Tambang Ilegal Rusak Lingkungan dan Korbankan Warga dan Pekerja

Berkuasanya Mafia Tambang, Pemerintah & Aparat Hukum Tak Berdaya

Jakarta, law-justice.co - Kasus kecelakaan di lokasi tambang bukan menjadi hal baru. Misalnya, di Sawahlunto, kota tambang di Sumatera Barat. Teranyar, ledakan tambang milik PT Nusa Alam Lestari (NAL) di Sawahlunto menewaskan 10 orang pekerja pada Jumat, 9 Desember 2022.

Ini lalu disoroti Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (Iress) Marwan Batubara. Menurutnya, perusahaan harusnya memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang menjadi rujukan bila ada hal-hal yang tidak diinginkan.

Baca juga : Diduga Halangi Proses Pelanggaran Etik, Novel Laporkan Nurul Ghufron

"Isunya adalah ini kegiatan yang punya risiko yang membahayakan keselamatan. Risiko itu mestinya sudah diperhitungkan, diantisipasi, dan kalau ada apa-apa itu ada unsur koreksinya, korektif. Saya kira kalau seandainya ini (perusahaan) mengabaikan good mining practice istilahnya, itu bermasalah juga manajemennya, bisa dituntut itu," kata dia pada Law Justice, Selasa, 27 Desember 2022.

"Ini saya kira bisa menjadi poin untuk dilakukan penyelidikan oleh penegak hukum, termasuk Kementerian ESDM saya kira harus bekerja, apalagi kalau tambang-tambang itu di (Undang-Undang) Minerba itu kan ada RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Belanja), RKAB itu kan disetujui sebelum adanya kegiatan operasi. Kan kalau sampai dikasih persetujuan, di sana unsur ketelitian itu diabaikan atau sekedar ngasih izin tanpa adanya kajian yang memadai dari KESDM, pastinya KESDM juga pantas untuk dituntut," sambung Marwan, sapaannya.

Baca juga : Jokowi Resmi Teken UU DKJ, Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara

Ia melanjutkan, Kementerian ESDM sebagai pemberi izin lewat RKAB juga harus bertanggung jawab. Jika RKAB tidak ada, lanjut Marwan, maka sudah menjadi pidana dan penegak hukum harus masuk. Sebabnya, dalam peraturan perundang-undangan, RKAB harus disetujui dulu baru perusahaan bisa menambang.

Marwan menduga, ada moral hazzard di situ karena izin menambang tetap dikeluarkan atau pemerintah memberi izin tanpa memeriksa, padahal sudah terjadi ledakan tambang di Sawahlunto.

Baca juga : Ogah Oposisi, PKS Harap Didatangi Prabowo & Diajak Gabung Koalisi


Sejumlah Pekerja Tertimbun usai Tambang Batu Bara Sawahlunto Meledak. (republika).

"Tapi, kalau masih dikeluarkan izin berarti pemerintah itu lalai atau ngasih izin tanpa memeriksa, sekedar kasih izin aja gitu, jangan-jangan malah ada moral hazzard di situ. Saya menekankan tentang adanya unsur pidana di sini, harus diselidiki oleh pertama Kementerian ESDM, kedua penegak hukum, yang ketiga harus diperiksa, diselidiki, dan diaudit juga perusahaannya," beber dia.

Kecelakaan tambang di Sawahlunto juga disoroti Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat (Sumbar) Wengki Purwanto. Ia menyatakan, kecelakaan tambang di Sawahlunto sudah memakan banyak korban.

"Sebenarnya kalau kita lihat sejak 2009 - 2022, 13 tahun ya, kalau dari data korban meninggal dunia yang tercatat aja sudah 50 orang. 50 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang di Sawahlunto," kata dia pada Law Justice, Selasa.

Wengki, sapaannya, meyakini bahwa jumlah tersebut bisa lebih besar karena masih banyak yang belum terpublikasi. Ini karena perusahaan langsung menutupi kecelakaan dengan sedemikian rupa hingga kabar itu tidak tersebar.

"Kan itu yang datanya terpublikasi, tapi ada juga kecelakaan di tambang batu bara itu dia bersifat senyap, jadi nggak sampai terpublikasi, sampai orang nggak tahu. Termasuk yang tidak meninggal dunia, mungkin cuma patah-patah atau lumpuh, itu biasanya nggak keekspose keluar. Hal seperti itu banyak kejadian," ungkap Wengki, sapaannya.

