Denny Indrayana soal UU Ciptaker: Pelanggaran Konstitusi Berjamaah!

Jakarta, law-justice.co - Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja kini resmi menjadi undang-undang (UU).

Merespons hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Denny Indrayana menganggap pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU merupakan pelanggaran berjamaah atas norma UU Peraturan Pembentukan Perundangan (UU PPP).

Baca juga : Denny Indrayana: Pembatalan Kemenangan Gibran Opsi Ideal Putusan MK

Selain itu ia menilai pengesahan ini juga melanggar ketentuan dari UUD 1945.

"Sayangnya, pelanggaran terang-terangan konstitusi berjamaah oleh presiden dan DPR itu realitasnya akan sulit untuk dikoreksi," kata Denny dalam keterangannya, Rabu (22/3/2023).

Baca juga : Mahkamah Konstitusi Diusulkan Hanya Menganulir Gibran Rakabuming Raka

Secara tata negara, koreksi konstitusional harusnya dilakukan MK yang normalnya menyatakan Perppu Ciptaker tidak mematuhi putusan MK soal UU Ciptaker.

Karena itu, tegas Denny, Perppu Ciptaker harus dicabut karena tidak memenuhi tiga syarat konstitusional. Mulai dari syarat kepentingan yang memaksa, syarat waktu harus disetujui DPR pada masa sidang berikutnya dan syarat harus dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR.

Baca juga : Jelang Putusan MK, Denny Indrayana Beberkan Salah Satu Opsi

Denny sendiri tidak meyakini integritas mayoritas hakim konstitusi. "MK sekarang, sebagaimana pula KPK, sudah dikendalikan dan mudah diintervensi dengan pertimbangan dan kepentingan non-konstitusi," ujar Denny.

Sanksi ringan teguran tertulis kepada hakim Guntur Hamzah atas kesalahan yang sangat fundamental yaitu mengubah putusan MK merupakan indikasi kuat. Yaitu, hukuman ringan merupakan tukar guling untuk hakim Guntur untuk memutus perkara di MK.

Putusan tersebut tentu sesuai kepentingan kekuasaan yang melindungi. Denny menilai, hakim-hakim yang kehilangan integritas akhirnya tetap bertahan di MK dan menyebabkan MK kehilangan independensi dan kewibawaan institusionalnya.