Hotel Sahid Jaya Diduga Tak Beri Hak Kepada Puluhan Karyawan Pensiun

[INTRO]

Terhitung sejak tahun 2018 sampai saat ini, PT. Hotel Sahid Jaya tidak memiliki itikad baik untuk memberikan hak-hak karyawan/karyawati yang telah lewat jatuh tempo pensiun normal.

Karena itu, Hanafi Fajri selaku kuasa hukum dari 20 orang karyawan yang sudah pensiun, menyayangkan sikap manajemen dari PT. Hotel Sahid Jaya.

Menurutnya, karyawan/karyawati Hotel Sahid Jaya International telah memenuhi persyaratan pensiun normal dengan umur 55 Tahun berdasarkan Pasal 15 PP No. 45 Tahun 2015 dan Pasal 43 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) VII Periode 2017-2019 yang sampai saat ini masih berlaku sebagai perpanjangan dan telah didaftarkan pada Kantor Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi DKI Jakarta.

"Sangat ironis, sejak berdirinya PT.Hotel Sahid Jaya International yang sampai saat ini Hotel Grand Sahid Jaya telah memiliki cabang di beberapa Provinsi Indonesia dan beberapa Negara dengan hasil keuntungan besar perusahaan yang merupakan peran besar dari Karyawan/ Karyawati." Tulis pernyataan yang diterima Redaksi Law-Justice.

Hanafi menandaskan bahwa perusahaan lupa mensejahterakan karyawannya dengan mengabaikan hak-hak karyawan/karyawati yang pensiun normal.

"Seharusnya tidak ada alasan perusahaan untuk menunda-nunda pemenuhan hak-hak karyawan/ karyawati yang telah memenuhi batas usia normal pensiun sejak tahun 2018-2021." Sambung keterangan tertulis.

Bahkan kata Hanafi, sejak bulan april 2020 sampai saat ini PT. Hotel Sahid Jaya International juga tidak memberikan gaji kepada 20 (dua puluh) orang karyawan/ karyawati yang telah melaksanakan pekerjaan untuk perusahaan.

"Selain itu beberapa orang karyawan/karyawati juga dirumahkan oleh perusahaan tanpa ada kepastian. Sehingga tindakan Perusahaan tersebut yang sepihak tanpa memberikan gaji kepada karyawan/ Karyawati sejak bulan april 2020 melanggar Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19." Tandasnya.

Perusahaan menurutnya, tidak dibenarkan untuk tidak memberikan gaji karyawan/karyawati dengan alasan merugi akibat wabah virus corona.

"Sehingga tindakan perusahaan tersebut tidak berdasarkan hukum karena dengan kondisi-kondisi tertentu yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan untuk pemotongan upah yang sah sesuai hukum tenaga kerja di Indonesia. Kondisi-kondisi tertentu tersebut hanya boleh memotong upah bukan menghilangkan pembayaran upah." Lanjutnya lagi.

Adapun tindakan Perusahaan tersebut merupakan pelanggaran manajemen Perusahaan terkait hak-hak karyawan/ karyawati di bidang ketenagakerjaan yang mencakup:

1. Perusahaan tidak melaksanakan kewajiban membayar hak-hak karyawan yang ada dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) (Pelanggaran Pasal 126 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003);

2. Perusahaan melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerjabersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan denda (Pelanggaran Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan);

3. Perusahaan/ Pengusaha tidak melaksanakan kewajiban membayar upah atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan/ karyawati meskipun tidak mempekerjakannya dengan alasan covid 19 (Pelanggaran Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan).

"Maka terhadap tindakan PT. Hotel Sahid Jaya International tersebut yang mengabaikan hak-hak karyawan/karyawati pensiun normal sejak tahun 2018 sampai saat ini. Kami mengirimkan surat perundingan Bipartit kepada PT. Hotel Sahid Jaya International untuk membicarakan dan penyelesaian hak-hak 20 orang karyawan/karyawati yang pensiun normal pada tanggal 12 April 2021 pukul 10.00 WIB namun tidak ada tanggapan oleh Manajemen Hotel."

Tindakan lain berupa mengirimkan surat kepada beberapa Pihak terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Direktorat Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI (Ditjen Binwasnaker & K3), Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Komisi IX DPR RI), Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi (Komnas HAM), Dinas Tenaga Kerja dan Energi Provinsi DKI Jakarta (Disnakertrans DKI Jakarta), Suku Dinas Tenaga Kerja dan Energi Kota Madya Jakarta Pusat (Sudin Nakertrans Jakarta Pusat).