Adapun WALHI Sumbar sudah melihat beberapa ledakan tambang terjadi di Sawahlunto, di antaranya:
1. 16 Juni 2009 - Ledakan di tambang PT Dasrat Sarana Arang Sejati 32 pekerja meninggal dunia, 13 orang luka-luka;
2. 24 Januari 2014 - Ledakan di tambang PT Dasrat, 5 pekerja meninggal dunia;
3. 27 Juni 2016 - Ledakan di tambang PT NAL, 5 pekerja luka bakar;
4. 29 Maret 2017 - Ledakan di tambang CV Bara Mitra Kencana, 1 pekerja meninggal dunia, 1 luka bakar;
5. 25 Juli 2020 - Ledakan di tambang PT Dasrat, 3 meninggal dunia;
6. 9 Desember 2022 - Ledakan di tambang PT NAL 10 pekerja meninggal dunia.

Wengki menambahkan, menurutnya good mining practice belum diterapkan secara baik di lapangan. Ia melihat ada kontrol yang lepas, apalagi sejak perubahan regulasi di UU Minerba yang merubah kewenangan menjadi sentralistik ke pemerintah pusat.

Selain itu, Wengki melihat pemerintah tidak memiliki political will untuk melakukan penindakan terhadap kecelakaan di lokasi tambang.

"Ini analisa dari pandangan WALHI ya, kenapa kemudian seperti sulit pemerintah melakukan itu? Ada dugaan keterlibatan oknum-oknum di pemerintahan yang terlibat jaringan kejahatan di sektor tambang, sehingga kemudian ini kasusnya seperti tidak bisa diselesaikan dari waktu ke waktu," papar Wengki.

"Toh, kalau kita lihat kewenangan, pemerintah mempunyai kewenangan melakukan penindakan. Kedua, pemerintah juga punya pasukan, aparat keamanan, punya kekuasaan. Itu semua kan dimiliki pemerintah, tapi ini tidak bisa dilakukan dengan baik di lapangan," sambungnya.

 

Ia melanjutkan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dari pemerintah menjadi soal, sehingga kejadian kecelakaan di lokasi tambang berulang terus.

“Jadi, sebenarnya tiap tahun ada kejadian-kejadian, mulai patah atau cacat, ada yang sampai meninggal dunia. Beragam kejadiannya, ujar Wengki.

Ombudsman RI turut memperhatikan ledakan tambang di Sawahlunto yang terjadi pada awal Desember lalu.

“Dalam masalah ledakan tambang sedang dilakukan pemeriksaan oleh perwakilan Sumbar, belum ada laporan perkembangannya,” ujar Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih pada Law Justice melalui keterangan resmi, Selasa.

Mafia Tambang Kuasai Penegak Hukum?
Masih ingat kasus soal mafia tambang ilegal yang melibatkan Ismail Bolong? Kini Ismail Bolong masuk dalam proses penyidikan dan siap disidangkan dalam kasus mafia tambang.

Dalam kasus Ismail Bolong ini diduga ada mafia dan jaringan yang bermain. Dalam keterangan resmi Centre of Energi and Recources Indonesia (CERI) melalui Direktur Eksekutifnya menjelaskan dalam kasus Ismail Bolong diduga ada sosok pria yang diduga sebagai mafia kasus bernama Erwin Raharjo.

Sosok berinisial ER, warga Kecamatan Dukuh Pakis Surabaya. Pria yang diduga markus di kepolisian ini ternyata sosok tersembunyi di balik peristiwa munculnya testimoni Ismail Bolong.

Menurut Yusri, isi testimoni itu sebagian dari materi yang terdapat dalam Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) Divisi Biro Pengamanan Internal Polri No: R/LHP-63/III/2022/Ropaminal tertanggal 18 Maret 2022, yang merupakan produk penyalahgunaan kekuasaan sejumlah oknum di Polri.

Dikatakan, rekaman video yang berisi testimoni Ismail Bolong tentang pemberian uang tambang batubara illegal kepada beberapa Perwira di Polda Kaltim dan Mabes Polri termasuk kepada Kabareskrim Polri itu konon digandakan dan tidak benar. Salah satu filenya diduga disimpan oleh ER.


Surat Divpropam soal Tambang Ilegal Belum Diproses Kapolri, Eks Kabareskrim Susno Duadji Blak-blakan Beberkan Penyebabnya. (Kolase dari berbagai sumber).

