Bank Indonesia Percaya Ekonomi RI Tak Akan Bangkrut Seperti Sri Lanka

Jakarta, law-justice.co - Bank Indonesia (BI) menyatakan percaya diri Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi seperti Sri Lanka.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) BI, Firman Mochtar mengatakan kepercayaan diri ia sampaikan karena ada perbedaan mencolok dalam perekonomian Indonesia dan Sri Lanka. Firman menilai RI punya pondasi ekonomi yang kuat saat ini.

Baca juga : Ini Respons Kemenhan soal Minta Diskon Proyek Jet Tempur KF-21

"Sri Lanka, apa yang membedakan kita dengan Sri Lanka atau negara lain? Karena indikator-indikator ketahanan (ekonomi) kita bagus," katanya di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Sabtu (18/3).

Indikator pertama, mobilitas masyarakat yang meningkat selepas pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir 2022.

Baca juga : Kemenkeu: Posisi Utang Pemerintah Turun Tipis di Maret, Jadi Rp8.262 T

Kedua, kegiatan investasi di RI yang semakin membaik, baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Ketiga, pemulihan ekonomi global, termasuk China. Hal ini bakal membuka keran ekspor RI ke Negeri Tirai Bambu tersebut.

"Jadi bagaimana utang pemerintah (Sri Lanka) itu sangat berlebih, bank sentralnya sembarangan kasih ke mana-mana, jadi tidak terkontrol. Ini berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran, sampai akhirnya nilai tukar rontok," sambung Firman.

Baca juga : Soal Anies Baswedan dan Pilgub Jilid II

Ekonomi Sri Lanka memang sedang tidak baik-baik saja. Negara Asia Selatan itu dihantam krisis energi yang membuat harga-harga melambung.

Negara kepulauan berpenduduk 22 juta itu menghadapi krisis ekonomi terburuk lebih dari tujuh dekade. Ekonomi Sri Lanka menyusut 8,4 persen pada kuartal II 2022.

Bahkan, Sri Lanka berstatus negara bangkrut. Dana Moneter Internasional (IMF) pun memberikan persetujuan sementara atas pinjaman US$2,9 miliar atau setara Rp42,63 triliun (asumsi kurs Rp14.700 per dolar AS) kepada Sri Lanka untuk memperbaiki ekonominya.

Namun, IMF memberikan syarat kepada Sri Lanka, yakni harus mendapatkan jaminan pembiayaan dari negara kreditur atas utang-utang mereka sebelumnya.

Pinjaman atau dana talangan yang diberikan IMF berlaku selama 48 bulan atau 4 tahun. Dalam periode tersebut Sri Lanka diharapkan bisa meningkatkan pendapatan dengan memperluas basis pajak untuk mendukung konsolidasi fiskal.