Namun upaya itu tidak mendapat respon dari manajemen.

"Oleh karena tidak ada tanggapan dari Pihak Manajemen, maka tanggal 10 November 2021 kami membuat Pengaduan Pelanggaran HAM atas hak-hak 20 (dua puluh) orang karyawan pensiun ke Kantor Komnas HAM RI yang telah tercatat dengan nomor Pengaduan 139.331."

"Pengaduan kami tersebut ditindaklanjuti oleh Komnas HAM RI yang mana melalui Surat Nomor 883/K/Mediasi/XII/2021 tertanggal 27 Desember 2021, Direktur Utama PT. Hotel Sahid Jaya Internasional untuk memberikan klarifikasi atas Pengaduan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari, akan tetapi setelah lewat jangka waktu yang diberikan tidak ada tanggapan oleh Dirut PT. Hotel Sahid." Masih dalam keterangan.

Isi surat Komnas HAM RI tersebut selain meminta klarifikasi Dirut PT. Hotel Sahid, Komnas HAM RI juga menilai patut diduga permasalahan ini berpotensi menimbulkan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia karena tidak dipenuhinya hak-hak pekerja yang diakui dalam hukum positif di Indonesia.

Karena tidak ada tanggapan oleh Dirut PT. Hotel Sahid, maka Komnas HAM RI mengirimkan surat Permintaan Klarifikasi II Kepada Dirut PT. Hotel Sahid Jaya Internasional dengan surat Nomor 163/K/MD.00.00/III/2022 tertanggal 15 Maret 2022 dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk ditanggapi.

Setelah Komnas HAM RI bersurat sebanyak 2 kali, pada tanggal 23 Maret 2022 Dirut PT. Hotel Sahid Jaya Internasional melalui Surat No. 150/HSJI/DDH/III/2022 yang dibuat oleh Sdr. Dusti Dyarmawan Hasly selaku Corporate Head of Human Capital & Legal menanggapi surat Komnas HAM RI tersebut yang pada pokoknya Pengaduan karyawan tersebut bukanlah kewenangan Komnas HAM RI.

"Kami sangat prihatin membaca surat tanggapan tersebut yang dibuat oleh Sdr. Dusti Dyarmawan Hasly selaku Corporate Head of Human Capital & Legal karena tidak mengerti tugas pokok fungsi Komnas HAM RI, jelas-jelas tindakan yang dilakukan oleh Sdr. Dusti dengan menentukan sepihak dan mengurangi nilai-nilai yang seharusnya diterima itu merupakan Hak atas Upah bagian dari Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia."

"Sehingga kami berkesimpulan Sdr. Dusti sangatlah tidak mengerti terkesan memusuhi dan tidak menghargai Lembaga Negara Komnas HAM RI yang bertujuan untuk menyelesaikan pelanggaran Hak-Hak Karyawan yang tidak dilaksanakan."

Ternyata dalam prosesnya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Sdr. Dusti mewakili Manajemen PT. Hotel Sahid Jaya sangat memaksa dan semena-mena.

"Hal licik itu dilakukan dengan melibatkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Hotel Sahid (SPSI Hotel Sahid) untuk mengintimidasi, menakut-nakuti bahkan mengintervensi yang mana mempengaruhi 10 (sepuluh) orang karyawan mencabut Kuasa dari kami dengan menerima penawaran yang ditentukan oleh Sdr. Dusti secara sepihak yaitu nilai uang pesangon setengah dari perhitungan normatifnya & dibayar dengan cara dicicil sampai 5 (lima) tahun.sehingga tugas SPSI tersebut mendapat bagian persenan yang mana sangatlah terlihat peran SPSI Hotel Sahid berada di pihak Perusahaan bukan di Pihak Karyawan." Masih dalam keterangan.

Hanfi Fajri sebagai Kuasa Hukum 20 orang karyawan/ Karyawati PT. Hotel Sahid Jaya International mendesak pihak terkait dan para pemegang saham ikut menegur jajaran Direksi PT. Hotel Sahid Jaya International dan mendorong untuk memberikan hak-hak klien kami yang telah pensiun dengan perhitungan berdasarkan PKB 2017-2019.

Hanfi Fajri juga mendesak pihak PT. Hotel Sahid Jaya International segera menyelesaikan kewajibannya dan perselisihan sesuai Pancasila dan UUD 1945 dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan tanpa melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).