“Konon terdapat rekaman hasil penyadapan percakapan antara ER dan salah satu mantan oknum polisi terkait pemberian order pemeriksaan oleh Paminal dan testimoni Ismail Bolong tersebut, dengan tujuan untuk menyingkirkan Kabareskrim, Komjen Pol Agus Andrianto. Kisah tentang Kabareskrim, Komjen Pol Agus Andrianto yang menjadi korban konspirasi ini mewarnai perjalanan Polri di penghujung tahun 2022,” tegasnya dalam rilis yang dikirim kepada awak media, Senin 26 Desember 2022 malam.

Dikatakan setelah berhasil membajak manajemen operasional PT. BEP (dalam pailit) secara illegal, selama 4 (empat) tahun sejak 2019 bersamaan Sambo dilantik menjadi Dirtipidum Bareskrim Polri merangkap Sekretaris Satgassus Merah Putih.

ER menunggangi kurator mendapatkan RKAB atas nama PT. BEP pada tahun 2019 secara tidak sah, sebanyak 2.873.560 metric ton. Ada invisible hand Sambo dengan Satgassus Merah Putih yang ketika itu menekan Dinas ESDM Kaltim dan Ditjen Minerba.

Bendera ER di kepolisian makin berkibar tahun 2020, tatkala Kapolri Jenderal Pol, Idham Aziz melantik Sambo menjadi Ketua Satgassus Merah Putih, berdasarkan Surat Perintah No: Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020 tanggal 20 Mei 2020, kemudian diperpanjang berlandaskan Surat Perintah No: Sprin/1583/VII/HUKU.6.6/2022 tanggal 1 Juli 2022 sampai dengan 31 Desember 2022. Sambo membawahi 421 orang polisi berdarah “biru”.

Sedangkan ER kemudian berkedudukan menjadi pelaksana utama bisnis mafia tambang batubara di Kaltim, yang dibacking Satgassus. Diduga Erwin Rahardjo memanfaatkan lembaga Satgassus Merah Putih, melalui “permufakatan jahat” dengan Sambo untuk “menekan” Dirjen Minerba agar terus menerus memberikan RKAB kepada

PT. BEP meskipun statusnya pailit. Total sejak tahun 2019, 2020, dan 2021 PT. BEP mendapatkan RKAB sebanyak 9.345.882 metric ton.

Ibarat petinju, ER memakai jurus jab and clinch. Usai adanya dugaan intervensi kepada Ditjen Minerba. ER lalu merangkul beberapa oknum di Kementerian ESDM RI.

“Tak jelas apa yang dilakukannya. Namun yang pasti, MIFS oknum B Kementerian ESDM misalnya, tiba-tiba berubah menjadi seperti lawyer PT. BEP (pailit), ketimbang sebagai pengacara negara yang harus membela kepentingan pemerintah,” katanya.

Menurut Yusri, padahal aturannya sudah jelas, IUP OP PT. BEP harus dicabut. Apalagi ternyata PT. BEP diduga telah melanggar ketentuan tentang kewajiban DMO. Sejak tahun 2020 hingga 2022. PT BEP menunggak kewajiban DMO sebesar 1.001.300,69 Ton. Berdasarkan ketentuan Pasal 188 Peraturan Pemerintah No: 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara perihal Pemberian Sanksi Administraif IUP OP PT. BEP dapat dicabut.

“Dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak terdapat perintah dan/atau ketentuan, terhadap perusahaan pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit dapat diperbolehkan beroperasi kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 119 huruf c UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP OP PT. BEP dapat dicabut, karena telah dinyatakan pailit,” tegasnya.

Lanjut Yusri, dengan asumsi rata-rata per metric ton mendapatkan margin sebesar Rp. 200.000, (dua ratus ribu rupiah) dengan total jumlah RKAB sebanyak 9.345.882 metric ton, ER yang dibantu karibnya pria berinisial P ini berhasil meraup keuntungan yang tidak sah dari hasil kejahatan di sektor mafia tambang batubara di Kaltim sebesar Rp. 1.8 Triliun.


Sosok mantan anggota Polri Ismail Bolong yang video pengakuannya sebagai pengepul batubara viral di internet dan ilustrasi pertambangan. (Foto: Tribun Kaltim)

“Dugaan korupsi PT. BEP terkait kredit macet Permata Group di Bank BRI Tbk, kini tengah disidik Dirtipikor Bareskrim Polri. Sebagian besar dana sebesar Rp1,8 Triliun yang berhasil dijarah diduga disetor,” terangnya.

