Dalam Sehari Empat Menteri Inggris Mundur, PM Johnson Terancam Dipecat

Jakarta, law-justice.co - Kepemimpinan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson dikabarkan semakin berada di ujung tanduk setelah empat menteri dalam kabinetnya memutuskan mundur dalam sehari.

Keempat menteri Inggris itu memutuskan mundur setelah menganggap Johnson sudah tak pantas memimpin Inggris lagi lantaran berbagai skandal yang menyeret dia dan pemerintahannya.

Menteri Keuangan, Rishi Sunak, dan Menteri Kesehatan, Sajid Javid, mengundurkan diri pada Selasa (5/7) malam.

Sunak dan Javid memutuskan mundur sebagai menteri di kabinet Johnson karena mereka merasa tak lagi bisa menoleransi rentetan skandal yang terus terjadi di pemerintahan.

Sementara itu, pada Rabu (6/7) pagi, beberapa jam setelah Sunak dan Javid mengumumkan mundur dari kabinet, Menteri Urusan Anak dan Keluarga, Will Quince, dan Menteri Muda Transportasi, Laura Trott, juga mengumumkan berhenti dari jabatan mereka.

Seperti melansir cnnindonesia.com, Quince mengaku tak memiliki pilihan lain selain mengajukan pengunduran dirinya kepada Johnson.

Sementara itu, Trott mengatakan dia keluar dari jabatannya sebagai menteri lantaran sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Pengunduran keempat menterinya ini diprediksi bakal semakin menyudutkan Johnson di hadapan parlemen termasuk dari partainya sendiri, Partai Konservatif.

Johnson dijadwalkan akan menghadap parlemen hari ini dalam rapat rutin mingguan yang nampaknya akan banyak membicarakan protes dari para menterinya yang mundur.

Salah satu anggota parlemen dari Partai Konservatif atau Tory, Andrew Bridgen, bahkan menilai pengunduran diri para menteri ini bak buah cheri di atas kue tart yang kian menguatkan alasan mengapa Johnson pantas dipecat sebagai perdana menteri.

Bridgen lantas menyarankan sang PM untuk hengkang dari kursi kekuasaannya.

"Ini saatnya Boris pergi. Dia bisa melakukan ini beberapa jam lagi jika dia mau," ujar Bridgen pada Rabu (6/7).

Dia kemudian berkata "Namun saya dan banyak partai sekarang memutuskan dia akan pergi pada reses musim panas [dimulai 22 Juli]: lebih cepat, lebih baik."

Seorang anggota partai Konservatif lainnya di parlemen bahkan menegaskan Johnson harus segera diseret keluar Downing Street imbas skandal yang menyelimuti kepemimpinannya.

"Saya menduga kita harus menyeretnya menendang dan berteriak dari Downing Street. Jika kita harus melakukannya, maka kita akan melakukannya," kata seorang anggota parlemen dari Konservatif dengan syarat anonim.

Desakan Johnson untuk lengser ini semakin santer terdengar lantaran sang perdana menteri dan pemerintahannya terus terperosok dalam skandal sejak beberapa bulan terakhir.

Skandal Johnson di awali oleh pelanggarannya terhadap aturan lockdown Covid-19 pada 2020 dan 2021 lalu.

Sang perdana menteri didenda oleh polisi karena melanggar undang-undang lockdown Covid-19 dengan menghadiri dan menggelar pesta.

Johnson juga dikritik lantaran membela anggota parlemen partainya yang melanggar aturan lobi.

Kenaikan harga biaya hidup, sembako, hingga bahan bakar juga turut mendorong warga Inggris mengkritk kepemimpinan Johnson.

Dalam laporannya, surat kabar The Times of London mengatakan "ketidakjujuran serial" Johnson "benar-benar merusak" pemerintahan yang efektif.

"Setiap hari dia tetap memperdalam rasa kekacauan. Demi kebaikan negara, dia harus pergi," bunyi laporan koran itu.

Skandal terbaru juga menyeret Johnson setelah dirinya tetap menunjuk seorang anggota parlemen untuk peran di pemerintahan terkait urusan kesejahteraan dan disiplin partai.

Padahal, polisi Inggris memberi pengarahan bahwa politikus itu menjadi subyek pengaduan tentang pelecehan seksual.

Anggota parlemen konservatif, Neil Parsih, juga mengundurkan diri usai tertangkap menonton pornografi di HP saat berada di House of Commons.

Masalah lain yang membayangi Inggris yakni biaya hidup yang melambung, ancaman inflasi, pemogokan berbagai serikat pekerja karena upah dan situasi kerja yang buruk.

"Jelas bahwa pemerintahan ini sekarang runtuh," ujar Pemimpin Partai Buruh, Keir Starmer.

Jajak pendapat YouGov menemukan 69% orang Inggris berpikir Johnson harus mundur sebagai perdana menteri tetapi untuk saat ini sisa tim menteri utamanya menawarkan dukungan mereka.

Desakan Johnson untuk mundur ini muncul usai Johnson nyaris tak lolos dari mosi tidak percaya di antara anggota parlemen Konservatif pada Juni lalu.

Mosi itu digelar usai krisis ekonomi membayangi Inggris. Namun, ia masih memiliki dukungan di pemerintahan. Tercatat 211 mendukung Johnson, dan sebanyak 148 memilih agar dia lengser.