadi wajah dominan kalender ini adalah lukisan realis seniman Yayak Kencrit yang menggambarkan penggusuran tanah rakyat di Kedung Ombo, Nipah, Badega, Cimacan dan beberapa wilayah sengketa agraria.

Penggambaran penderitaan rakyat dikontradiksikan dengan pesta pora penguasa dengan gambar serupa wajah-wajah elite Orde Baru serta perilaku represif aparat militer lengkap dengan persenjataannya. Di pojok kanan bawah kalender ini tertulis puisi Wiji berjudul Tentang Sebuah Gerakan.

tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

Distribusi yang meluas dari kalender ini, membuat kemarahan Orba. Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia hingga perlu mengeluarkan larangan peredaran kalender ini pada tanggal 2 Mei 1991. Kejaksaan Tinggi Yogyakarta pun menetapkan illustrator kalender ini, Yayak Kencrit, masuk dalam daftar pencarian orang hingga pelukis lulusan ITB ini menjadi eksil di Jerman dan baru bisa masuk Indonesia setelah kejatuhan Soeharto. Begitu juga dua mahasiswa UKSW Salatiga, Buntomi dan Mathius Hosang ditangkap dan diinterograsi aparat militer dengan tuduhan menyebarkan kalender yang meresahkan masyarakat.

Wiji Thukul, meski tidak menjadi sasaran utama, namanya mulai menjadi target intelejen dan militer Orde Baru. Dan hal tersebut terbukti ketika gerakan menjatuhkan Soeharto tak tertahan, Wiji Thukul menjadi target penghilangan paksa dan tidak ketahuan rimbanya sampai kini.