“Imbalannya ER diberi kebebasan memakai kekuatan lembaga Satgassus Merah Putih guna mendukung praktik mafia tambang batubara yang dilakukannya bersama-sama P, termasuk dapat dipakai untuk menghajar perwira polisi sekalipun berpangkat Jenderal yang mengganggu bisnisnya di Kaltim,” tutupnya.

Pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) yang Tidak Sesuai
Pembagian DBH tambang maupun migas juga menjadi persoalan. Teranyar, Bupati Meranti menyebut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berisi iblis dan setan, bahkan mengancam angkat senjata dan bergabung ke Malaysia. Pernyataannya pun viral.

Ia mengatakan daerahnya seharusnya mendapat DBH dengan hitungan USD 100 per barel. Namun, DBH yang diterima tahun ini hanya Rp 114 miliar dengan hitungan USD 60 per barel.

Hal ini pun disoroti Marwan Batubara. Menurutnya, hal-hal seperti itu harusnya sudah berlangsung secara otomatis karena formula perhitungan DBH sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003.

“Di situ ada formula bagi hasilnya, 15 sekian (persen) untuk minyak, 30 sekian (persen) kalau untuk gas misalnya,” kata dia.

Selain itu, ia menyebut pemerintah telah menerbitkan ICP (Indonesian Crude Price/harga minyak mentah Indonesia di pasaran internasional), sehingga bisa saja dirata-rata. Menurutnya, tinggal perhitungan itu bisa dilakukan pemerintah dan DPR setiap berapa lama, misalnya per triwulan, per semester, atau per tahun.

“Jadi, jangan sampai nanti ngitungnya itu hanya merujuk saat harga minyak itu 100 dolar per barel, tanpa memperhatikan bahwa sepanjang tahun itu harga tidak 100 dolar, tapi bisa turun ke 70, 80, dan sebagainya. Nah, ini saya kira disamping belajar dari perhitungan tahun-tahun sebelumnya, di daerah sendiri harusnya ada unit yang menghitung sendiri seperti apa formula bagi hasil itu, tidak sekedar mengikuti apa yang disebutkan oleh pemerintah nilainya berapa,” papar Marwan.

“Harga itu kan tidak selalu boleh merujuk kepada harga di dunia, tapi kita punya harga sendiri namanya ICP. Nah, nanti bisa di-cross check bahwa hitungan pemerintah mengikuti perhitungan KESDM dan Kementerian Keuangan itu dibandingkan dengan perhitungan yang dilakukan oleh Pemda sendiri,” sambungnya

Marwan menjelaskan, jika daerah tidak bisa menghitung, minimal minta perhitungan dilakukan oleh Kemenkeu dan dibuka saja ke publik. Hal ini supaya masyarakat paham siapa yang sebenarnya bermasalah.


Bupati Meranti yang menuntut transparansi Dana Bagi Hasil (DBH)

“Yang saya khawatirkan, ada moral hazzard di Kementerian Keuangan atau di KESDM. Bisa juga karena pusat itu sedang butuh duit untuk APBN, lalu disunat sana sini. Makanya model-model seperti ini perlu dibuka secara transparan ke publik,” kata dia.

Ketika ditanyai soal tanggapan terhadap Kemenkeu yang bakal membayar kekurangan DBH pada Kabupaten Meranti setelah dilakukan audit, Marwan menganggap berarti ada masalah di kemeterian tersebut.

“Intinya, Kementerian Keuangan itu bermasalah dong. Bayarnya kurang. Ya kalau sudah bilang kekurangan bayar, berarti kurang dari yang seharusnya diatur dalam Undang-undang. Gitu aja kesimpulan kita. Memang bermasalah,” tegas Marwan.

“Jadi, wajar kalau Bupati itu teriak-teriak seperti itu. Kenapa kok kesimpulannya langsung kurang bayar? Berarti memang jelas ada kejahatan, ada moral hazzard di Kementerian Keuangan, ada niat tidak baik,” sambungnya.

Oleh sebab itu, menurut Marwan hal-hal seperti ini harusnya tidak diselesaikan oleh pemerintah saja, DPR seharusnya ikut mengambil peran. “DPR-nya juga minta tolong, ini kan masalah rakyat juga, apalagi menyangkut nama baik negara sampai ada orang ngancam-ngancam mau pindah negara, kan memalukan,” tuturnya.

Direktur WALHI Sumbar Wengki Purwanto juga menyoroti polemik DBH ini. Menurutnya, data DBH kurang terbuka untuk publik sehingga pihaknya agak sulit mengontrol hal ini.

“Nah, itu kan beberapa keadaannya kan sering nunggak juga. Perusahaan sering nunggak, jadi mereka bayar tapi nggak penuh sehingga jadi tunggakan-tunggakan dari tahun ke tahun dan jumlahnya cukup besar,” ujar Wengi.

“Dan nggak jelas juga mekanisme penyelesaiannya. Gimana cara menghitung Dana Bagi Hasil kalau kemudian ini juga macet?” tanyanya.

Menurutnya, hal itu turut menjadi persoalan selain keterbukaan informasi tadi. Selain itu, ia menduga banyak dana besar yang tidak dihitung dan dilaporkan.

Misal, lubang tambang ilegal di bawah tanah yang pernah dilaporkan pihaknya tapi kasusnya masih jalan di tempat hingga kini.

“Kalau sempat kita hitung yang 320 meter lubang utama di luar izin, pertanyaannya apakah produksi batubara di situ tercatat resmi dan dilaporkan dan mereka bayar kewajiban dia atau tidak? Apakah ini menjadi pendapatan negara bukan pajak?” ujar Wengki.

“Itu dari cerita kita dengan para pekerja tambang, yang mereka spesialis di tambang dalam, jadi kalau mereka satu meter maju, hasilnya itu minimal 10-13 ton. Bayangkan kalau lubang utama itu 320 meter, itu yang di luar izin, baru satu titik, belum titik lain yang ada 35 cabang di luar izin. Itu sempat kita hitung, angkanya ternyata cukup besar, miliaran,” sambungnya.

Ia pun menduga, banyak pihak yang berkepentingan di bisnis tambang. Oleh sebab itu, menurutnya bisa saja skenario macet menjadi indikasi lain.

“Nggak mungkin macet karena uangnya banyak, dia lancar kok,” tutur Wengki.

Manajer Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI Rere Jambore Christanto turut menyoroti persoalan DBH ini. Menurutnya, pertambangan ilegal tidak menyumbang pendapatan pada negara baik berupa pajak maupun retribusi, sehingga tidak berkontribusi pada DBH.

Selain itu, ia mengatakan Kabupaten Meranti bukanlah yang pertama kali protes soal DBH. Ada beberapa daerah yang pernah melakukan protes serupa.

“Ada berbagai protes terkait Dana Bagi Hasil ini di daerah, bukan hanya Kabupaten Meranti, sebelumnya Gubernur Kaltim dan Pemkab Kapuas juga melakukan protes atas tidak transparanannya dana bagi hasil,” ujar Rere pada Law Justice, Jumat, 30 Desember 2022.

“Pasca UU Minerba 3/2020 dimana seluruh kewenangan Pertambangan dipusatkan ke pemerintah pusat, pemerintah daerah sering merasa tidak dilibatkan dan tidak mendapat Informasi memadai mengenai pemberian izin tambang dan Dana Bagi Hasil,” tuturnya.

Sementara itu, anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika turut menanggapi hal ini. Ia mengatakan, selama ini belum ada laporan masuk ke Ombudsman RI perihal DBH, namun ia melihat ada ketidakadilan pada DBH Kabupaten Meranti.

“Kita ingin memfollow-up hal itu karena gini, terlepas dari masalah cara Bupati tersebut menyampaikan, tapi rasanya ada isu ketidakadilan di sana. Jadi, Ombudsman tahun depan, tahun 2023 berencana melihat kasus itu lebih detail lagi,” ujar Yeka, sapaannya, pada Law Justice, Kamis, 29 Desember 2022.

“Kalau bisa Pak Bupatinya datanglah ke Ombudsman,” kelakarnya.

Potensi Pemasukan Triliunan Hilang
Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin menyebutkan tambang ilegal merugikan negara.

Ridwan menyebut bila negara mengalami kerugian yang sangat besar karena adanya kegiatan praktek tambang ilegal.

Misalnya pada Tahun 2020 sektor pertambangan untuk emas menurut hitungan Kementerian ESDM, negara bisa rugi hingga 3,5 triliun. Belum lagi untuk sektor timah negara bisa rugi sampai 15 juta dollar.

"Data tersebut adalah estimasi yang berdasarkan ada di minerba dibandingkan data ekspor yang tercapai di bea cukai jadi ada selisih yang dijual keluar itu tidak tercatat," ujar Ridwan mengutip keterangan dari media.

Lebih lanjut Ridwan mengatakan tentu kerugian tersebut adalah angka yang besar secara nominal dan mempengaruhi pendapatan negara.

Sementara untuk sektor lingkungan, Ridwan menyatakan negara juga mengalami kerugian besar.

Pasalnya, bila membandingkan korporasi ilegal dan legal, dampak lingkungan korporasi ilegal ditanggung oleh negara sedangkan untuk korporasi yang legal mereka punya tanggung jawab.

"Setiap jengkal tanah, kerusakan lingkungan dari tambang ilegal itu menjadi beban bagi negara," ujarnya.

Ridwan juga menekankan hal yang menjadi sorotan lainnya adalah tentang Keselamatan kerja dari kecelakaan itu menjadi concern utama.

Menurutnya, hal tersebut memiliki resiko yang tinggi karena satu nyawa itu tidak bisa dirupiahkan.

"Untuk itu kami mendorong kepada pihak terkait untuk mengurus izin pertambangan supaya kami bisa memantau kegiatan pertambangan tersebut," imbuhnya.

Direktur Tindak Pidana tertentu Polri, Brigjen Pol Pipit Rismanto mengatakan bila pihak kepolisian sudah melakukan beberapa kali rapat koordinasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Ia juga menyatakan bila pihak kepolisian menyatakan bahwa permasalahan soal tambang ilegal ini sudah dibahas sejak lama

“Jadi pihak kepolisian udah rapat koordinasi untuk menbahas persoalan ini lebih dari sekali,” kata Pipit melalui keterangan yang diterima Law-Justice.

Pipit menyebut bila dalam mengambil tindakan, pihak kepolisian akan berfokus pada penegakan hukum.

Pasalanya, dalam mengatasi masalah ini diperlukan kehati-hatian untuk bisa menindak lebih lanjut.

“Kalau kami fokus pada penegakan hukum,”ujarnya.

Namun, Pipit menyatakan bila kepolisian akan berusaha untuk bisa mengawal kasus tersebut.

Ia juga menyatakan bila kepolisian akan melakukan sinergis dengan pihak terkait untuk atasi pertambangan ilegal.

“Bila ada perkembangan lebih lanjut kami akan beritahu,” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan bila pemerintah harus memberi perhatian khusus terkait masalah penambangan liar.

Untuk itu, Mulyanto mendorong kepada pemerintah untuk membentuk tim dalam upaya untuk memberantas kegiatan penambangan liar.

"Jadi pemerintah perlu membentuk tim khusus yang terdiri dari pejabat Kementerian ESDM, Kepolisian, TNI dan Kejaksaan RI ini supaya pengawasan pada kegiatan pertambangan lebih ketat," kata Mulyanto kepada Law-Justice.

Mulyanto menegaskan ini merupakan momentum pemerintah untuk memberantas penambangan ilegal sampai ke akarnya.

Pasalnya, oknum yang menjadi beking kegiatan tersebut sudah memberi kejengahan kepada masyarakat.

Untuk itu, Mulyanto menyatakan bila pemerintah harus bergerak cepat agar pelanggaran yang berdampak bagi pendapatan negara dan keselamatan masyarakat bisa terjamin.

"Pemerintah melalui aparat penegak hukum tidak boleh ragu dalam menindak pelaku penambang ilegal termasuk cukong yang menjadi bekingnya. Terkesan pemerintah melempem karena ditengarai aparat turut bermain mata," tegasnya.

Politisi PKS tersebut menyebut bila pemerintah harus segera mengambil langkah konkrit agar keamanan dan ketertiban dalam sektor pertambagan ini dapat terjaga.

Menurutnya, kedepan nanti persoalan pertambangan ilegal ini harus ditata secara serius termasuk dengan aspek perizinan dan pengelolaan lingkungannya.

"Proses perizinan ini perlu diperbaiki agar pertambangan rakyat dan batuan yang sudah didelegasikan ke daerah ini harus benar-benar dapat diimplementasikan," ujarnya.

Laporan BPK Soal ESDM 
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan permasalahan signifikan dalam empat laporan hasil pemeriksaan (LHP) pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dilakukan pada semester II tahun 2021.

Dalam Pemeriksaan atas Pengelolaan PNBP SDA Minerba, BPK menemukan permasalahan yang harus menjadi perhatian Kementerian ESDM, antara lain: pengelolaan iuran tetap dan royalti belum optimal sehingga mengakibatkan masih terdapat kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti tahun 2020 dan 2021 serta terdapat iuran tetap yang belum ditagihkan kepada Wajib Bayar.

Selain itu, dalam pengelolaan royalti dan penjualan hasil tambang, masih terdapat kelemahan dalam aplikasi ePNBP versi 1 dan aplikasi ePNBP versi 2 yang perlu segera diperbaiki agar perhitungan dan penetapan PNBP dapat lebih cepat, akurat dan handal.

Dalam Pemeriksaan atas Pembinaan dan Pengawasan Kewajiban Pembangunan Smelter, BPK menemukan permasalahan antara lain terdapat perusahaan yang berpotensi terlambat menyelesaikan pembangunan smelter dan Ditjen Minerba belum seluruhnya mengenakan denda administrasi kepada perusahaan yang belum menyelesaikan pembangunan smelter sesuai target waktu yang ditetapkan. Selain itu, terdapat perusahaan yang belum menyetorkan dana jaminan kesungguhan pembangunan smelter.

Sedangkan dalam Pemeriksaan atas Pengadaan Barang dan Jasa, BPK menyoroti pelaksanaan tiga paket pekerjaan pembangunan jaringan gas bumi rumah tangga Ditjen Migas tidak sesuai dengan kontrak.

Pada pemeriksaan Kinerja atas Penyediaan Infrastruktur KBLBB untuk Mendukung Transportasi Perkotaan Berkelanjutan, BPK mengungkapkan perangkat kebijakan yang koheren terkait penyediaan infrastruktur KBLBB belum seluruhnya tersedia dan Pemerintah belum optimal memberikan insentif dan dukungan dalam penyediaan infrastruktur KBLBB.

"Menteri ESDM beserta jajarannya agar segera menindaklanjuti rekomendasi BPK yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan," tegas Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara IV BPK Isma Yatun.

Pemeriksaan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Isma Yatun juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menindaklanjuti rekomendasi terkait aktivitas pertambangan ilegal. Menurut Isma, rekomendasi atas permasalahan signifikan yang telah disampaikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan (LK) KLHK tahun anggaran 2020 belum ditindaklanjuti secara memadai.

Isma mengungkapkan, salah satu permasalahan signifikan yang belum ditindaklanjuti KLHK adalah terkait 516 pelaku usaha yang melakukan aktivitas tanpa izin di kawasan hutan dengan luas 1.090 juta hektare.

Sebanyak 516 pelaku usaha tersebut tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), beraktivitas di luar wilayah IPPKH yang dimiliki perusahaan, dan ada juga yang beraktivitas pada area IPPKH yang izinnya telah dicabut.

Isma mengingatkan, BPK di dalam LHP yang telah diserahkan kepada KLHK sudah menyampaikan data dan informasi terkait pelaku usaha tersebut. Informasi itu antara lain mencakup nama perusahaan, jenis pelanggaran, lokasi, dan luasan wilayah yang dilanggar.

“Dalam kesempatan ini, saya meminta ketegasan Ibu Menteri dan seluruh jajarannya untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut,” kata Isma.

Beberapa rekomendasi yang disampaikan BPK adalah meminta KLHK memproses seluruh pelaku usaha yang tidak memiliki perizinan bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian, melakukan koordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pemerintah daerah, serta melakukan monitoring dan evaluasi pada setiap aktivitas penggunaan kawasan hutan dengan memanfaatkan data dan sistem teknologi informasi.

“Karena berdasarkan pemantauan kami atas tindak lanjut yang telah dilakukan KLHK hingga Desember 2021, baru 43 pelaku usaha dengan luasan 116,2 ribu hektare yang ditetapkan dalam SK tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan yang tidak Memiliki Perizinan Bidang Kehutanan. Ini untuk selanjutnya agar diproses penyelesaiannya sesuai ketentuan perundang-undangan,” ujar Isma.

Isma mengingatkan, ada dampak besar jika aktivitas tanpa izin di kawasan hutan tidak segera diselesaikan. Risiko pertama adalah kerusakan hutan dan ancaman terhadap kelestarian lingkungan. Risiko lain yang tidak kalah pentingnya adalah negara kehilangan hak atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari kawasan pemanfaatan hutan.

Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Amelia